Mohon tunggu...
Arsyad
Arsyad Mohon Tunggu... Guru - cerpen

Nama Arsyad Dengan satu istri dan dua orang anak,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan di Kebun Sawit

8 Desember 2019   11:41 Diperbarui: 8 Desember 2019   11:45 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"eh pak Daus, belum pak, kemungkinan malam baru bisa pulang" sahutku, "hati-hati pak Ardi kalau pulang sendirian, jalan disini masih belum ada penerangan dan sunyi pada malam hari" ujar Pak Daus mengingatkan, terasa mendalam dan menyimpan seribu misteri.

Rumah tinggalku boleh dikatakan lumayan jauh dari sekolah ini, tidak kurang 25 kilo, jalan setapak kebun sawit, tanah merah berdebu pada musim kemarau, becek dan licin saat musim penghujan,  kutempuh setiap hari dengan motor matic jadulku,  sebenarnya ada jalan alternatif yang lebih ramai dan melewati perkampungan penduduk akan tetapi, jaraknya yang hampir dua kali lipat jalan yang biasa aku lewati, membuatku memutuskan melewati jalan setapak perusahaan sawit,  selain jarak sedikit lebih dekat, suasananya juga teduh dan hijau, tidak panas saat matahari terik.

Aku tinggal diibukota kecamatan, menempati sebuah rumah yang dibeli kredit, sebab istriku tidak mau tinggal dirumah dinas yang disiapkan sekolah, katanya selain sunyi, aliran listrik malam terkadang mati, alasan lain nya adalah anak kami yang berumur lima tahun masih sekolah TK.

Tinggal aku sendirian disekolah ini, menunggu proses sinkronisasi UNBK, persen demi persen mulai berjalan, guru yang lain sudah serentak pulang pada pukul 14.00 tadi,  tidak ada tanda sinkron UNBK akan selesai dalam waktu cepat, hanya segelas kopi dan kue kering menemani dari tadi, terasa sunyi, hening seiring langkah pak Daus yang semakin menjauh melangkah meninggalkan ku, hanya suara kicauan burung cuit bersahutan ditempat ini.

Matahari semakin tergelincir kearah barat, warna kuning kemerahan menandakan hari sudah semakin sore, kualihkan pandangan ku dari layar komputer, coba menatap keluar sekeliling sekolah terlihat kebun sawit, hijau, teduh dan rimbun.

Alangkah terkejutnya aku, disalah satu sudut kebun sawit, beberapa meter dari tempatku, tepat dibawah pohon sawit dengan pelepah daun mulai mengering, terlihat jelas satu sosok  menyeramkan, sesosok pocong dengan kain kafan putih lusuh telah berubah menjadi warna merah darah, bola mata melotot tajam seakan keluar, serta muka rusak penuh belatung dan cacing hampir saja membuatku berteriak minta tolong.

Aku mencoba berdiri, berlariwalau terasa pergelangan kaki lemas bergetar ketakutan menghindar dari sosok pocong merah ini, sejurus kemudian saat aku mengalihkan pandangan, ternyata pocong merah itu sudah menghilang dari tempatnya menampakkan wujud, hanya pohon sawit tumbuh kokoh dengan buah pasir lebat yang terlihat.

"ada apa pak Ardi, kelihatannya anda ketakutan sekali?"belum jauh aku berlari, tiba-tiba Pak Daus sudah berdiri tepat dihadapanku entah datang darimana. "ada pocong Pak Daus, pocong merah" ujarku terengah menjelaskan. "tenang Pak Ardi, tidak ada apa-apa disini" Pak Daus coba menenangkan ku.

"Baiklah saya akan temani Pak Ardi disini sampai selesai" ucapan Pak Daus membuatku sedikit tenang, walaupun Pak Daus tidak paham tentang pelaksanaan UNBK, setidaknya ada temanku ngobrol menunggu proses sinkron selesai. "saya yakin  betul Pak Daus, tadi itu adalah pocong dengan kain kafan berwarna merah darah" kataku coba membuka pembicaraan dengan Pak Daus yang sedari tadi mengamati monitor dan nampak bengong.

"Pak Ardi jangan mengada-ada, saya sendiri yang sepuluh tahun lebih tinggal disini belum pernah melihatnya" Pak Daus menanggapi obrolanku santai dan biasa. "jangan-jangan Pak Ardi Cuma salah lihat, mata Pak Ardi kan terlalu lama menatap layar monitor, mungkin saja mata bapak lelah dan menjadi kurang fokus" Pak Daus berusaha meyakinkan bahwa tidak ada sesuatu dikebun sawit yang langsung berbatasan dengan sekolah.

Hari semakin sore, cahaya kuning kemerahan matahari perlahan tenggelam disebelah barat dan mulai menghilang dirimbunnya perkebunan sawit. Tujuh puluh lima persen, nampak jelas dilayar komputer perkembangan sinkron UNBK, itu tandanya dua puluh lima persen lagi proses ini akan selesai, sudah tidak sabar rasanya ingin secepatnya pulang, istirahat dirumah, menonton berita, menikmati teh hangat sambil mengajari berhitung anak perempuan ku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun