Hal lain yang menunjukkan bahwa Tobelo tak semata suku pedalaman itu dikuatkan adanya istilah "Canga", yakni sebutan bagi para "bajak laut" asal orang-orang Tobelo.
Keberadaan orang-orang Tobelo sebagai bajak laut itu dikuatkan oleh Prof Olaf H. Schumann, guru besar teologi dari Universitas Hamburg, Jerman, yang sejak muda lama bergelut dengan suku Tobelo Dalam sebagai peneliti dan teolog. Dalam "Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan" (penerbit BPK Gunung Mulia, 2004), Prof Schuman menyatakan bahwa orang Tobelo adalah bajak laut yang dikenal sampai ke Pulau Jawa. Bahkan mereka menjadi bagian dari kekuatan Pangeran Nuku Muhammad Amiruddin saat melawan kompeni Belanda, Â Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Fakta serupa disampaikan Prof. Adrian Bernard Lapian, dalam "Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX". "...di samping itu, pelaut Halmahera juga ikut berperan---suku bangsa Tobelo, Galela, Weda, Maba dan Patani disebut sebagai unsur penting dalam kekuatan laut Nuku."
Belakangan, setelah Sultan Nuku meninggal, orang Tobelo tetap bertahan sebagai bajak laut. Pada Oktober 1850, dengan 15 perahu besar mereka memasuki Pulau Bawean di utara Jawa Timur, saat mayoritas kaum laki-laki di pulau itu sedang berlayar. Mereka menangkapi penduduk untuk dijual sebagai budak.
Ulah mereka sampai membuat pemerintah kolonial berusaha melacak para bajak laut Tobelo. Namun gagal. Kerajaan-kerajaan di sekitar Halmahera pun khawatir dengan kiprah bajak laut Tobelo itu. Keresahan orang-orang di sekitar Halmahera itu dibicarakan para sultan dari kerajaan-kerajaan yang ada dengan pemerintah Hindia Belanda. Langkah unik pun diambil untuk Halmahera Utara.
"Zending (misi) Protestan baru mulai masuk ke Halmahera Utara (Galela) sekitar 1866, atas permintaan Sultan Ternate pada pemerintah kolonial Belanda. Tujuannya menentramkan orang Tobelo yang waktu itu ditakuti sampai ke Jawa sebagai bajak laut," catat Prof. Schumann.
Langkah tersebut efektif. Banyak orang Tobelo kemudian menganut agama Kristen.
"Sumber dari abad XVII mengatakan bahwa pada 1662 orang Tobelo masih berdiam jauh dari pantai. Hal ini disebabkan karena mereka sering diserang oleh bajak laut. Jadi, pada waktu itu mereka belum merupakan suku bangsa yang melaut dan tentu saja belum tahu membajak di laut," tulis Prof. Lapian.
----
Arti Hutan Bagi Tobelo Dalam
Ada kearifan lokal Tobelo Dalam yang sepatutnya dihormati kalangan luar mereka. Sebagaimana suku-suku lainnya yang diam dan hidup bertumpu pada hutan, hutan sangat mereka hormati.
Nilai-nilai kehidupan sehari-hari mereka sangat bertalian dan menyatu dengan hutan. Bagi mereka, hutan bukan hanya lingkungan tinggal dan tempat mendapatkan bahan makanan, tetapi lebih jauh merupakan sumber kehidupan (disebut Manga Wowango), sekaligus muara eksistensi dalam perkembangan kehidupan Tobelo Dalam.
Dalam hutan mereka dilahirkan, hidup, dan meninggal. Selama ini, mereka menganggap hutan sebagai sumber kehidupan (manga wowango) itu tidak akan habis sampai ke anak-cucu mereka. Karena itu mereka pun menjaga hutan sama seperti mereka menjaga keluarga. Bagi warga O'Hongana Manyawa, "Hutan adalah milik kami" (Na tangomi mia fongana).