"Saya masih simpan kain Mandar pemberian suami saya. Itu mas kawin kami," kata Maria, meski dia tak tahu Mandar itu berada di mana.
Â
Sementara Radios Simanjuntak, dosen Universitas Halmahera yang meneliti O'Hongana Manyawa di Wagongira, mengatakan komunitas tersebut tidak hanya memiliki kebudayaan asli yang memanfaatkan 153 spesies dari 54 famili tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan obat mereka. Warga Tobelo Dalam juga mengenal budidaya padi dari akulturasi dengan pendatang. Kini bahkan warga Wagongira yang mengonsumsi padi lebih banyak dibandingkan pemakan sagu.
"Ini mungkin dipengaruhi akulturasi atau pencampuran budaya dengan para pendatang yang lebih mengutamakan konsumsi nasi dibandingkan sagu."
Peneliti senior Roem Tomatipasang, dalam bukunya "Orang-Orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Kepulauan Maluku" (2004), Â menyebutkan kontak-kontak pertama penduduk asli setempat dengan para pedagang Bugis-Makassar dan Mandar yang membawa beras dan benih padi ke daerah itu, terjadi pada abad-15.
Alhasil, sebenarnya siapa pun pendatang ke lokasi mereka bermukim harus sadar bahwa mereka berhadapan dengan komunitas beradab yang harus diperlakukan secara beradab pula. Merea juga harus mau belajar dan mengenal lebih dekat dan lebih benar tentang warga Tobelo Dalam. Jangan juga terlalu bersandar pada asumsi kosong, bahkan sejatinya prasangka yang salah.
Hanya dengan mempelajari, bergaul, saling memahami dan terus memanfaatkan berbagai hasil studi dan penelitian, siapa pun pihak yang berkepentingan dengan warga Tobelo Dalam bisa bersikap dan bertindak tepat. Juga untuk menolong mereka andai terbersit kepedulian. Bukankah sikap dan bantuan yang tepat memungkinkan terjadinya harmoni dan saling memahami? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H