Bila dirunut ke belakang, tidak optimalnya Warsi berjuang untuk Suku Anak Dalam yang didampinginya, dengan cara tetap kukuh mempertahankan status Cagar Biosfer, itu juga mengherankan.
Persoalannya, pada 1984 Gubernur Jambi di masa itu telah mengusulkan agar areal perbukitan Bukit Duabelas dijadikan kawasan Cagar Biosfer. Usulan itu bahkan telah diterima dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jambi.
Memang, meski tetap bertahan mendampingi komunitas Suku Anak Dalam, tidak berarti setelah itu persoalan antara Suku Anak Dalam dan Warsi telah punah atau terlupakan. Bahkan hal tersebut masih terasa dari beredarnya kembali cerita lama tentang masyarakat Suku Anak Dalam yang beredar ulang di media massa lokal.
Akhir Juni lalu, misalnya, beredar ulang berita lama tentang Temenggung Tarib yang ditolak bank untuk menabung meski ia telah datang dengan sekarung penuh uang yang dibongkarnya dari lubang penyimpanannya di hutan.
Segera setelah berita itu beredar, kepada detail.id Tumenggung Tarib, saat ini bernama Haji Jaelani, menyangkalnya. Ia bahkan menyebut isu semacam itu sengaja dibuat oleh Warsi untuk menimbulkan konflik antara Suku Anak Dalam dengan pemerintah.
"Itu cerita lama, sekitar tahun 1988 lalu. Warsi itu sengaja buat berita yang tidak-tidak soal saya, biar saya dan warga kami dimusuhi pemerintah," ungkap Tumenggung Tarib atau Haji Jaelani seperti diberitakan detail.id pada 29 Juni 2021 lalu di Jambi.
Menurut Haji Jaelani, isu yang sengaja dibangun Warsi itu cerita lama, seperti soal masyarakat Suku Anak Dalam tidak memiliki KTP atau segala macam persoalan administrasi mereka menyangkut hubungan dengan pemerintah.
"Tampak ada yang membangun isu tentang kelalaian atau pemerintah tidak memperhatikan alias tidak peduli dengan keberadaan Suku Anak Dalam. Ada pihak yang mengambil untung dari persoalan Suku Anak Dalam," jelas Haji Jaelani.
Di sisi lain, kegagalan di masa lalu itu tidak lantas membuat Warsi berubah lebih intens lagi mengurus komunitas Suku Anak Dalam. Untuk mengukurnya pun tak sulit. Akhir Juli lalu, seperti ditulis innews.co.id, akibat data Warsi yang tidak akurat tentang Suku Anak Dalam yang mereka damping, penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi, menjadi ricuh. Dari 36 kepala keluarga (KK) yang berhak, hanya 10 KK yang menerima.
Tak pelak lagi, Pemimpin kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Anak Dalam di wilayah itu, Temenggung Apung, protes keras.
"Ini yang nantinya membuat warga saya ribut. Soalnya tidak semuanya menerima bantuan," kata Temenggung Apung.