"Alim rajo disembah, piado alim rajo disanggah! Roboh halam awoa kalau mumpa nio, cubo jelengako kayang, kebun-kebun kamia, harto pusako puyang awoa, benuaron kamia, tecapak di segelimang bukit duabelay nioma, engka kehutanon dan warsi mumpa yoya? Siapo sebonornye tuhan hutan nioma?"
"Adilnya pemimpin akan kita patuhi, tidak adilnya pemimpin akan kita sanggah. Roboh hutan dan adat kita semua kalau seperti ini. Coba kaji anakku, kebun kami, harta peninggalan leluhur kami, buah-buahan kami, tersebar di segala penjuru hutan Bukit Duabelas ini, kenapa (Departemen) Kehutanan dan Warsi berbuat seperti itu? Siapa sebenarnya pemilik hutan ini?"
Semua terdiam.
Tak ada yang menjawab pertanyaan retoris Tumenggung Mirak tersebut.
***
Hari berganti bulan, berubah tahun, dan dekade pun telah pula lewat.
Pertanyaan Tumenggung Mirak tetap tak berjawab.
Apakah karena Warsi sudah tak lagi bersama masyarakat Suku Anak Dalam alias Orang Rimba? Tidak juga.
Pertemuan adat di Simpang Meranti itu jelas-jelas menegaskan bahwa peran Warsi, LSM yang selama ini melakukan pendampingan kepada komunitas Suku Anak Dalam, terbukti telah gagal.
Bukan gagal untuk mencapai cita-cita bersama dengan masyarakat Suku Anak Dalam, apa pun kesepakatan yang pernah dicetuskan antara Suku Anak Dalam dengan Warsi.
Seorang yang gagal meraih cita-cita tidak lantas dianggap entitas yang hina. Ada banyak faktor menentukannya. Bagi orang beriman ada satu faktor penting yang tidak akan diganggu gugat, yakni bila itu menyangkut pada urusan takdir dan nasib.