Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Warga Tobelo dalam di Antara Citra Buruk dan Realitas Perubahan di Dalam

6 Agustus 2024   20:40 Diperbarui: 6 Agustus 2024   20:42 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Saya masih simpan kain Mandar pemberian suami saya. Itu mas kawin kami," kata Maria, meski dia tak tahu Mandar itu berada di mana.
 
Sementara Radios Simanjuntak, dosen Universitas Halmahera yang meneliti O'Hongana Manyawa di Wagongira, mengatakan komunitas tersebut tidak hanya memiliki kebudayaan asli yang memanfaatkan 153 spesies dari 54 famili tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan obat mereka. Warga Tobelo Dalam juga mengenal budidaya padi dari akulturasi dengan pendatang. Kini bahkan warga Wagongira yang mengonsumsi padi lebih banyak dibandingkan pemakan sagu.

"Ini mungkin dipengaruhi akulturasi atau pencampuran budaya dengan para pendatang yang lebih mengutamakan konsumsi nasi dibandingkan sagu."

Peneliti senior Roem Tomatipasang, dalam bukunya "Orang-Orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Kepulauan Maluku" (2004),  menyebutkan kontak-kontak pertama penduduk asli setempat dengan para pedagang Bugis-Makassar dan Mandar yang membawa beras dan benih padi ke daerah itu, terjadi pada abad-15.

Alhasil, sebenarnya siapa pun pendatang ke lokasi mereka bermukim harus sadar bahwa mereka berhadapan dengan komunitas beradab yang harus diperlakukan secara beradab pula. Merea juga harus mau belajar dan mengenal lebih dekat dan lebih benar tentang warga Tobelo Dalam. Jangan juga terlalu bersandar pada asumsi kosong, bahkan sejatinya prasangka yang salah.

Hanya dengan mempelajari, bergaul, saling memahami dan terus memanfaatkan berbagai hasil studi dan penelitian, siapa pun pihak yang berkepentingan dengan warga Tobelo Dalam bisa bersikap dan bertindak tepat. Juga untuk menolong mereka andai terbersit kepedulian. Bukankah sikap dan bantuan yang tepat memungkinkan terjadinya harmoni dan saling memahami? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun