Tidak ada yang ku inginkan didunia ini selain melihat wajahmu, tidak ada yang ku inginkan selain itu, biarkanlah aku menatap wajahmu, meredakan amarahmu.
Wahai anakku…
Bergetar keras degub jantungku, berlinang deras air mataku menunggu kabar darimu, menunggu kabar kepulanganmu untuk menjengukku. Tidakkah kau masih simpan nomor ibu?
Wahai anakku…
Apakah kiranya hatimu masih memiliki seberkas rasa belas kasih terhadap seorang wanita yang renta dan lemah ini? Yang hatinya diliputi dengan kerinduan dan diselimuti dengan kesedihan yang kamu telah membuat duka hatinya, membuat berlinang air matanya, hancur hatinya dan terputusnya hubungan dengannya.
Aku tidak akan mengadukan kepedihan ini, walaupun belum terhapus kedukaan ini, karena bila aku naik menembus awan-awan dan mengetuk pintu-pintu langit niscaya bala akan datang padamu, berbagai keburukan menghampirimu dan musibah besar akan menimpamu.
Tidak!! Tidak akan mungkin aku lakukan hal seperti itu…
Wahai anakku…
Seburuk apapun perlakuanmu, dirimu akan senantiasa menjadi buah hatiku, penyejuk pandanganku dan kebahagiaan duniaku. Sadarlah anakku… Rambut hitammu mulai ditumbuhi rambut-rambut putih seperti putihnya seluruh rambut ibumu. Waktu dan masa yang panjang menjadikan dirimu mulai menua anakku, dan bukankah anakmu yang juga cucu tampanku itu kini juga telah mulai beranjak besar anakku?
Janganlai sampai terjadi saat kamu menulis surat ini kepada anakmu dengan linangan air mata sebagaimana aku menulis surat ini untukmu…
Wahai anakku…