Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warsi dan Suku Anak Dalam: Menyibak Luka Lama

27 Oktober 2021   16:11 Diperbarui: 27 Oktober 2021   16:38 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Komunitas Konservasi Indonesia Warsi

Persoalannya, kegagalan Warsi itu bahkan pada tahap yang paling mendasar dan fundamental: gagal berkomitmen pada masyarakat Suku Anak Dalam yang mereka dampingi.

Entah siapa yang bisa menjawab, apa yang membuat Warsi masih tetap bisa eksis bersama masyarakat Suku Anak Dalam hingga saat ini alias bertahun-tahun setelah peristiwa kekalahan telak Suku Anak Dalam setelah Orang Rimba itu mengalami kekecewaan paling besar?

RPTNBD jelas dengan telak menggusur masyarakat Suku Anak Dalam dari habitat tempat mereka menggantungkan harapan akan kehidupan. Padahal gantungan harapan itu pun bukanlah kondisi kehidupan yang lebih baik. Yang subsisten saja, yang hanya memungkinkan kerakap tumbuh di batu. Kondisi yang untuk hidup pun sebenarnya segan, tetapi mati pun belum tentu mau.

Mungkin jawabnya hanya pada keuletan masyarakat Suku Anak Dalam untuk bertahan hidup, bahkan dalam segala kekurangan. Untuk hidup sehari-hari mereka hanya bisa mengais-ngais di wilayah kesepakatan yang miskin sumber alam. Karena wilayah awal milik mereka sudah masuk ke dalam zona RPTNBD yang tak memungkinkan lagi masyarakat Suku Anak Dalam mengekstraksi kekayaan alam yang dulu milik mereka.

Apakah Orang Rimba dapat melupakan pertemuan adat yang berubah menjadi mimpi buruk itu? Sepertinya tidak. Bahkan lebih terasa menjadi cerita perih yang diwariskan ke generasi Suku Anak Dalam saat ini.

Dengar saja apa yang dikatakan Mijak, seorang pemuda Suku Anak Dalam yang pada saat awal penerapan RPTNBD pastilah masih balita. Alhasil, apa yang menjadi kekecewaannya kini ia dapat dari penuturan orang-orang Suku Anak Dalam yang lebih tua, yang datang sebagai cerita yang diwariskan kepadanya.

Menurut Mijak, kekecewaan terbesar masyarakat Suku Anak Dalam kepada Warsi adalah diterapkannya RPTNBD dan aturan yang membuat Bukit Duabelas menjadi Taman Nasional, bukan Cagar Biosfer yang masih memungkinkan Orang Rimba hidup dengan mengekstraksi hasil hutan sesuai kearifan adat mereka.

Dalam keluguan mereka pun Suku Anak Dalam tak salah. Sebab Warsi terlibat cukup dalam pada posisi mereka sebagai penasihat ahli dalam penyusunan RPTNBD tersebut.

"Sebelum RPTNBD ditetapkan kami Orang Rimba tidak pernah diberitahu. Sesudahnya pun tidak ada sosialisasi. Kami tahu ketika membaca buku RPTNBD. Dari situ semua informasinya baru kami tahu," ungkap Mijak kepada jernih.id.

Yang paling memukul masyarakat Suku Anak Dalam sesungguhnya adalah perasaan telah dikhianati pihak yang selama ini mereka anggap teman.

"Warsi tidak jujur pada Orang Rimba dan tidak melibatkan Orang Rimba pada proses pembuatan RPTNBD ini," papar Mijak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun