Persoalannya, kegagalan Warsi itu bahkan pada tahap yang paling mendasar dan fundamental: gagal berkomitmen pada masyarakat Suku Anak Dalam yang mereka dampingi.
Entah siapa yang bisa menjawab, apa yang membuat Warsi masih tetap bisa eksis bersama masyarakat Suku Anak Dalam hingga saat ini alias bertahun-tahun setelah peristiwa kekalahan telak Suku Anak Dalam setelah Orang Rimba itu mengalami kekecewaan paling besar?
RPTNBD jelas dengan telak menggusur masyarakat Suku Anak Dalam dari habitat tempat mereka menggantungkan harapan akan kehidupan. Padahal gantungan harapan itu pun bukanlah kondisi kehidupan yang lebih baik. Yang subsisten saja, yang hanya memungkinkan kerakap tumbuh di batu. Kondisi yang untuk hidup pun sebenarnya segan, tetapi mati pun belum tentu mau.
Mungkin jawabnya hanya pada keuletan masyarakat Suku Anak Dalam untuk bertahan hidup, bahkan dalam segala kekurangan. Untuk hidup sehari-hari mereka hanya bisa mengais-ngais di wilayah kesepakatan yang miskin sumber alam. Karena wilayah awal milik mereka sudah masuk ke dalam zona RPTNBD yang tak memungkinkan lagi masyarakat Suku Anak Dalam mengekstraksi kekayaan alam yang dulu milik mereka.
Apakah Orang Rimba dapat melupakan pertemuan adat yang berubah menjadi mimpi buruk itu? Sepertinya tidak. Bahkan lebih terasa menjadi cerita perih yang diwariskan ke generasi Suku Anak Dalam saat ini.
Dengar saja apa yang dikatakan Mijak, seorang pemuda Suku Anak Dalam yang pada saat awal penerapan RPTNBD pastilah masih balita. Alhasil, apa yang menjadi kekecewaannya kini ia dapat dari penuturan orang-orang Suku Anak Dalam yang lebih tua, yang datang sebagai cerita yang diwariskan kepadanya.
Menurut Mijak, kekecewaan terbesar masyarakat Suku Anak Dalam kepada Warsi adalah diterapkannya RPTNBD dan aturan yang membuat Bukit Duabelas menjadi Taman Nasional, bukan Cagar Biosfer yang masih memungkinkan Orang Rimba hidup dengan mengekstraksi hasil hutan sesuai kearifan adat mereka.
Dalam keluguan mereka pun Suku Anak Dalam tak salah. Sebab Warsi terlibat cukup dalam pada posisi mereka sebagai penasihat ahli dalam penyusunan RPTNBD tersebut.
"Sebelum RPTNBD ditetapkan kami Orang Rimba tidak pernah diberitahu. Sesudahnya pun tidak ada sosialisasi. Kami tahu ketika membaca buku RPTNBD. Dari situ semua informasinya baru kami tahu," ungkap Mijak kepada jernih.id.
Yang paling memukul masyarakat Suku Anak Dalam sesungguhnya adalah perasaan telah dikhianati pihak yang selama ini mereka anggap teman.
"Warsi tidak jujur pada Orang Rimba dan tidak melibatkan Orang Rimba pada proses pembuatan RPTNBD ini," papar Mijak.