"Warga Tobelo Dalam di Antara Citra Buruk dan Realitas Perubahan di Dalam"
Jika seniman teater plus aktivis hak-hak perempuan asal Amerika Serikat, Eve Ensler, bilang bahwa penamaan itu sama sekali tidak pernah bebas nilai, tampaknya sukar untuk menafikan kebenaran ucapannya itu. Realitas keseharian kita pun menunjukkan pemilihan nama dan penyebutan tak jarang dilakukan pihak tertentu untuk memberi stereotip kepada yang ditunjuk. Dalam istilah Ensler, bahasa dan pemberian nama memberikan pengaruh besar terhadap persepsi dan realitas yang kita indra.
Lebih jauh, menurut Sosiolog dan Ahli Teori Kebudayaan Prof. Stuart Henry McPhail Hall, stereotip pemaknaan pihak lain dalam format binary (ditandai oleh dua benda atau dua bagian) membuat "mereka" kerap dikeluarkan dari  tatanan "normal dan media menjadi salah satu agen yang turut mereproduksi pemahaman itu.
Pencitraan yang kerap tidak sesuai dengan  realitas empiris.
Misalnya penyebutan kata "Samin" di kalangan masyarakat Jawa yang berkonotasi negatif, yakni "pemberontak", "keras kepala", "tambeng", untuk istilah "Sedulur Singkep" atau "Wong Singkep", yang dipilih oleh para "penganut"-nya.
Hal serupa terjadi pula di banyak komunitas adat, misalnya Suku Anak Dalam yang menolak sebutan "Orang Kubu". Juga di Halmahera, ketika warga Suku Tobelo Dalam (O'Hongana Manyawa) menolak sebutan "Suku Togutil" yang banyak ditulis orang-orang di luar mereka.
Persoalannya, kata "Togutil" sudah lama digunakan sebagai sebutan yang mengandung banyak prasangka negatif bagi Suku Tobelo Dalam. "Togutil" telah lama membawa makna orang-orang malas, tak pernah atau jarang mandi, emosional, dan memandang biasa laku pembunuhan. Bahkan hingga anggapan sebagai kanibal yang tentu sangat tak nyaman buat warga Tobelo Dalam.
Padahal, kata Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Syaiful Madjid, kata "Togutil" sebenarnya sebutan yang awalnya dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, yang pernah tinggal lama bersama  warga Tobelo Dalam di belantara Halmahera. Mengutip disertasi Platenkamp, "Tobelo: Ideas and Values of a North Moluccan Society", Syaiful menegaskan bahwa Platenkamp telah mendokumentasikan secara mendalam adat-istiadat, sistem kepercayaan, dan struktur sosial masyarakat Tobelo.
"Platenkamp pernah tinggal lama di kompleks Dufa-Dufa, Tobelo, Halmahera Utara. Ia juga lama menelusuri dan tinggal di Kampung Kusuri hingga Iga Labi-Labi," ujar Syaiful. Nama-nama tempat yang disebut Syaiful itu dikenal sebagai kawasan hunian kaum Tobelo Dalam.
"Togutil" sendiri, kata Syaiful, datang dari bahasa Tobelo, yakni dari kata "O 'Tau Gutili" atau rumah pengobatan. Karena itu, Syaiful mengaku tidak suka dengan penggunaan istilah tersebut untuk menunjuk warga Tobelo Dalam.
"Saya juga tidak suka dengar orang bilang warga Tobelo Dalam itu primitif. Mereka berbudaya dan punya makna soal kehidupan, mereka punya sistem nilai dan kepercayaan," ungkap Syaiful, yang di masa kecilnya tinggal di Dodaga, Halmahera Timur, tempat masyarakat Tobelo Dalam atau O'Hongana Manyawa bermukim.
Keluhuran budaya itu ditunjukkan banyak hal. Misalnya, dalam adat Tobelo, setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan penanaman lima bibit pohon. Sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan menanam 10 bibit pohon.
"Tradisi ini menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmoni dengan alam sekitar," ujar Syaiful.
Warga O'Hongana Manyawa juga tak hanya mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan berburu, meramu, atau mencari ikan. Mereka juga sudah memiliki budaya bercocok tanam, meski masih berpindah-pindah. Bagaimanapun itu menjadi bukti berkembangnya budaya di antara mereka.
Kebiasaan berburu dan meramu itu menimbulkan budaya lain di antara mereka: menghormati hutan.
"Dalam alam pemahaman mereka, bagaimana mereka memperlakukan hutan, merupakan jaminan bagi ketahanan pangan. Hutan bahkan tidak hanya menjadi sumber daya ekonomi, tetapi merupakan suatu kosmos, tempat aspek-aspek religi, sistem pertanian dan perburuan, dan sebagainya berinteraksi membangun kehidupan yang utuh," kata Syaiful.
Konsepsi diri dan lingkungan warga O'Hongana Manyawa itu tertuang dalam tradisi lisan Wawango (hidup) dan Lilingiri (cari), yang menjadi acuan kehidupan mereka. Nilai-nilai Wowango mereka tempatkan juga untuk kepentingan komunitas di masa akan datang (future), dalam arti setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya demi kelangsungan kehidupan anak cucu mereka. Sementara tradisi Lilingiri berisi aturan-aturan yang menentukan sikap dan perilaku O'Hongana Manyawa dalam pemenuhan kebutuhan keseharian, meramu dan berburu.
Karena telah berbudaya itulah, maka komunitas Tobelo Dalam memiliki kewajiban pribadi masing-masing untuk menghayati dan mewujudkan lima sikap hidup dalam  keseharian.
Kelima sikap hidup itu adalah  O dora atau berbelas kasih; O hayangi atau saling tepa selira, O baliara yakni saling memelihara dan menjaga, O adili atau kesetaraan dan keadilan, dan O diai yakni saling memperbaiki, saling mendukung.
----
Tobelo Dalam dan Laut
Yang menarik, selama ini kaum Tobelo Dalam selalu disebutkan (hanya) sebagai suku pedalaman yang menghuni hutan dan pegunungan, dengan kebudayaan yang juga khas suku-suku pedalaman.
Namun menurut Sefnat Tagaku, seorang mahasiswa jurusan teologi Universitas Halmahera (Uniera) yang merujuk pendapat dosen pengajarnya yaitu Pendeta Arkipus Djurubasa, M.Th untuk mata kuliah  "Agama Suku di Halmahera", suku Tobelo Dalam masih perlu diteliti lebih lanjut untuk "hanya" dianggap sebagai suku pedalaman. Pendeta Arkipus juga tak sepenuhnya memegang pendapat bahwa orang Tobelo disebut berasal dari Talaga Lina.
"Mungkin untuk sebagian, tapi tidak untuk seluruhnya," kata Sefnat dalam sebuah artikel di satu media Maluku Utara, mengutip dosennya.
Pendeta Arkipus yakin, kata "Tobelo" sendiri berasal dari dua kata, yaitu "To" dan "Beloho". "To" berarti "saya" dan "Beloho" berarti "patok", "tanda", atau "penahan". Hal itu lebih dekat pada seseorang yang membuat penahan perahu yang sementara dilabuhkan. Kebiasaan membuat penahan perahu yang sementara dilabuhkan ini masih dipraktikkan hingga saat ini oleh orang-orang Tobelo. Caranya cara menanamkan tiang di saat pembuatan perahu, untuk membantu penimbun perahu (semang-semang) agar tidak mudah dihanyutkan ombak.
Hal lain yang menunjukkan bahwa Tobelo tak semata suku pedalaman itu dikuatkan adanya istilah "Canga", yakni sebutan bagi para "bajak laut" asal orang-orang Tobelo.
Keberadaan orang-orang Tobelo sebagai bajak laut itu dikuatkan oleh Prof Olaf H. Schumann, guru besar teologi dari Universitas Hamburg, Jerman, yang sejak muda lama bergelut dengan suku Tobelo Dalam sebagai peneliti dan teolog. Dalam "Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan" (penerbit BPK Gunung Mulia, 2004), Prof Schuman menyatakan bahwa orang Tobelo adalah bajak laut yang dikenal sampai ke Pulau Jawa. Bahkan mereka menjadi bagian dari kekuatan Pangeran Nuku Muhammad Amiruddin saat melawan kompeni Belanda, Â Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Fakta serupa disampaikan Prof. Adrian Bernard Lapian, dalam "Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX". "...di samping itu, pelaut Halmahera juga ikut berperan---suku bangsa Tobelo, Galela, Weda, Maba dan Patani disebut sebagai unsur penting dalam kekuatan laut Nuku."
Belakangan, setelah Sultan Nuku meninggal, orang Tobelo tetap bertahan sebagai bajak laut. Pada Oktober 1850, dengan 15 perahu besar mereka memasuki Pulau Bawean di utara Jawa Timur, saat mayoritas kaum laki-laki di pulau itu sedang berlayar. Mereka menangkapi penduduk untuk dijual sebagai budak.
Ulah mereka sampai membuat pemerintah kolonial berusaha melacak para bajak laut Tobelo. Namun gagal. Kerajaan-kerajaan di sekitar Halmahera pun khawatir dengan kiprah bajak laut Tobelo itu. Keresahan orang-orang di sekitar Halmahera itu dibicarakan para sultan dari kerajaan-kerajaan yang ada dengan pemerintah Hindia Belanda. Langkah unik pun diambil untuk Halmahera Utara.
"Zending (misi) Protestan baru mulai masuk ke Halmahera Utara (Galela) sekitar 1866, atas permintaan Sultan Ternate pada pemerintah kolonial Belanda. Tujuannya menentramkan orang Tobelo yang waktu itu ditakuti sampai ke Jawa sebagai bajak laut," catat Prof. Schumann.
Langkah tersebut efektif. Banyak orang Tobelo kemudian menganut agama Kristen.
"Sumber dari abad XVII mengatakan bahwa pada 1662 orang Tobelo masih berdiam jauh dari pantai. Hal ini disebabkan karena mereka sering diserang oleh bajak laut. Jadi, pada waktu itu mereka belum merupakan suku bangsa yang melaut dan tentu saja belum tahu membajak di laut," tulis Prof. Lapian.
----
Arti Hutan Bagi Tobelo Dalam
Ada kearifan lokal Tobelo Dalam yang sepatutnya dihormati kalangan luar mereka. Sebagaimana suku-suku lainnya yang diam dan hidup bertumpu pada hutan, hutan sangat mereka hormati.
Nilai-nilai kehidupan sehari-hari mereka sangat bertalian dan menyatu dengan hutan. Bagi mereka, hutan bukan hanya lingkungan tinggal dan tempat mendapatkan bahan makanan, tetapi lebih jauh merupakan sumber kehidupan (disebut Manga Wowango), sekaligus muara eksistensi dalam perkembangan kehidupan Tobelo Dalam.
Dalam hutan mereka dilahirkan, hidup, dan meninggal. Selama ini, mereka menganggap hutan sebagai sumber kehidupan (manga wowango) itu tidak akan habis sampai ke anak-cucu mereka. Karena itu mereka pun menjaga hutan sama seperti mereka menjaga keluarga. Bagi warga O'Hongana Manyawa, "Hutan adalah milik kami" (Na tangomi mia fongana).
Sikap hidup dan kearifan lokal ini tak hanya harus diketahui kita sebagai kalangan luar, tapi juga harus menghormatinya. Karena hanya dengan mencoba memaklumi mereka dan cara berpikirnya, harmoni di antara orang luar dan warga Tobelo Dalam bisa terbangun dan terjaga.
Â
Namun, seperti juga diungkap penelitian etnografi yang dilakukan Dodi Rokhdian di kalangan Suku Anak Dalam untuk tesis masternya di Universitas Indonesia, ada hukum besi perubahan dalam kehidupan komunitas apa pun di dunia. Selalu ada orang (umumnya kebanyakan kalangan muda) dalam komunitas tersebut yang terpesona akan dunia di luar komunitasnya. Mereka ingin berubah dan mengenyam cara hidup "baru" tersebut.
Dodi, dalam tesisnya itu, menulis bahwa berlawanan dengan stereotip banyak kalangan, termasuk yang dicitrakan lembaga advokasi yang "membantu" mereka, pada dekade pertama milenium baru pun Suku Anak Dalam sudah mengenal telepon genggam dan berkomunikasi dengan perangkat tersebut di antara mereka. Menilik waktunya, itu tak jauh dari waktu kita - orang luar yang "berperadaban" - juga dimasuki budaya telepon genggam. Mereka juga sudah sangat terbiasa mengendarai motor ("honda" dalam istilah mereka).
Sementara LSM Warsi yang mengadvokasi mereka, pada media internal bernama "Alam Sumatera" Volume 1 No. 1/Januari 2001, masih suka menceritakan bagaimana Orang Rimba di Bukit Duabelas menjalankan kehidupannya dalam nuansa eksotis dan romantis, seakan Orang Rimba berbeda secara kontras dengan kehidupan masyarakat lainnya.
Hal yang juga dilihat Christopher Duncan dilekatkan pada citra tentang warga Tobelo Dalam, yang ia sampaikan dalam artikel yang terbit di The Asia Pasific Journal of Anthropology tahun 2001 berjudul "Savage imagery: (Mis)representation of the Forest Tobelo People".
Berkenaan dengan pencitraan buruk inilah, menurut Duncan, istilah Togutil dan stigma negatif yang menyertainya mencuat dan sengaja diciptakan oleh aktor-aktor eksternal di luar komunitas Tobelo Dalam.
"Padahal mayoritas dari mereka sudah mengadopsi cara berpakaian ala Barat. Laki-laki memakai baju dan celana, sementara para perempuan memakai sarung dan baju," tulis Duncan.
Ia mengakui, beberapa orang tua Tobelo Dalam yang tinggal di hutan masih sering bercawat. "Tapi mereka memakai baju dan celana saat pergi ke kota."
Citra primitif tersebut ternyata berkaitan juga dengan urusan fulus. Kata Duncan, seorang pegiat gereja menyelipkan foto orang-orang Tobelo Dalam yang hanya bercawat dalam proposal yang dia kirimkan ke lembaga gereja.
"Saya berkali-kali mengunjungi Dororam dan melihat hanya dua laki-laki paruh baya yang hanya bercawat. Para perempuan pun tidak pernah tidak memakai baju," tulis Duncan. "Tapi pegiat gereja itu berkeras bahwa foto orang Tobelo Dalam yang primitif harus dipertahankan saat merayu gereja memberi bantuan," tulisnya dalam jurnal tersebut.
Jelaslah, Tobelo Dalam bukanlah suku primitif tanpa peradaban. Bukan pula entitas yang tak pernah bersinggungan dengan pendatang yang memungkinkan kedua budaya saling mengambil dan memberi.
Misalnya, menurut Maria, O'Hongana Manyawa yang kini tinggal di permukiman program pemerintah di Desa Tutuling, Wasile Timur, Halmahera Timur, mengatakan bahwa pada 1990-an ia menikah dengan pria Tobelo Dalam bernama Mei. Dalam perkawinan itu ia menerima mas kawin kain Mandar.
"Saya masih simpan kain Mandar pemberian suami saya. Itu mas kawin kami," kata Maria, meski dia tak tahu Mandar itu berada di mana.
Â
Sementara Radios Simanjuntak, dosen Universitas Halmahera yang meneliti O'Hongana Manyawa di Wagongira, mengatakan komunitas tersebut tidak hanya memiliki kebudayaan asli yang memanfaatkan 153 spesies dari 54 famili tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan obat mereka. Warga Tobelo Dalam juga mengenal budidaya padi dari akulturasi dengan pendatang. Kini bahkan warga Wagongira yang mengonsumsi padi lebih banyak dibandingkan pemakan sagu.
"Ini mungkin dipengaruhi akulturasi atau pencampuran budaya dengan para pendatang yang lebih mengutamakan konsumsi nasi dibandingkan sagu."
Peneliti senior Roem Tomatipasang, dalam bukunya "Orang-Orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Kepulauan Maluku" (2004), Â menyebutkan kontak-kontak pertama penduduk asli setempat dengan para pedagang Bugis-Makassar dan Mandar yang membawa beras dan benih padi ke daerah itu, terjadi pada abad-15.
Alhasil, sebenarnya siapa pun pendatang ke lokasi mereka bermukim harus sadar bahwa mereka berhadapan dengan komunitas beradab yang harus diperlakukan secara beradab pula. Merea juga harus mau belajar dan mengenal lebih dekat dan lebih benar tentang warga Tobelo Dalam. Jangan juga terlalu bersandar pada asumsi kosong, bahkan sejatinya prasangka yang salah.
Hanya dengan mempelajari, bergaul, saling memahami dan terus memanfaatkan berbagai hasil studi dan penelitian, siapa pun pihak yang berkepentingan dengan warga Tobelo Dalam bisa bersikap dan bertindak tepat. Juga untuk menolong mereka andai terbersit kepedulian. Bukankah sikap dan bantuan yang tepat memungkinkan terjadinya harmoni dan saling memahami? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H