Mohon tunggu...
Abi Qhurairah
Abi Qhurairah Mohon Tunggu... Arsitek - Architect | Project Management Officer

Scribo, ergo sum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menertawakan Mbah Benu, Menertawakan Cara Saya Beragama

12 April 2024   22:58 Diperbarui: 12 April 2024   23:03 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cerita itu terlintas kembali dalam ingatan saya. Saya rasa banyak yang sudah pernah mendengarnya. Tapi, tidak ada salahnya saya tuliskan lagi secara singkat.

Saat itu masih era orde baru. Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) sedang berkumpul bersama para kiyai sepuh dalam sebuah forum. Di situ, Gus Mus membahas topik mengenai ghoyah (tujuan) dan wasilah (jalan atau sarana untuk mencapai tujuan tersebut) dalam beragama.

"PDI, PPP, dan Golkar itu wasilah atau ghoyah?" Gus Mus bertanya kepada forum. Dengan mantap, para kiyai serempak menjawab, "Wasilah!"

Gus Mus tersenyum, kemudian melanjutkan pertanyaannya, "NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan lainnya itu wasilah atau ghoyah?"

"Wasilah...", jawaban kembali terdengar, namun tidak semantap sebelumnya.

Gus Mus pun bertanya kembali, "Islam, Kristen, Hindu, dan Budha itu wasilah atau ghoyah?" Pertanyaan ketiga ini direspon dengan diam oleh forum. Tiga kali Gus Mus mengulangi pertanyaan ini, namun tidak ada yang menjawab. Sampai akhirnya, ada kiyai yang balik bertanya, "Kalau menurut Gus Mus sendiri bagaimana?"

Gus Mus mantap menjawab, "ya wasilah juga".

Jawaban Gus Mus tersebut menggegerkan forum. Mengapa Islam dianggap hanya sebagai wasilah? Lantas apa ghoyah atau tujuan dari Islam itu sendiri?

"Ghoyahnya ya Gusti Allah." Jawab Gus Mus.

***

Ingatan saya akan cerita di atas dipicu setelah lini masa FB saya memunculkan berita mengenai Mbah Benu. Pemimpin Jamaah Aolia Gunung Kidul tersebut menetapkan tanggal 5 April kemarin sebagai hari raya Idul Fitri. Menurut berita itu, Mbah Benu mengaku menetapkan hari raya pada tanggal tersebut setelah "menelepon" Gusti Allah. Saya sendiri baru mengenal Mbah Benu dan Jamaah Aolia Gunung Kidul melalui berita kemarin, sehingga saya tidak terlalu tertarik menelusuri seperti apa persisnya cara beliau menetapkan tanggal hari raya.

Perhatian saya justru lebih tertuju pada komentar-komentar atas berita itu. Jujur saja, sebagian besar komentar yang saya temui bernada mencemooh. Dalam acara buka bersama yang saya datangi kemarin, topik ini dibahas dengan nada menertawakan. Bahkan, ada yang sampai menyebut Mbah Benu sesat. Saya mencoba merenungi, mengapa persisnya cemoohan dan penilaian "sesat" tesebut bisa muncul?

Apakah tanggapan itu muncul atas waktu lebaran yang berbeda dari sebagian besar muslim di dunia? Terus terang, saya menyangsikannya. Sebagai alumni tiga sekolah Muhammadiyah, bukan cuma sekali dua kali saya berpuasa atau berlebaran lebih dulu dari orang-orang di lingkungan terdekat saya. Tidak pernah sekalipun perbedaan tersebut memantik komentar, apalagi cemoohan.

Beberapa tareqat, seperti Jamaah Naqsabandiyah di Sumatra dan An-Nadzir di Sulawesi, juga memulai puasa lebih dulu lagi. Tahun ini, kedua jamaah ini berpuasa sehari sebelum Muhammadiyah, yang mulai berpuasa sehari sebelum tanggal yang disepakati Kemenag. Bahkan, seingat saya, kedua jamaah ini selalu berpuasa dan berlebaran lebih dahulu dari tanggal resmi pemerintah. Saya tidak ingat perbedaan-perbedaan ini pernah menimbulkan kehebohan.

Bahwa ada beberapa komentar nyinyir dari warganet atas kelompok yang waktu puasa dan lebarannya berbeda, itu saya anggap biasa. Apalagi kalau nyinyirannya berasal dari akun yang daftar pertemanannya tidak sampai seratus orang. Namanya website pasti butuh trafik. Dan memancing keributan adalah cara paling cepat untuk mendatangkan trafik tersebut. Artinya, nyinyiran semacam itu memang lebih dimotivasi oleh tujuan ekonomi daripada ego sektarian. Tidak perlu ditanggapi.

Akan tetapi, ada yang berbeda dari nyinyiran atas waktu lebaran Jamaah Aolia ini. Ini bukan cuma nyinyiran pemancing trafik dari akun-akun anonim. Nyinyiran ini bahkan muncul dalam forum luring seperti buka puasa bersama yang saya datangi kemarin. Tidak ada lagi kesungkanan ataupun rasa perlu untuk bersembunyi di balik anonimitas. Cemoohan dan tuduhan sesat atas Mbah Benu dilontarkan dengan keyakinan mutlak.

Apa persisnya yang ditertawakan orang ketika mereka menanggapi tanggal lebaran Mbah Benu dan jemaahnya? Dugaan saya tertuju pada pengakuan Mbah Benu bahwa beliau "menelepon" Gusti Allah untuk menetapkan tanggal lebaran. Namun, saya masih merasa belum melihat inti fenomena ini. Kenapa persisnya orang yang mengaku bisa "menelepon" Gusti Allah ditertawakan?

Apakah karena pemilihan diksi "menelepon", yang dianggap kurang memiliki nuansa spiritual? Halah, kok ya dangkal sekali. Kalau kata "menelepon" itu diganti dengan "meminta petunjuk", masihkah kita menertawakannya? Lha ya umat muslim sendiri, dalam satu hari, minimal meminta petunjuk kepada Gusti Allah sebanyak 34 kali. Dua kali dalam tiap rakaat sholat, yaitu saat membaca Al-Fathihah dan doa duduk di antara dua sujud. Jadi, apa yang lucu dari orang yang "menelepon" Gusti Allah dan meminta petunjuk-Nya dalam beraktivitas?

Atau apakah karena diksi "menelepon" menyiratkan bentuk komunikasi dua arah? Karena setelah meminta petunjuk Gusti Allah, Mbah Benu mengaku mendapat respon dari-Nya berupa penetapan waktu Idul Fitri pada tanggal 5 April lalu?

Sekali lagi, mengapa hal itu ditertawakan? Apakah kita sendiri tidak pernah mengharapkan respon dari Gusti Allah saat membaca "Ihdinas shiraatal mustaqiim" atau "Rabbighfirlii warhamnii wajburnii wahdinii warzuqnii", sehingga kita merasa aneh melihat orang yang merasa diberi petunjuk? Lha ya kalau kita tidak pernah mengharapkan respon dari Gusti Allah, untuk apa kita melafalkan doa-doa tersebut?

Atau apakah karena Mbah Benu meminta petunjuk untuk menjalankan ibadah yang termasuk kategori mahdhoh? Ibadah ritual yang SOPP nya sudah mapan, tanpa menyisakan ruang untuk mempertanyakan benar atau salahnya? Pokoknya ikuti saja tata cara yang sudah ditentukan oleh konsensus. Pasti benar.

Sik sik, apakah memang seperti itu cara kita menilai ibadah yang kita lakukan selama ini? Menjadikan kesepakatan umum sebagai tolok ukur kualitas wasilah yang kita jalani?

Tidak, saya tidak sedang menafikkan pentingnya pendapat jumhur ulama. Tentu saja itu penting. Ajaran para ulama adalah gerbang awal kita dalam menjalani agama Islam. Dari para ulama lah kita belajar tentang aturan-aturan dalam beragama. Akan tetapi, sekali lagi, agama hanyalah wasilah. Ibarat berkendara, tujuannya bukanlah mematuhi rambu-rambu, betapapun pentingnya rambu tersebut. Tujuannya adalah sampai di tempat yang kita niatkan. Dan dalam beragama, tempat tersebut adalah Gusti Allah. Mulih ka jati. Sangkan paraning dumadi. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun.

Saya jadi mempertanyakan kembali, bagaimana cara saya menilai kualitas cara saya beragama? Pernahkah saya benar-benar "menelepon" Gusti Allah? Pernahkah saya sungguh-sungguh bertanya kepada-Nya, apakah wasilah yang saya tapaki selama ini benar-benar membawa saya semakin dekat kepada-Nya? Tolok ukur apa yang saya gunakan untuk menilai efektivitas wasilah yang saya pilih dalam mencapai Sang Ghoyah? Atau jangan-jangan, selama ini, saya tidak pernah benar-benar peduli, apakah wasilah saya memang benar berujung pada perjumpaan dengan Gusti Allah? Pokoknya, yang penting SOPP nya sudah sesuai dengan kesepakatan konsensus.

Saya jadi curiga. Benarkah orang-orang sedang menertawakan Mbah Benu? Atau mereka sebenarnya sedang menertawakan diri saya yang berputar-putar di jalan? Yang sibuk fokus pada rambu-rambu tanpa pernah peduli dengan apa sebenarnya yang saya tuju?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun