Tidak, saya tidak sedang menafikkan pentingnya pendapat jumhur ulama. Tentu saja itu penting. Ajaran para ulama adalah gerbang awal kita dalam menjalani agama Islam. Dari para ulama lah kita belajar tentang aturan-aturan dalam beragama. Akan tetapi, sekali lagi, agama hanyalah wasilah. Ibarat berkendara, tujuannya bukanlah mematuhi rambu-rambu, betapapun pentingnya rambu tersebut. Tujuannya adalah sampai di tempat yang kita niatkan. Dan dalam beragama, tempat tersebut adalah Gusti Allah. Mulih ka jati. Sangkan paraning dumadi. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun.
Saya jadi mempertanyakan kembali, bagaimana cara saya menilai kualitas cara saya beragama? Pernahkah saya benar-benar "menelepon" Gusti Allah? Pernahkah saya sungguh-sungguh bertanya kepada-Nya, apakah wasilah yang saya tapaki selama ini benar-benar membawa saya semakin dekat kepada-Nya? Tolok ukur apa yang saya gunakan untuk menilai efektivitas wasilah yang saya pilih dalam mencapai Sang Ghoyah? Atau jangan-jangan, selama ini, saya tidak pernah benar-benar peduli, apakah wasilah saya memang benar berujung pada perjumpaan dengan Gusti Allah? Pokoknya, yang penting SOPP nya sudah sesuai dengan kesepakatan konsensus.
Saya jadi curiga. Benarkah orang-orang sedang menertawakan Mbah Benu? Atau mereka sebenarnya sedang menertawakan diri saya yang berputar-putar di jalan? Yang sibuk fokus pada rambu-rambu tanpa pernah peduli dengan apa sebenarnya yang saya tuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H