"Kebun seorang teman asal Bali yang terletak di pinggir sungai sudah dipanen duluan oleh orang lain. Mereka tak takut lagi lantaran tahu perbuatannya itu hanya tindak pidana ringan," ujar Wayan, seperti dimuat pula pada Gatra 2 Oktober 2022 itu. Itu terus terjadi bahkan setelah pemuatan tulisan tersebut. Karena keseringan menegur ulah mereka sampai Wayan mengaku mulai bosan. Â
Perbuatan seperti itu yang membuat, misalnya, empat warga Polanto Jaya, Kabupaten Donggala, yakni M. Jufri alias Upong, Suparto, Sikusman, dan Mulyadi dijatuhi vonis kurungan lima bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Pasangkayu, Sulawesi Barat, pada April 2018 lalu. Mereka kedapatan memanen buah sawit di areal HGU PT Mamuang. Para pelaku beralasan areal tersebut adalah miliknya, bukan milik sah perusahaan.
"Semoga keempat orang tersebut semakin bijak dan taat pada aturan hukum yang berlaku," kata Teguh Ali seperti ditulis antaranews pada 24 April 2018.
Sebenarnya, kata Teguh, kejadian itu bukan yang pertama. Perusahaan juga tak langsung memakai jalur pengadilan. "Kami sudah berusaha menempuh jalur musyawarah dan memberi penjelasan kepada mereka. Tetapi tidak pernah berhasil. Mereka terus melakukan aksinya memetik buah sawit secara tidak sah," kata Teguh.
Tidak hanya itu, Teguh mengatakan pada September 2017 perusahaan pernah mendatangkan staf Kantor BPN untuk memeriksa objek yang diklaim Upong sebagai lahan miliknya. "Saat itu pun sudah ditegaskan bahwa areal tersebut masuk dalam HGU PT Mamuang." Karena pelaku terus melakukan panen illegal, perusahaan pun terpaksa melaporkan kejadian tersebut ke Polres Pasangkayu.
Jadi sebenarnya, kata Teguh, PT Mamuang sangat menyayangkan isu kriminalisasi petani dan warga yang digembar-gemborkan beberapa pihak di media massa.
Padahal, sambung Teguh, PT Mamuang sebagai perusahaan yang hidup berdampingan dengan masyarakat, tidak hanya berorientasi bisnis. Sesuai visi dan misi Astra Agro Lestari, PT Mamuang juga ingin masyarakat maju, tumbuh bersama perusahaan, dan hidup sejahtera yang semuanya itu berusaha diwujudkan melalui program-program kemitraan bersama masyarakat dan lingkungan sekitar.
"Kami sangat serius menjalankan kebijakan keberlanjutan kami," kata Senior Vice President of Communications and Public Affair Astra Agro, Tofan Mahdi, dalam keterangan tertulis mereka. Menurut Tofan, jangankan melakukan kriminalisasi kepada masyarakat, perseroan sudah  menjalankan kebijakan keberlanjutan dengan prinsip tidak melakukan deforestasi dan menjadikan konservasi lahan gambut dan menghormati HAM sebagai misi utama.
Tentang konflik tanah, Wayan Sucana mengatakan bahwa konflik antara warga dengan perusahaan mulai marak sejak 2006. Beberapa kelompok masyarakat mengklaim bahwa tanah yang dipakai perkebunan itu merupakan tanah adat. Ada juga yang mengklaimnya sebagai tanah kelompok tani.
Misalnya klaim sebuah kelompok yang dihimpun Agung T, seorang pendatang Bugis, yang kemudian melakukan gugatan kepada perusahaan sawit. Gagal melakukan mediasi, jalur pengadilan pun ditempuh. Tak hanya Pengadilan Negeri, banding ke Pengadilan Tinggi, kasasi di Mahkamah Agung, hingga Peninjauan Kembali (PK) terus ditempuh. "PK itu ditolak," kata Wayan, "Tapi selanjutnya ada lagi gugatan."
Pada kasus yang sampai PK-nya ditolak MA itu, Agung menggugat 1.750 hektare - 3.000 hektare sebagai lahan masyarakat. Setelah PK-nya ditolak, Agung bahkan menggugat lagi seluruh wilayah kerja PT Mamuang, seluas 8.000 hektare.