Perhatian saya justru lebih tertuju pada komentar-komentar atas berita itu. Jujur saja, sebagian besar komentar yang saya temui bernada mencemooh. Dalam acara buka bersama yang saya datangi kemarin, topik ini dibahas dengan nada menertawakan. Bahkan, ada yang sampai menyebut Mbah Benu sesat. Saya mencoba merenungi, mengapa persisnya cemoohan dan penilaian "sesat" tesebut bisa muncul?
Apakah tanggapan itu muncul atas waktu lebaran yang berbeda dari sebagian besar muslim di dunia? Terus terang, saya menyangsikannya. Sebagai alumni tiga sekolah Muhammadiyah, bukan cuma sekali dua kali saya berpuasa atau berlebaran lebih dulu dari orang-orang di lingkungan terdekat saya. Tidak pernah sekalipun perbedaan tersebut memantik komentar, apalagi cemoohan.
Beberapa tareqat, seperti Jamaah Naqsabandiyah di Sumatra dan An-Nadzir di Sulawesi, juga memulai puasa lebih dulu lagi. Tahun ini, kedua jamaah ini berpuasa sehari sebelum Muhammadiyah, yang mulai berpuasa sehari sebelum tanggal yang disepakati Kemenag. Bahkan, seingat saya, kedua jamaah ini selalu berpuasa dan berlebaran lebih dahulu dari tanggal resmi pemerintah. Saya tidak ingat perbedaan-perbedaan ini pernah menimbulkan kehebohan.
Bahwa ada beberapa komentar nyinyir dari warganet atas kelompok yang waktu puasa dan lebarannya berbeda, itu saya anggap biasa. Apalagi kalau nyinyirannya berasal dari akun yang daftar pertemanannya tidak sampai seratus orang. Namanya website pasti butuh trafik. Dan memancing keributan adalah cara paling cepat untuk mendatangkan trafik tersebut. Artinya, nyinyiran semacam itu memang lebih dimotivasi oleh tujuan ekonomi daripada ego sektarian. Tidak perlu ditanggapi.
Akan tetapi, ada yang berbeda dari nyinyiran atas waktu lebaran Jamaah Aolia ini. Ini bukan cuma nyinyiran pemancing trafik dari akun-akun anonim. Nyinyiran ini bahkan muncul dalam forum luring seperti buka puasa bersama yang saya datangi kemarin. Tidak ada lagi kesungkanan ataupun rasa perlu untuk bersembunyi di balik anonimitas. Cemoohan dan tuduhan sesat atas Mbah Benu dilontarkan dengan keyakinan mutlak.
Apa persisnya yang ditertawakan orang ketika mereka menanggapi tanggal lebaran Mbah Benu dan jemaahnya? Dugaan saya tertuju pada pengakuan Mbah Benu bahwa beliau "menelepon" Gusti Allah untuk menetapkan tanggal lebaran. Namun, saya masih merasa belum melihat inti fenomena ini. Kenapa persisnya orang yang mengaku bisa "menelepon" Gusti Allah ditertawakan?
Apakah karena pemilihan diksi "menelepon", yang dianggap kurang memiliki nuansa spiritual? Halah, kok ya dangkal sekali. Kalau kata "menelepon" itu diganti dengan "meminta petunjuk", masihkah kita menertawakannya? Lha ya umat muslim sendiri, dalam satu hari, minimal meminta petunjuk kepada Gusti Allah sebanyak 34 kali. Dua kali dalam tiap rakaat sholat, yaitu saat membaca Al-Fathihah dan doa duduk di antara dua sujud. Jadi, apa yang lucu dari orang yang "menelepon" Gusti Allah dan meminta petunjuk-Nya dalam beraktivitas?
Atau apakah karena diksi "menelepon" menyiratkan bentuk komunikasi dua arah? Karena setelah meminta petunjuk Gusti Allah, Mbah Benu mengaku mendapat respon dari-Nya berupa penetapan waktu Idul Fitri pada tanggal 5 April lalu?
Sekali lagi, mengapa hal itu ditertawakan? Apakah kita sendiri tidak pernah mengharapkan respon dari Gusti Allah saat membaca "Ihdinas shiraatal mustaqiim" atau "Rabbighfirlii warhamnii wajburnii wahdinii warzuqnii", sehingga kita merasa aneh melihat orang yang merasa diberi petunjuk? Lha ya kalau kita tidak pernah mengharapkan respon dari Gusti Allah, untuk apa kita melafalkan doa-doa tersebut?
Atau apakah karena Mbah Benu meminta petunjuk untuk menjalankan ibadah yang termasuk kategori mahdhoh? Ibadah ritual yang SOPP nya sudah mapan, tanpa menyisakan ruang untuk mempertanyakan benar atau salahnya? Pokoknya ikuti saja tata cara yang sudah ditentukan oleh konsensus. Pasti benar.
Sik sik, apakah memang seperti itu cara kita menilai ibadah yang kita lakukan selama ini? Menjadikan kesepakatan umum sebagai tolok ukur kualitas wasilah yang kita jalani?