Percaya atau tidak, penampilan luar kita menentukan sikap dan perhatian orang lain terhadap kita. Ketika seseorang mengenakan "pakaian" berlabel mewah, orang lain akan menaruh perhatian setinggi langit. Sebaliknya, ketika kita mengenakan "pakaian" yang ala kadarnya, orang lain justru bersikap tak acuh atau bahkan tidak melirik sama sekali.
Hal itu sepertinya menjadi kebiasaan tak tertulis di masyarakat zaman sekarang. Seperti sudah menjadi rahasia umum. Makanya, sebagian besar dari kita seolah-olah sedang berlomba-lomba mengenakan "pakaian" terbaik yang kita punya untuk ditunjukkan kepada orang lain. Tujuannya; mendapat respek yang baik dari orang lain.
Contoh yang mudah sekali ditemui adalah kebiasaan kita di media sosial. Tengoklah foto-foto atau video unggahan di Instagram, Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Em... baik. Aku tidak akan banyak berbicara perkara kebiasaan kita mengunggah sesuatu di media sosial. Karena, aku menaksir kalian tentu sudah tahu apa yang aku maksud. Seperti yang temanku katakan, "Jangan menilai seseorang dari media sosial. Karena, media sosial itu penuh dengan kepalsuan."
Aku punya pengalaman menarik tentang sikap harga-menghargai yang dilakukan seseorang kepada kita. Ya, tentu dari sisi penampilan luar.
Sebelumnya aku ingin bercerita singkat perihal pekerjaanku. Sebagai informasi, aku adalah seorang guru Bahasa Jepang di sebuah SMK swasta di kota Cirebon. Â Bangun subuh pulang sore adalah rutinitas sehari-hari yang aku lakukan dari senin hingga jumat. Meski sekolah tempatku mengajar merupakan sekolah swasta, tapi sekolah tersebut memiliki peraturan tegas yang harus aku taati. Salah satunya adalah mengenai pakaian seragam guru.
Setiap senin dan selasa, kami, para guru, diwajibkan mengenakan setelan CV layaknya pakaian dinas PNS. Setiap rabu, kami harus mengenakan pakaian putih-hitam. Dan setiap kamis-jumat adalah waktunya kami mengenakan pakaian batik.
Em.. di mana menariknya? Begini. Hari senin dan selasa bisa dibilang hari yang paling beruntung buatku dalam seminggu. Kalau aku bepergian ke mana-mana setelah sekolah bubaran, terasa sangat nyaman. Misalnya, ketika aku sedang mengantre di pom bensin yang ramai oleh antrean pemotor, beberapa kali aku ditawari oleh pegawai pom bensin untuk menerobos antrean hingga paling depan.Â
Atau ketika aku baru saja berbelanja di minimarket dan hendak pulang, seorang tukang parkir buru-buru membantu mengeluarkan sepeda motorku dengan gerakan kilat (padahal sebagian besar tukang parkir hanya peduli dengan rupiah yang mereka terima dari pemotor tanpa mau repot-repot membantu mengeluarkan sepeda motor saat parkiran sedang penuh-penuhnya). Atau ketika aku ingin makan siang di sebuah warung nasi, si penjual nasi hampir pasti akan melayaniku terlebih dahulu ketimbang orang lain, padahal saat itu aku baru saja menginjakkan kaki di warung tersebut sedangkan orang lain sudah lebih dulu berada di sana.
Awalnya, aku tidak terlalu memedulikan perlakuan istimewa yang aku peroleh dari orang-orang tersebut. Namun, jika dipikir baik-baik, sepertinya aku tahu kenapa bisa mendapat perlakuan istimewa dari orang-orang. Adalah pakaian CV bak pakaian dinas PNS yang aku kenakan. Ya, stigma yang berkembang di masyarakat adalah PNS masih dipandang sebagai orang-orang pilihan yang harus dihormati betul-betul. Entahlah benar atau tidak, yang jelas, ketika aku sedang mengenakan pakaian CV bak pakaian dinas PNS, aku mendapat begitu banyak kemudahan dalam bermasyarakat. Hal-hal yang aku tampilkan di atas, adalah contoh sebagian kecil yang pernah aku peroleh selama mengenakan pakaian tersebut.
Namun, berbeda ketika aku sedang mengenakan pakaian biasa. Memang dasar aku tidak terlalu suka berdandan rapi ketika sedang bepergian. Di umurku yang sudah menginjak 28 tahun, aku masih nyaman berpakaian seadanya. Kumpul bersama teman, pergi bersama pasangan, ke malluntuk nonton bioskop, atau pergi ke manapun aku tak pernah ribet dalam urusan berpakaian.Â
Ya, kecuali ketika aku sedang mendatangi acara-acara resmi semisal resepsi pernikahan, seminar, atau semacamnya, aku pasti menyesuaikan pakaian yang akan aku kenakan. Tapi, jika tidak ada acara resmi yang aku datangi, aku cukup nyaman dengan hanya mengenakan sandal jepit, kaus oblong, jeanspendek, dan jaket. Cukup simpel untuk ukuran laki-laki yang sebentar lagi menginjak 30 tahun, bukan?
Lalu, apa yang membuatku masih nyaman berpakaian kasual seperti itu adalah aku bisa mendapatkan perlakuan yang jauh lebih apa adanya dari orang-orang. Ya, stigma masyarakat yang masih menilai seseorang dari penampilan luar membuatku sedikit-banyak tahu siapa saja yang betulan mempunyai empati dan siapa saja yang hanya memiliki sikap "berpura-pura".Â
Perkara kemudahan yang aku gambarkan ketika aku mengenakan pakaian CV bak pakaian PNS, terkadang tidak pernah aku nikmati ketika aku sedang mengenakan pakaian apa adanya. Perkara keramahan orang lain ketika aku sedang mengenakan pakaian CV bak pakaian PNS, terkadang tidak pernah terjadi ketika aku mengenakan pakaian ala kadarnya. Dan perkara tatapan hangat orang lain ketika aku sedang mengenakan pakaian CV bak pakaian PNS, terkadang tidak pernah aku temui ketika aku mengenakan pakaian begini adanya.
Em... apakah sebegitu pentingnya pakaian atau penampilan luar?
Tapi, aku beruntung. Aku tidak begitu kesulitan memeriksa sikap "berpura-pura" seseorang ketika sedang terlibat hubungan denganku. Lebih beruntung lagi, aku mendapat sikap yang apa adanya dan jujur dari orang-orang tersebut ketika aku mengenakan pakaian kasual.
Misalnya beberapa hari yang lalu, aku sedang pergi berlibur ke Bandung bersama teman-teman. Sekitar pukul sebelasan malam, aku keluar mencari angin. Kebetulan penginapan yang aku tumpangi letaknya tidak begitu jauh dari warung kopi pinggir jalan. Sial bagiku, aku lupa membawa jeanspanjang. Jadilah aku menantang dinginnya Bandung malam itu dengan mengenakan kaus dibalut jaket plus jeanspendek kesayangan.
"Kang, kopi itemnya satu, ya," kataku kepada si penjaga warung kopi. "Oh ya, Kang. Sekalian KayuPutihAroma, ya."
Tak berapa lama, kopi sudah tersaji. Dan aku memilih duduk di bangku panjang di depan warung sambil memerhatikan kendaraan yang lalu-lalang. Tak lupa juga mengoleskan dadaku dengan KayuPutihAroma. Lumayan. Supaya ada hangat-hangatnya.
"Bukan orang sini ya, A?" tanya si penjaga warung sambil menyalakan sebatang rokok.
Aku menoleh, mengangguk. "Iya, Kang. Saya dari Cirebon. Ke sini sama teman-teman saya. Liburan."
Giliran laki-laki itu yang mengangguk. Ada kali lima kali anggukan.
"Kalau liburan mahjangan di sini atuh,A. Teurame. Lembang atau Dago, gitu. Kan tempatnya lebih bagus."
Aku mengekeh. "Biarin deh, Kang. Nggak ada duit kalau ke tempat-tempat kayak gitu. Saya mahyang penting bisa pergi ke luar kota juga udah cukup."
Mirip burung beo yang sedang diajari berbicara, laki-laki itu ikutan mengekeh.
Ada jeda beberapa menit sampai akhirnya laki-laki itu membuka mulutnya kembali. "Ai si Aa Cirebonnya di mana? Saya juga pernah tinggal di sana dua tahun. Kerja di konveksi. Tapi nggak betah. Makanya pulang lagi ke Bandung. Ya, taulah A. Saya nggak tahan sama orang-orangnya. Apalagi cuacanya, ampun, panas pisan. Tuh lihat, A, tangan saya belang begini. Saya juga....."
Ngiiing!
Em... aku tak begitu menyimak perkataan laki-laki di depanku ini. Telingaku seakan mampat untuk mendengarkan repetannya. Aku heran. Sebenarnya dia pengin bertanya atau pengin curhat, sih? Pake cerita tentang anak-istrinya segala. Heuh.
TIIN!
Perkataan laki-laki terhenti ketika sebuah mobil mendadak berhenti dan pengemudinya membunyikan klakson sekali. Si penjaga warung menghampiri begitu pengemudi mobil tersebut tidak memberikan tanda-tanda akan keluar dari mobil. Sekilas aku memerhatikan obrolan mereka. Rupanya si pengemudi mobil hendak bertanya alamat.
Begitu selesai urusan, mobil itu melaju kembali.
Tapi, aku heran dengan air muka si penjaga warung yang seolah-olah sedang gondok. "Kenapa, Kang? Kok kayak yang kesel begitu," aku iseng bertanya.
"Begitu tuh kelakuan orang kaya, A. Sombong banget kelihatannya. Mentang-mentang punya duit, jadi seenaknya. Udah ditolongin, eh, nggak bilang makasih. Main pergi gitu aja," terangnya sambil misuh-misuh. "Makanya, saya tehagak nggak begitu respek, A, sama orang kaya. Orang kecil kaya saya, suka nggak dihargain sama mereka."
Glek.Aku tercekat oleh ludahku sendiri.
Oh, ternyata begitu,aku terperanjat. Ya, ternyata ini yang aku maksud dengan penampilan luar seseorang menentukan kejujuran sikap orang lain terhadapnya.
Aku jadi kepikiran sikap orang-orang ketika aku sedang mengenakan pakaian CV bak pakaian PNS saat hari senin dan selasa. Mungkin saja kemudahan dan keramahan yang aku dapati dari orang lain itu memang bukan berasal dari sikap jujur orang tersebut. Ya, mungkin saja.
Dari cara si penjaga warung mengomentari pengemudi mobil barusan, aku jadi tahu satu hal; sikap jujur orang lain ditentukan dari kesetaraan status sosial seseorang. Em.. pantas saja laki-laki itu begitu bebas ber-curcolria kepadaku malam itu. Rupanya penampilanku-lah yang membuatnya merasa setara, sehingga menganggap diriku bukan gangguan atau ancaman.
Oke. Aku mengerti sekarang. Ketimbang mendapat perlakuan atau sikap "berpura-pura" dari orang lain, akan lebih baik jika aku mendapat kejujuran dari orang lain kepadaku.
Mulai sekarang, aku akan merasa "bodo amat" terhadap penampilan. Karena, GueBeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H