Aku mengekeh. "Biarin deh, Kang. Nggak ada duit kalau ke tempat-tempat kayak gitu. Saya mahyang penting bisa pergi ke luar kota juga udah cukup."
Mirip burung beo yang sedang diajari berbicara, laki-laki itu ikutan mengekeh.
Ada jeda beberapa menit sampai akhirnya laki-laki itu membuka mulutnya kembali. "Ai si Aa Cirebonnya di mana? Saya juga pernah tinggal di sana dua tahun. Kerja di konveksi. Tapi nggak betah. Makanya pulang lagi ke Bandung. Ya, taulah A. Saya nggak tahan sama orang-orangnya. Apalagi cuacanya, ampun, panas pisan. Tuh lihat, A, tangan saya belang begini. Saya juga....."
Ngiiing!
Em... aku tak begitu menyimak perkataan laki-laki di depanku ini. Telingaku seakan mampat untuk mendengarkan repetannya. Aku heran. Sebenarnya dia pengin bertanya atau pengin curhat, sih? Pake cerita tentang anak-istrinya segala. Heuh.
TIIN!
Perkataan laki-laki terhenti ketika sebuah mobil mendadak berhenti dan pengemudinya membunyikan klakson sekali. Si penjaga warung menghampiri begitu pengemudi mobil tersebut tidak memberikan tanda-tanda akan keluar dari mobil. Sekilas aku memerhatikan obrolan mereka. Rupanya si pengemudi mobil hendak bertanya alamat.
Begitu selesai urusan, mobil itu melaju kembali.
Tapi, aku heran dengan air muka si penjaga warung yang seolah-olah sedang gondok. "Kenapa, Kang? Kok kayak yang kesel begitu," aku iseng bertanya.
"Begitu tuh kelakuan orang kaya, A. Sombong banget kelihatannya. Mentang-mentang punya duit, jadi seenaknya. Udah ditolongin, eh, nggak bilang makasih. Main pergi gitu aja," terangnya sambil misuh-misuh. "Makanya, saya tehagak nggak begitu respek, A, sama orang kaya. Orang kecil kaya saya, suka nggak dihargain sama mereka."
Glek.Aku tercekat oleh ludahku sendiri.