Ada yang marah ketika Prabowo mendekat Ke Istana.
Ada yang kecewa ketika Jokowi merangkul bekas lawan pilpresnya.
Entah apa pertimbangannya, entah apa keuntungannya. Yang jelas langkah keduanya telah membuat banyak pendukung dan relawannya di pilpres yang lalu marah dan kecewa. Malah ada yang mencap keduanya pengkhianat loh. Ah, yang bener aja? Gile loe ndro...
Siapa menunjuk Siapa?
Prabowo, dimana para pendukungnya  selama ini dicap sebagai kaum nasionalis-kanan, seolah mencoba melepaskan genggaman si "ekstrim kanan".
Jokowi, yang didukung relawan nasionalis-kiri, seolah lari dari jeratan si "ekstrim kiri".
Dua kubu ekstrim pun dibuat melongo oleh langkah pilihannya,
Buzzer dan relawanpun dibuat bingung oleh langkah politik kedua idolanya.
Ah sudahlah, hadapilah kenyataan ini wahai para kampret dan cebong. Kenapa mesti kecewa, politik emang harus bermental "raja tega". Toh yang dicari bagaimana cara berkuasa dan melanggengkan posisinya. Tak ada kawan dan lawan abadi adalah adagiumnya. Kepentingan abadi adalah tujuannya.
Pertanyaannya, apakah politik ideologis sudah tak laku lagi kalau toh para elite politik begitu pragmatisnya?. Bisa jadi ya, begitulah realitanya.
Apakah oposisi sudah tak diperlukan lagi kalau semua mau merapat ke istana? Bisa jadi itulah faktanya.