Belakangan, muncul pula gerakan penggugatan yang dipelopori pemuda Dedi Sudirman Lasadindi, yang menurut Wayan mulai mengemuka tahun 2021. Kelompok ini mengklaim bahwa tanah yang digunakan untuk perkebunan adalah tanah adat (tanah ulayat) Â mereka, Suku Kaili Tado.
Dedi Sudirman Lasadindi sendiri dikenal warga tidak tamat SMP, namun gemar belajar. Tentang nama Lasadindi yang ia gunakan, wajar membuat orang yang mengerti mengaitkannya dengan Lasadindi, seorang pejuang kemerdekaan dan aktivis Syarikat Islam di Sulteng pada era 1917 hingga jaman Jepang.
Tapi soal itu, entahlah. Pasalnya, selama ini pun beredar isu bahwa Dedi adalah lulusan sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah. Sementara menurut Wayan dan sebuah artikel yang ditulis jurnalis televisi CNN di Sulteng, Jafar Bua, Pendidikan Dedi hanya sampai SMP. Kondisi perekonomian keluarganya pun, menurut Wayan, cukup berat. Â "Dia tak punya tanah, tak ada pekerjaan," kata Wayan. Alhasil, tidak kurang juga warga yang mengaitkan gugatan tersebut dengan motivasi ekonomi.
Benarkah klaim soal tanah ulayat tersebut? Masih harus diteliti dengan cermat. Namun tidak kurang, baik warga setempat maupun para sejarahwan dan budayawan di Palu, menyangsikan hal itu. Â
"Sampai saat ini kami tak tahu apakah memang di Pasangkayu ada tanah adat atau tanah ulayat," kata Wayan, yang mengaku selama dua periode jabatannya sebagai kepala Desa Martasari, tak pernah mendengar hal itu. Namun, kalaupun benar, bagi dia lebih mungkin tanah-tanah itu sudah dijual kepada para pendatang.
"Jadi kalau disebutkan ada tanah adat atau apa, kan mereka ini sudah jual semuanya," kata Wayan.
Harga tanah saat itu masih murah. Wayan ingat satu hektare - bahkan dua hektare - lahan bukaan saat itu hanya dihargai Rp 400.000 atau Rp 500.000.
Kepala desa sebelumnya, Timotius, yang juga menjabat dua periode sebelum saat ini menjadi aparat di kantor Kecamatan Pedongga, juga menyangsikan hal itu. Bagi Timotius, tidak mungkin wilayah itu akan menjadi areal HGU bila benar merupakan tanah ulayat. "Itu intinya. Mengapa? Karena terbitnya HGU itu berdasarkan ijin dari pemerintah, yang sejauh yang saya tahu ketika itu diawali dengan pelepasan kawasan hutan, kemudian ada pencadangan areal, dan izin penerbitan sertifikat HGU," kata Timotius di rumahnya.
Bahkan keberadaan kelompok adat yang ada sekarang, yang menyebut diri masyarakat adat Suku Tado, itu pun menurutnya muncul setelah wilayah itu bersertifikat HGU. "Belum ada nama masyarakat adat Suku Tado sebelum keluarnya sertifikat HGU itu," kata Timotius. Apalagi, kata dia, kelompok itu tak pernah memberikan satu pun bukti otentik bahwa itu tanah ulayat.
Sebuah situs berita lokal, SekilasIndonesia.id, sempat memuat pernyataan Muhammad Abduh, kepala bagian pemerintahan Sekda Kabupaten Pasangkayu. Menurut Abduh, dari tiga kali munculnya pemberitaan soal klaim atas "tanah ulayat" itu, tidak ada satu pun gugatan resmi tertulis masuk ke Pemkab Pasangkayu.
"Saat dimediasi oleh Pemda Pasangkayu, antara masyarakat adat dengan perusahaan, Komunitas Adat Kabuyu hanya berbicara secara lisan tanpa adanya  surat-surat resmi yang diperlihatkan waktu itu," ujar Abduh. Padahal, kata dia, kalau pun memang ada, itu pun  tidak serta merta masyarakat adat langsung menguasai. Selain ada mekanisme yang mengaturnya, juga diperlukan upaya permohonan kepada pemerintah.