Sontak aku memeragakan jurus kuda laut kehabisan air, kabur. Sial yang kedua si empunya rumah tersadar ada penyusup dan berteriak maling. Teriakannya mungkin sampai ke Jakarta, keras sekali. Beberapa orang yang mendengar langsung mengejarku. Ku lempar celana dalam dan bra dari genggaman, lari sekuat tenaga. Menyusur gang dan peakarangan, mereka tambah banyak, nyaliku ciut. Sial yang ketiga aku terkejar. Seketika ribuan bogem dan telapak bersilaturahmi ke tubuhku. Semua mendadak gelap.
Aku di verbal, mereka tidak menyiksaku. Malah menertawakanku berkali-kali. Satu kali bertanya, lima kali tertawa. Wajahku lebam, beberapa titik masih mengeluarkan darah. Mereka lagi-lagi menertawakanku. Aku muak ditanya hal yang sama lagi. Aku tidak gila. Apa salahnya senang memakai celana dalam perempuan.
Aku tak dipenjara. Malah dipulangkan, mereka tak sanggup memenjarakanku, takut kebiasaan itu menular kepada narapidana lainnya. Di rumah, Pairin dan Tejo menyambut. Mereka memelukku. Aku mengangis. Istri dan anakku diam. Mereka tertekan secara kejiwaan oleh ejekan tetangga, bahkan mulai berpikir untuk tak hidup bersamaku lagi.
Tejo pamit pulang mau kembali ke Ruko di Surabaya, hanya dibolehkan izin dua hari oleh mandor. Sebelum Pairin berpamitan juga, dia menarikku ke samping rumah lalu bertanya, "Yo, tolong pulangin celana dalam yang kamu ambil dari tasku itu, susah tau ngambilnya di daerah Kandangan!".