Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Melebur di Jogjakarta (Part 2)

20 November 2019   17:19 Diperbarui: 20 November 2019   17:36 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kereta yang kami tumpangi bernama Argo Dwipangga tepatnya di hari Kamis 14 November atau dua hari lagi sebelum peringatan Hari Toleransi Internasional. Tempat duduk punya saya berada di ruang Eksekutif bernomor 7D. Di sebelah kiri saya adalah Bani dengan nomor tempat duduk 7C. Gerombolan Setara Tour Jogja semuanya bertempat duduk di satu gerbong. Tepatnya di gerbong delapan seperti yang telah saya ceritakan dibagian pertama.

Kereta pun meninggalkan St Gambir dengan perlahan-lahan. Saya merasakan bahwa pengemudi kereta belum maksimalkan kecepatan. Reno dan Yasmin bergembira setelah melihat kereta telah berjalan. Dadaaaa, lambaian suara perpisahan antara kedua bocah itu terhadap kota Jakarta. Mereka berdua berlarian kesana kemari tanpa batasan. Beberapa kali kami mencoba menegur agar jangan lari-lari dalam kereta. Namun Reno anaknya bang Oki ini, malas tahu dan acuh tak acuh.

Hmm, dasar bocah. Bikin gemesss aja nih anak. Pingin cubit deh," kata saya dalam hati.

Antara Reno dan Yasmin, sama seumuran, hanya Reno agak lancang sedikit dan itu yang tidak dimiliki Yasmin yang lebih banyak memilih untuk tidak bersuara.

Yasmin merupakan anak dari bang Hilal. Ade Yasmin ini sangat cantik diusiannya. Itu menurut saya sih. Reno juga sama, ganteng walau sedikit menjengkelkan. Haha, tapi tak apalah mereka juga masih bocah buanget. Ya kira-kira 5 tahun.

Terbangun dari kefokusan yang terus memandangi cerianya Reno dan Yasmin, kereta baru memasuki St Jatinegara dan tentunya masih pelan jalannya. Bang Oki lalu kemudian membagikan kami segerombolan Tour Setara nasi uduk yamg telah disiapkan mba Diah. Kami menerimanya dengan senang hati, sebagian dari kami ada yang langsung memakan nasi uduk tersebut.

Jangan makan dulu ah, lagian belum lapar kok. Entar kalau sudah lapar baru makan aja," gumam saya dalam hati lagi.

"Men, kamu kenapa gak makan? tanya saya pada Bani. Entarlah men, saya belum lapar juga nih." jawabnya.

Sehabis obrolan antara pertanyaan makan, air aqua yang saya terima dari bang Oki kemudian saya tuangkan ke dalam mulut dengan mode trompet. Sejenak minum, Bani tiba-tiba mengeluarkan Aipadnya dan menunjukan video kampanye Hari Toleransi Internasional yang telah usai di editnya. Pasalnya pada tanggal 10 kemarin, saya dan Bani berencana membuat video kampanye berupa " Apa pendapat anak muda soal Toleransi"? Kira-kira begitu judul pertanyaannya.

Lalu, saya yang berkewajiban untuk mencari simpatisan anak muda yang  ingin bersolidaritas dalam kampanye kami. Beberapa nama telah saya catat dan langsung saya hubungin nama-nama tersebut. Alhamdulillah dengan senang hati mereka sangat mau dan bersedia menjadi bagian dari kampanye kami.

Singkat cerita, rencana saya dan Bani telah berhasil untuk merangkul solidaritas dalam kampanye Hari Toleransi.

"Giman men menurutmu?" tanya Bani.

"Apanya?"

"Ini video kampanye itu sudah jadi. Coba kau tonton."

"Boleh dong men." Bani kemudian menyerahkan Ipadnya kepada saya dan saya pun menontonnya. Terlihat kecil suara akibat bunyi roda kereta. Saya kemudian memakai hedset untuk menetralkan keadaan.

"Widihh, keren buanget men. Kirim dong?" pintaku.

"Yah, jangan men. Belum saatnya. Entar tanggal 16 aja baru saya lempar," ontal Bani.

"Lah emang kenapa kalai sekarang?" tanyaku lagi akibat tidak puas dengan ontalin Bani tersebut.

"Yah, kan harus ngikut instruksi. Masa ketika kau post duluan dan Setara belum kan, tidal keren jadinya."

"Yaudah deh bigbos, ikut aja instruksimu."

"Ahh, men makan yo." Ajak Bani yang sudah terlihat lapar.

Aku hanya bisa menjawabnya dari bilik jendela kereta dengan menatap bangunan-bangunan lebar di seberang sana. 

"Kau makan duluan aja," beberanku.

"Men, Pasti itu bangunan-bangunan pabrik ya? Yoi bro," jawabnya. Saya baru sadar kalau ternyata kereta yang kita tumpangi sudah sampai Karawang. Sebuah kota yang banyak pabriknya, menurut informasi yang saya dapat kalau Karawang merupakan pusat pabrik paling terbanyak di Indonesia. Disusul oleh kota Tangeran, Banten. Bahkan Upah Minimun Regional (UMR) untuk para pekerja, dikatakan Karawanglah yang paling terbesar. Yang kira-kira 4, 6 jt perbulan untuk satu pekerja pabrikan.

Di balik kekayaan dan kesejateraan para pekerja pabrik di Karawang ada sejumlah fakta menarik terkait penggusuran lahan demi pembangunan infrastruktur jalan tol Jakarta - Bandung. Banyak lahan warga yang digusur secara paksa oleh pemerintah. Konflik lahan antara masyarakat desa dan pemerintah menghadirkan ketidakadilan sosial. Namun, di mata publik, Karawang sedang baik-baik saja.

Bani yang perlahan melahap nasi uduk berisikan telor, mie, sambal goreng dan gorengan kemudian membuat saya tergoda dan melahirkan rasa lapar dengan serentak.

Dari pada iming-iming mendingan makan aja deh. Keburu nasinya basi juga to. Saya lalu mengambilnya dari bagasi kereta yang terletak di atas kepala saya dan langsung menguyah nasi uduk tersebut yang diawali dengan bissmillah.

Perjalanan kami menuju Jogjakarta saya melihat pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Semerbak burung camar berterbangan di dihijaunya hutan Jati. Kondisi cuaca hampir sepulau Jawa mengalami kekeringan dan tandus. Teriknya mentari seperti membakar tanah adam. Lahan padi sepertinya telah habis masa panennya. Ia, benar sekali. Hanya bekas rumput padi kering yang tersisah yang ditumpukan penggarap. Dikejauhan sebatang gunung kokoh berdiri tegak yang dilapisi awan hitam, apakah akan turun hujan? tanya saya dalam hati.

Makin dekat gunung besar itu tampak terlihat jelas dimata. Ohiya. Ingatku, inikan gunung Ciremai. Berarti sudah dekat Cirebon dong?

"Men," saya menyapa Bani lagi. "Itu gunung Ciremain kan?" 

"Iya men. Betul sekali. Itu gunung Ciremai."

"Kau sudah kesana belum? tanya Bani.

"Wah,  belum pernah men," jawabku dengan nada datar. Kapan kita ke sana? tanyaku lagi.

"Nunggu transferan dulu men dari bos," ucap Bani sambil ketawa.

Hahaha, bosbes atau broker?

Keretapun mengambil alih untuk menghentikan pembicaraan saya dengam Bani soal track in Ciremai. Di St Cirebon kereta berhenti, dibalik kaca saya melihat banyak lelaki yang keluar dari pintu gerbong. Dugaan saya mereka akan turun di Cirebon. Eh malah keliru dugaan saya. Para lelaki yang keluar itu ternyata mereka ingin merokok.

Awalnya kaget sekali, ketika saya melihat mereka bebas merokok di St Cirebon. Berbeda dengan setiap stasiun se-Jabodetabeka yang dilarang keras untuk tidak no smoking diarea stasiun. Bila kedapatan akan dipidana sesuai undang-undang yang berlaku.

Saya tidak paham apa perbedaan antara bisa merokok di St Cirebon dan tidak bisa merokok karena aturan di stasiun KRL se-Jabodetabeka. Karena masih bimbang dan ragu saya lalu memutuskan untuk bertanya ke Bani, sebab pikir saya mungkin dia tahu. Pikiran saya melenceng lagi, Bani juga tidak tahu setelah saya menanyakannya. Kalau begitu disave dulu pertanyaan itu," kataku pelan yang sedang menunduk untuk membuka sepasang sepatu saya.

Saya merasa gerah dengan terus memakai sepatu. Membukanya adalah pilihan tepat. Karena saya tidak mungkin menaikan kedua kaki saya di atas bangku dengan memakai sepatu. Kelihatannya tidak etis rupanya. Kalau buka sepatu kan bisa bebas.

Di St Cirebon kereta hanya berhenti 5 menit. Untuk menjamin keselamatan perokok dari lima menit kereta berhenti, banyak sekali yang memanfaatkan untuk merokok. Saya juga ingin merokok namun informasi keberangakatan yang disampaikan awak kabin kereta melalui speaker kereta membuat saya merasa ragu-ragu.

"Jangan dulu ah. Di Stasiun berikutnya aja".

Lirik mataku melihat ada beberapa orang menarik rokok dengan penuh kekesalan akibat kereta akan segera diberangkatkan. Bahkan asap rokok pun dihembuskan seperti melepaskan ekspresi ketidakbahgiaan. Yaiyalah, sebatang belum sampai garis tengah juga, keretanya main berangkat aja. Kira-kira 4 tarikan pertama kemudian pintu gerbong akan ditutup. Wajah kekesalan para lelaki perokok banyak yang membekas di St Cirebon. Apa mau dikata, kamu terlambat akan ditinggalin. Jadi silahkan pilih saja.

Gaes, untuk part 2 sampe sini dulu ya? Poko e jangan bosan-bosan menunggu karena akan lahir part-part selanjutnya yang tidak kalah menariknya. Trims

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun