Sabtu, 21 Oktober 2017 adalah hari yang tak bisa aku lupakan. Mungkin, salah satu hari di mana aku akan mengingatnya untuk waktu yang lama. Karena, hari itu adalah hari yang aku tunggu-tunggu selama dua tahun ke belakang. Apa pasal? Ya, keluargaku akhirnya benar-benar meneruskan keinginanku untuk melamar Kinanti, gadis yang sudah aku pacari selama dua tahun.
Bukan karena hari pertunanganku dengan Kinanti saja yang membuat hari itu tak terlupakan, namun ada kejadian yang, ya, sedikit membuatku khawatir. Kalau kalian penasaran perkara kejadian tersebut, baik, aku akan menceritakan penyebabnya.
Sabtu subuh, kami sekeluarga sudah bersiap untuk mencelat ke Bandung. Masing-masing dari kami sudah mengamankan barang-barang pribadi untuk menginap dua di hari. Begitupun barang-barang yang dibutuhkan untuk acara lamaran; kotak hias berisi kain songket untuk simbol pengikat lamaran, buah tangan khas kota Cirebon, dan empat stel batik bermotif seragam untuk kami kenakan nanti saat acara lamaran. Ya, semuanya sudah kami persiapkan dengan baik.
Sekitar pukul enam pagi, kami sudah meninggalkan rumah. Aku duduk di samping ayahku yang bertugas di belakang kemudi, ibu dan kedua adikku berada di kursi belakang. Waktu tempuh yang lumayan lama mengingat jarak Cirebon-Bandung terbilang jauh, membuatku dipaksa untuk bersabar. Ya, namanya juga acara yang aku tunggu-tunggu, wajar kalau aku sedikit ber-dag-dig-dugria.
Saat mobil yang ayahku kemudikan melipir ke tol Cipali, aku sudah bisa sedikit tenang. Perjalanan mungkin akan terasa ringan dibandingkan harus melaju di jalan biasa yang setiap harinya ramai oleh bus, truk, dan kendaraan umum. Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak mendengarkan musik melalui pemutar lagu di mobil sambil sesekali bercengkrama bersama adikku yang paling kecil.
Singkat cerita, sekitar pukul 12 siang, kami sudah tiba di Bandung. Dan, sekitar satu setengah jam kemudian, kami tiba di sebuah hotel yang letaknya tak begitu jauh dari rumah Kinanti di Gedebage.
Acara lamarannya sendiri rencananya digelar selepas ashar, artinya kami masih ada waktu untuk sekadar beristirahat di kamar hotel. Aku langsung merebahkan diri di tempat tidur, ayahku juga melakukan hal yang sama. Sementara ibuku masih sibuk dengan tas bawaan kami, sedangkan kedua adikku pergi entah ke mana, em, mungkin melihat-lihat suasana hotel di lobi.
Pukul dua, kami mulai bersiap melesat kembali. Menuju rumah Kinanti. Aku sudah berganti pakaian, ayahku masih duduk-duduk di kursi kamar sambil memainkan gawainya, dan adik-adikku saling bergantian menggunakan kamar mandi.
Tapi, aku tak bisa menahan diri untuk tak berkerut dahi ketika memandangi wajah ibuku yang mulai memucat.
"Kenapa, Ma?" tanyaku membuatnya menoleh, lalu menggeleng.
"Nggak apa-apa, Yus."
Jelas aku makin curiga. Tak berapa lama, ibuku bangkit dari tempat tidur lalu buru-buru lari-lari kecil ke kamar mandi. Dari luar, aku mendengar suara seperti suara orang yang sedang muntah-muntah. Aku menunggu di balik pintu kamar mandi. Ayahku juga melakukan hal yang sama.
 Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi ibuku tidak menyahut. Dan saat ayahku berniat membuka paksa pintu kamar mandi, terdengar suara gagang pintu dibuka dari dalam. Ibuku keluar dengan wajah yang pucat. Seketika bau muntahan menyengat hidungku. Aku menaksir ibuku mengeluarkan semua makanan yang sudah ia makan sebelumnya.
Ayahku menuntun ibu ke tempat tidur. Kami sama-sama memasang air muka bingung dan khawatir. Makin khawatir ketika kami menyadari sekujur tubuh ibu keluar keringat dingin.
"Mama masuk angin kayaknya," kata ayahku setelah menempelkan punggung tangan di leher kiri ibu. "Dari pagi kena AC terus, sih."
Ibuku mengangguk. "Yus, ambilin Balsem Lang di tas."
Dengan sigap, aku menarik tas milik ibu. Membongkar isinya. Dan mencari keberadaan benda mungil andalan ibu. Ya, dalam hati aku berpikir bahwa ibuku sudah mengetahui akan terjadi hal seperti ini. Buktinya, benda ajaibnya itu selalu ia bawa ketika bepergian keluar kota. Jika bepergian ke tempat-tempat yang masih berada di wilayah Cirebon, aku belum pernah menemukan benda itu nangkringdi tas kecil miliknya.
Sial. Sekitar satu menit mencari, aku belum menemukan botol hijau kecil tersebut. Aku makin khawatir. "Kayaknya Balsem Lang-nya nggak kebawa deh, Ma. Nggak ada di tas soalnya," kataku membuat ayahku mengernyit.
"Coba cari lagi, Yus," pinta ayahku.
Aku manut. Tapi, memang dasar benda itu mungkin tertinggal di rumah atau bagaimana, hasilnya tetap nihil.
Tak berapa lama, ibuku kembali buru-buru ke kamar mandi, muntah lagi. Aku makin dilanda kebingungan. Akhirnya, tanpa suara, aku bergerak keluar kamar untuk menemui pegawai hotel, meminta tolong.
Setelah menemui beberapa pegawai hotel, menanyakan apakah mereka punya Balsem Lang, hasilnya nihil pula. Em, terpaksa aku keluar hotel, berharap menemukan warung atau minimarket.
Lagi-lagi sial. Meski letak hotel yang kami masuki berada di pinggir jalan utama Jalan Soekarno-Hatta, namun ketika aku baru melewati pos keamanan, aku tak melihat tanda-tanda keberadaan warung atau minimarket.
Aku tak menyerah. Aku berjalan asal sepanjang (kira-kira) satu kilo lebih, berharap menemukan salah satu tempat yang ada di otak. Warung atau minimarket. Setelah susah-payah berjalan cepat yang imbasnya pakaian batik di tubuhku menyisakan bekas keringat di punggung, akhirnya aku menemukan juga sebuah minimarket.
Setelah membayar kepada kasir, aku kembali menyusuri jalanan yang tadi. Kembali ke hotel. Begitu sampai dengan membawa benda ajaib yang diidamkan, aku melihat ibuku makin lemas di tempat tidur. Ayahku meraih benda itu dari tanganku, lalu meminta ibu duduk sebentar. Dan, aku mengamati dari kursi, tangan ayahku lincah bergerak-gerak di punggung ibu sambil sesekali mengoleskan Balsem Lang.
Begitu ibu selesai dikerok, aku mendekat. "Mama udah enakan?" tanyaku khawatir.
Ibu mengangguk. "Iya, Yus. Udah enakan badannya," katanya sambil mengulas senyum. "Yaudah, yuk. Kita ke rumah Kinanti sekarang."
Aku menggeleng. "Jangan dulu, Ma. Mama kan masih sakit. Nanti aja kalau udah benar-benar enakan. Aku udah kasih kabar ke Kinanti, kok. Aku bilang kalau Mama mendadak sakit."
Sebelum menjawab, ibu bangkit. Aku membantunya. "Nggak apa-apa. Mama nggak enak sama keluarganya Kinanti. Kita kan udah janji mau ke rumahnya sehabis ashar. Sekarang udah jam 3, lho. Yuk, kita berangkat sekarang."
Aku kebingungan menimpali. Karena itu, aku memutar kepala, menatap ayahku yang sama khawatirnya denganku. Tanpa bersuara, aku meminta pendapat ayahku lewat mimik muka.
"Kita berangkat sekarang, ya, Pa?" pinta ibu yang tak mampu dibantah ayahku.
Jadilah kami berangkat ke rumah Kinanti dengan kondisi ibu yang tidak begitu baik.
Begitu prosesi acara lamaran berlangsung, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan ibu. Ya, aku khawatir tahu-tahu ibu kembali 'jatuh' seperti di hotel barusan. Dan, aku memilih untuk tak menceritakan hal tersebut kepada keluarga Kinanti, karena ibu yang meminta.
Acara lamaran pun selesai. Hasilnya, aku dan Kinanti resmi bertunangan. Dengan keputusan bahwa acara pernikahan akan digelar pada 4 Februari tahun depan. Keluargaku dan keluarga Kinanti bahagia. Aku juga bahagia, tapi ada sedikit perasaan sedih, em, lebih tepatnya terharu. Sekali lagi aku menyaksikan perjuangan ibu untuk anaknya, meski dengan kondisi yang sebetulnya tidak mengenakan baginya.
Coba saja kalau aku lebih perhatian dengan kondisi ibu hari itu. Ya, aku terlalu memikirkan diri sendiri ketimbang kondisi ibu yang mungkin tidak begitu baik dari kemarin. Dan, coba saja kalau aku tidak teledor dengan meninggalkan benda mungil berbotol hijau di rumah, mungkin ibu bisa segera ditangani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H