Mohon tunggu...
Arsyad
Arsyad Mohon Tunggu... Guru - cerpen

Nama Arsyad Dengan satu istri dan dua orang anak,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senja Merah Danau Burung

4 Desember 2019   10:39 Diperbarui: 4 Desember 2019   10:49 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara ketukan pintu rumah dan suara berat laki-laki dari luar sontak membuat kuterbangun daritidur, 03.07 ku lihat samar jam dinding di kamar. Ku kedipkan mata berkali-kali untuk memperjelas penglihatan, masih terasa perih mata ini, masih terasa beratkepalaku rasa, maklum tadi malam akuterlambat tidur karena menonton tim sepak bola kesayangan ku bertandingdi TV, walaupun dengan hasil yang mengecewakan. Ku lihat istriku dengan tangan kanan menyilang dikepala, dan guling yang berpindah posisi, tidur dengan lelapnya.

"Sat, jadi ikut tidak?" ku dengar lagi suara itu dari luar, suara yang sudah tidak asing ditelinga, suara Paman Mawi, lelaki kurus 56 tahun tinggi sekitar 157cm, dengan sedikit rambut putih d belakangkepalanya, tetangga depan rumah seberang jalan tanah merah yang hidup sendirian karena di tinggal meninggal istrinya setahun yang laluakibat penyakit aneh. "tunggu sebentar" sahutku dari dalam kamar dengan suara agak dipelankan.

Aku ingat hari ini adalah hari minggu, hari libur, harj yang selalu ku tunggu untuk  bisa refreshing dari aktivitas sepanjang hari, dan sebelumnya kami sudah ada rencana hari ini untuk pergi memancing ketempat yang berdasarkan kabar dari orang-orangmasih banyak terdapat ikan nya, tempat yang namanya begitu asing bagi ku, "DanauBurung". Aku memang hoby mancing, ini adalah kali kesekian kami pergi melatih kesabaran,aku bukan pemancing hebat apalagiprofesional, mancing kuhanya sekedar penghilang stresdari aktivitas, pelepas galau dalam pekerjaan seminggu. Istri ku sempat melarang agar tidak pergi hari ini, dia menyarankan hari ini untuk berkumpul keluarga, bermain dengan anak-anak, atau membuat cemilan kesukaanku rempeyek kacang.

Perkenalkan nama ku Satria, umur 33 tahun lebih 4 bulan pada bulan ini. Akuseorangpengusaha photocopysatu-satunyadi kampungku,bukan usaha yang besartapi alhamdulillah dari usaha ku, aku bisa membesarkan anak-anak ku hingga saat ini. Anak perempuan pertamakusekarang sudah  berumur 5 tahun lebih, sudah sekolah TK Al Qur'an, walaupun belum lancar membacahurup hijaiyah,setidaknyaputri pertama ku selalu berusha menunjukkan kepada ku membaca buku iqra yg sekitar setahun lalu aku belikan untuknya.Dari usaha kecil ku juga, aku bisa membelikanpopok dan susu formula untuk putra ku yang kedua yang baru berumur 3 bulan.

Aku bergegas keluar kamar, ku nyalakan lampu ruang tamu, terlihat oleh kudari balik kaca rumah,Paman Mawi yang memakai topi purun(tanaman rawa yg banyak terdapat dihutan rawa kalimantan) dan memanggul keba(benda terbuat dari anyaman bambu, berbentuk persegi seperti tas ransel berfungsi untuk membawa ikan hasil tangkapan) di belakang nya yg dari tadi menunggu d luar rumah. Ku buka perlahan pintu rumah dan paman Mawi tersenyum.

"jadi ikut kan, Sat?yang lain sudah menunggu dikelotok" (kelotok = perahu kecil berpenggerak mesin 10hp, muat untuk 3-5 orang) ujar paman Mawi sambil menghisap dalam kretek tanpa kapas di mulutnya.

"jadi lah, tunggu sebentar aku ambil perlengkapan dulu"

Dengan bergegas aku masuk kedalam rumah danmengambil keba, topi purun yang dari tadi malamsudahaku siapkan, terlihat oleh ku isi keba yang berisi umpan kroto,  pancingan fiber, bekal yang berisi lauk telur masak habangdan nasi yang ku masukan kedalam wadah plastik kecil, tidak lupa pisau kecil untuk jaga-jaga kemungkinan ada binatang buas atau bertemu ular,juga air minum yangterisi penuh didalam botol air mineral bekas 1500ml. Cukup untuk bekal satu hari ini....

Setelah pamit dengan istriku, aku berjalan di belakang Paman Mawimelewati jalan setapak tanpa penerangan, yang kanan kirinyadipenuhi rumput liar berembun menuju kelotok yang dari tadi sudah menunggu, dari cahaya bulan yang remang tertutup awan, kulihat ternyata sudah ada dua orang lain lagi berada dalam kelotok, dia adalah Ipul, lelaki tambun seusia ku,perokok berat, pekerja teknisi di sebuah perusahaan plywood di dekat desa kami. Dan Bani, motoris kelotok, selalu siap siaga mengantar kami kemana saja asalkan bensin untuk mesin 10hp nya selalu tersedia, Sudah menjadi kebiasaan kami,menuju lokasi pemancingan yang jauh, berangkat pagi buta adalah hal biasa, apalagi lokasi asing seperti Danau Burung yang diantara kami berempat belum pernah ada yang sampai disana, untuk menghindari kesiangan tiba dilokasi.

Mesin kelotok dihidupkan, suara khas mesin mengaung, memekak bising di pagi buta, mengalahkan ocehan Ipul yang semenjak aku menaiki kelotok sudah menghayal akan banyak mendapatkan hasil pancingan hari itu,sinar bulan yang remang dari balik awan seakan mengisyaratkan agar kami jangan pergi pagi itu. 03.48 waktu d jam tangan ku saat itu.

Kelotok perlahan melaju, di iringi sinar bulan temaram, membelah sungai kecil berkelok yang kanan kirinya di tumbuhi hutan lebat, hutan nipah, rumbia, dan pohon-pohon besar khas hutan hujan tropis kalimantan, tidak ada satu kata pun yang terucap dari penumpang kelotok saat itu, masing-masing menghayal akan hasil pancingan yang melimpah saat pulang nanti, membuat istri tersenyum senang karena lauk makan terpenuhi untuk beberapa hari kedepan.Ku lihat Bani sang motoris terlihat fokus mengendalikan laju kelotok di belakang kemudi, entah berapa jauh sudah kami menyusuri sungai panjang berkelok yang seakan tidak ada ujungnya,sesekali ku lihat Bani menyalakan rokok di mulutnya karena rokok sebelumnya telah habis, entah berapa banyak sudah batang rokok yang dinyalakannya.

Singkat cerita

Makhluk apa itu, ada sesuatu yang aneh di salah satu rumpun pohon nipah besar disisi kiri sungai yang kami lalui, hitam,besar,  berbulu dan dari kedua sisi mulutnya terlihat jelas menjulur taring tajam,mata berwarna merah menyala seakan mengisyaratkan amarah kepada ku dan seisi kelotok.

"Paman makhluk apa itu" teriak ku kepada Paman Mawi yang duduk tepat dibelakang ku sambil menunjuk kesalah satu rumpun pohon nipah tempat dimana makhluk menyeramkan tadi muncul. Akumelihat dengan jelas makhluk ituseiringsemburat merah di ufuk timur sudah mulai menampakkan cahayanya. Hampir saja Bani yang terkejut karena teriakan ku menabrak kelokan sungai yang berada tidak jauh dari rumpun nipah tempat kemunculan makhluk menyeramkan itu.

"Aku juga tidak tahu Sat, mungkin makhluk itu adalah penunggu rumpun nipah yang kita lalui tadi" sahut Paman Mawi yang juga dengan jelas melihat penampakan makhluk itu.Lama kami berdiskusi ditempat itu, tanpa kami sadari cahaya merah matahari pagi mulai menampakkan cahaya cerahnya, sinar yang sedikit menghilangkan rasa perasaan takut di setiap penumpang kelotok, walaupun masih terlihat jelas wajah pucat Ipul, Bani dan Paman Mawi.

"Baiklah kalau itu keputusan nya, aku akan mengantar kalian ke Danau Burung" ujar Bani yang menyetujui hasil diskusi panjang kami, masih ada perasaan tidak nyaman dan takut akan kejadian pagi tadi, tatapan mata merah tajam serta taring tajam makhluk mengerikanmasih sangat jelas membayangiku,tapi dilain sisi,apakah kami harus kembali tanpa hasil? apa kata istriku nanti setibanya dirumah, pasti dia akan menertawakan dan mengejek ku, dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran yang besar terhadap Danau Burung, akhirnya aku memutusukan untuk tetap ikut melanjutkan perjalanan menuju danau burung.

Ku lirik jam tangan, 08.00 tepat. Asing bagi ku tempat yang bernama Danau Burung, tempat yang kata sebagian orang surganya para mancing mania, selain keragaman jenis ikan air tawar, pemandangan hutan galam yang indah menambah eksotisnya tempat itu, ditambah rasabesarkeingin tahuan ku tentang Danau Burung. Adalah kali pertama aku, Paman Mawi dan yang lainmancing diDanau Burung. Jalan menuju ketempat itu pun cuma bermodalkan ceritadari mulut kemulut.Hanya satu tempat yang kami jadikan patokan untuk menuju Danau Burung, tempat di hulu sungaidengan cabang disebelah kiri dimana di muara sungai tersebut terdapat sebuah pohon panggang (pohon beringin) besar.

Ukuran kelotok yang hanya mampu memuat empat orang membuat penat pinggang ku, sulit bergerak tubuh ini, sesak, karena harus berbagi tempat dengan tiga orang lain ditambah perlengkan pancing dan keba, aku juga yakin, penumpang kelotok yang lain pun pasti merasakan sama dengan ku, ini terlihat dari Paman Mawi dan Ipul yang terlihat gelisah.Entah berapa lama perjalanan kami, dari jauh terlihat sebuah pohon panggang besar, menjulang tinggi dengan daunnya yang hijau dan rimbun, berada disisi kiri sungai, inilah tujuan kami, Danau Burung.

Ku lihat banyak sekali kain kuning yang diikatkan dan dikalungkan dibatang, dahan dan ranting pohon panggang tersebut, mulai dari kain kuning yang warnanya sudah mulai memudar, sampai kain kuning baru terlihat terikat di pohon panggang itu. seribu tanya menghantuiku tentang pohon panggang ini, pohon besar, apa maksud pohon, dahan dan rantingnya diikatkan kain kuning, apakah pohon panggang ini pohon keramat atau pohon yang disakralkan oleh masyarakat disekitar sini.

"kita sudah sampai, ayo sat kita cari tempat strike yang bagus" Ipul tiba-tiba mengagetkan ku dari tanya yang masih belum terjawab. Setelah menambatkan kelotok tidak jauh dari pohon panggang itudan sedikit berjalan mengitari Danau Burung, kembali perasaan ku merasa ada yang aneh dari tempat itu. Danau yg ditepinya banyak d tumbuhi pohon galam (tumbuhan rawa khas kalimantan berkulit putih dan empuk dengan pokok pohon sangat keras), rumput liar, tidak terlihat satu burungpun yang ada di tempat itu. Air danau yang jernih dengan tumbuhan ilung (eceng gondok) tumbuh subur didalamnya, tidak ku lihat tanda-tanda ditempat ini banyak terdapat ikan yang kami cari, tidak seberapa jauh daritepi danau tempat ku berdiri, sebuah pohon rambai(sejenis bakau yang tumbuh di air tawar) tumbuh dengan kokohnya.

"Pul, aku makan dulu disini, rasanya cacing dalam perut ku sudah mulai kelaparan" ujar ku kepada Ipul yang sudah melabuhkan kail pancingan nya tanpa suaraSambil memberikan isyarat ibu jari tangan kanan yang diacungkan kepada ku, Ipul terlihat serius menatap tali senar pancingan, berharap segera strike ikan pertamanya.

Indahnya pemandangan ditempat ini, air danau yang jernih dan ilung nya, cuaca yang sejuk, pohon galam yang teduh, serta hijaunya hutan khas kalimantan membuat ku betah duduk berlama dibawah sebuah pohon galam besar nan rimbun ditepi danau ini.Ku buka bekal nasi putih dan lauk telur masak habang masakan istriku, kusuap nasi campur lauk sedikit-demi sedikit kedalam mulut ku, ku kunyah perlahan sambil mata ku memandang Paman Mawi, Ipul dan Bani yang dari tadi melabuh pancingan, walaupun belum kulihat satu ikan  berhasil mereka masukan kedalam keba. fikiranku masihteringat kejadian menyeramkan beberapa waktu yang lalu, tatapan mata merah tajam pertanda amarah dari makhluk rumpun pohon nipah masih menghantuiku.

Spot yang mantap gumamku, setelah berjalan lumayan jauh dari tempatku makan, berjalan mendahului ketiga pemacing mania yang masih belum satu pun mendapatkan tangkapan, ku lihat air danau yang tenang, sedikit tumbuhan ilung, dan sebuah pohon galam miring kearah danau seakan mau rebah, membuat sebagian ranting, dahan dan daunnya menyentuh permukaan air danau. Perlahan kuulur panjang joran pancingan fiber ku, ku labuhkan kail berumpankan anak kroto diantara sela tumbuhan ilung. Semenit, dua menit lima belas menit, setengah jam, tidak ada tanda umpan pancingan ku dimakan ikan.

"Sial, kenapa tidak ada satu ikan pun yang tertarik dengan umpan ku jangan-jangan ikan disini puasa semua" belum habis gumam ku, tiba-tiba tali senar pancinganku terlihat tegang, bergerak kesana kemari, ikan besar memakan umpan  fikirku,  ku sentak keras joran pancingan, berharap ikan tidak lepas. Tapi apa yang terjadi, kail pancingku tersangkut sesuatu didasar danau, mungkin akar atau sejenisnya,sehingga senar pancingan tidak dapat kunaikkan,coba beberapa kali tali senar kutarik keras, berharap sesuatu yang sangkut dikail pancingku dapat terlepas. pupus sudah harapan mendapatkan ikan, hilang sudah harapan.  sekarang adalah bagaimana cara melepaskan kail ku yang tersangkut didasar danau.

Kulepaskan perlahan jaket kupluk, masker dan topi purun, kutatap tajam tali senar yang masih tersangkut, masuk kedalam danau adalah satu-satunya cara untuk melepaskankail pancingan ku yang tersangkut, kuletakan keba di tepi danau tidak jauh dari pohon galam miring, perlahan aku berjalan mendekati danau, kanan kiri mataku menengok, seperti mencari sesuatu, tidak terlihat lagi tiga teman ku, jauh merekatertinggal dibelakang, kaki kanan coba ku masukkan perlahan kedalam air, begitu dingin air danau ini kurasa.

Tanpa ku sadari, sebagian tubuh ku sudah berada di dalam danau, kaki kanan dan kiri bergantian coba mencari-cari di dasar danau, berharap menemukan akar dimana kail pancingku tersangkut, dalam juga air danau iniungkap ku, dingin walaupun cuaca pada saat itu sangatlah terik, tanpa hasil akupun mulai menyelam kedasar danau untuk menemukan kail pancingku, kali ini giliran tangan kanan ku yang meraba dan mencari didasar danau.

Setelah lama mencari, akhirnya aku menemukan sebuah akar pohon yang tidak terlalu besar,persis seukuran pergelangan tangananak-anak, yang sebagian lagi ujung nya terkubur didalam lumpur dasar danau, dapat terlihat jelas karena air danau yang begitu jernih, aku yakin disitulah kail pancingku tersangkut. Saat aku memegang nya, akar tersebut tiba-tiba berubah menjadi sebuah tanganpucat, kakudan langsung erat menggenggam dan menarik tangan ku kedasar danau yang dipenuhi oleh lumpur hitam.Bukan kepalang terkejutnya aku, dingin, kulit kasar, jari tangan kurus panjang dan sebagian kuku hitam tajam terlihat menggores kulit pergelangan tangan ku, perih, aku coba berontak, berteriak sekuat tenaga didalam air,berusaha melepaskan erat genggaman tangan itu, tapi tangan itu semakin kuat menarik ku kedasar danau,darah segar akibat kuku tajam yang menggores tangan ku membuat jernih air danau berubah menjadi agak memerah, aku mulai kehabisan nafas, pusing, telinga terasa sakit, entah berapa banyak air danau terminum masuk kelambungku, lewat mulut dan hidung, aku mulai kehabisan tenaga, mulai lemas, mata berkunang, tapi tangan dari dasar danau tidak jua melepaskan genggamaneratnya, sesaat, aku teringat senyum istriku, putri pertamaku yang lagi membaca buku iqra walau masih belum lancar, dan tangis putra kedua ku ketika popoknya basah,ya Tuhan, apakah aku akan mati seperti ini....

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, dari dalam danau yang sebentar lagi terasa akan membunuh ku, kulihat samar-samar dahan pohon galam tepat dipermukaan danau,tangan kiriku coba meraih, menggapai dahan tersebut, beberapa kali tangan ku coba berusaha meraih dahan itu, tapi selalu tidak sampai, ya Allah jangan matikan aku seperti ini, berilah kesempatan aku hidup,aku punya anak dan istri,biarkan aku membesarkan kedua anak-anak ku, biarkan aku memberi nafkah mereka, dalam keputus asaan, dan rasa takut, ku coba berdoa minta bantuan kepada yang maha pemberi pertolongan, dan tiba-tiba saja, dahan pohon galam yang tadinya begitu sulit aku raih, seakan memanjang dan menjulur mendekati tangan kiriku yang dari tadi berusaha meraih nya.

Ku pegang erat dan kuat dahan pohon galam itu, dengan tenaga yang tersisa kutarik dahan itu berusaha keluar dari dalam danau dan melepaskan genggaman erat tangan dari dasar danau, tangan dingin, kasar serta kuku tajam,sedikit demi sedikitmulai terlepas, ku tarik kuat tangan kanan ku dari genggaman erat tangan mengerikan itu, mulai longgar, mulai melemah, tersisa kuku tajam nya yang terasa membuat luka gores ditangan ku bertambah panjang, dalam dan perih, kuabaikan itu semua dan dengan sekali tarikan kuat, genggaman tangan dari dasar danau itupun akhirnya terlepas.

Kepalaku muncul kepermukaan danau, mulutku menganga lebar,mengambil sebanyak mungkin udara untuk bernafas, mengisi kembali oksigen diparu-paru ku yang sudah mulai habis, secepat mungkin aku berenang ketepi danau, sekilas ku lihat didasar danautangan menyeramkan itu masih berusaha menggapai dan meraih kakiku.

Aku berlari dengan cepat,menyusuri tepi danau yang sunyi, danau yang sebelumnya indah seketika berubah menjadi tempat yang angker dan menyeramkan, pohon-pohon galam yang rimbun seakan hidup dan terkesan penuh misteri. Aku berteriak keras meminta tolong, memanggil Paman Mawi, Ipul dan Bani yang masih belum terlihat, tidak kuhiraukan lagi keba, bekal nasi,laukyang masih tersisa, pancingan dan perlengkapan lainnya, dalam fikir ku, aku harus cepat sampai bertemu mereka. Terengah nafas ku, penat pergelangan kaki, Perih, sakit telapaknyakurasa, sedikitpun tidak membuat aku berhenti berlari, entah berapa bnyak duri dan ranting yang merobek kulit kaki, dan melukai telapak nya yangterus berlari tanpa menggunakan alas.

"Paman, apa yang kalian lakukan, cepat naik kedarat danau ini berhantu"

Betapa terkejutnya aku menyaksikanPaman Mawi, Ipul, dan Bani berada dalam danau, nyata ku lihat mereka sedang asik menangkap ikan yang terlihat mabuk tidak berdaya muncul kepermukaan air danau, jangan-jangan mereka menggunakan racun, tuba atau sejenisnya.

"Bicara apa kau Sat? Jangan bercanda, Ayo cepat turun, tangkap ikan sesuka mu, ada gurame, nila, betok ayo cepat"

Ipul santai menanggapi omongan ku, dia terlihat tidak percaya dengan apa yang ku bicarakan, disisi lain danau Bani mengangkat tinggi menunjukkan ikan nila yang cukup besar berhasil ditangkapnya, serta Paman Mawi tersenyum santai sambil tangan nya dengan gesit terus coba menangkapi ikan.

"ini buktinya, aku baru saja hampir terbunuh didanau ini" kutunjukkan luka robek yang masih berdarah dipergelangan tangan kanan ku, tangan kananyang beberapa waktu laluluka tergores oleh kuku tajam tangan mengerikan didasar danau.

Ketiganya ternganga saling berpandangan melihat tangan kanan ku meneteskan darah segar, sekarang mereka baru percaya bahwa ucapanku tadi bukanlah omong kosong, ketiganya tidak menghiraukan lagi ikanmabuk muncul kepermukaan, tanpa dikomando mereka berenang ketepi, ketiganya berupaya keras agar bisa secepatnya sampai didaratan.

Belum sampai ketiganya didarat, naas yang dialami Ipul yang posisinya agak jauh,sepertinya tangan dari dasar danau berhasil memegang erat kakinya, "tolong-tolong aku, tolong aku, ada sesuatu yang menarik kaki ku" dan benar dugaan ku, tangan itu terus menarik Ipul kedasar danau, terlihat tubuhnya yang tambun timbul tenggelam berusaha melepaskan tarikan itu, tangan nya mencari kesana kemari, mencari benda apa saja yang bisa menjadi pegangan.

Ku ulur panjang joran pancinganmilik Bani, kuarahkan ujung joran ketangan Ipul yang berusaha mencari pegangan, sesekali kepalanya tenggelam, dan sesaat muncul kembali kepermukaan, mulutnya menganga mencari udara untuk bernafas Ipul sudah mulai kepayahan "pegang joran ini Pul, ayo cepat" kuarahkan ujung joran ketangan Ipul, ia coba meraih dengan tangannya, dan berhasil.

Kutarik sekuat tenaga joran pancingan yang ujungnya telah digenggam Ipul erat, sesaat terjadi tarik menarik antara tangan dari dasar danau dengan ku, sangat kuat tarikan itu,aku kewalahan. Darahditangan kanan dan keringat bercampur, membuat pegangan tanganku menjadi licin,pangkal joran yang kupegang terlihat bergerakmelewati genggaman ku, centi demi centibergerak mengikuti tarikan kedalam danau, akhirnya joran pun terlepas, Ipul tenggelam, tubuh tambunnya tidak terlihat lagi, tenggelam diair danau,hanya sesekali kulihat tangan nya muncul dipermukaan, mencari pegangan, mencari apa saja yang bisa menyelamatkannya, sekejap kemudian hilang kedasar danau, danau yang tadinya beriak bergelombang sekejap menjadi  tenang dan hening.

Hari semakin sore, matahari semakin condong kearah barat,terasa waktu sangat cepat berlalu, cahaya merah kekuninganmatahari menambah angker dan menyeramkan suasana Danau Burung kala itu, mengisyaratkan sebentar lagi siang akan berganti malam. Sesaat kami tertegun menatap air danauyang kembali tenang, menatap dimana posisi Ipultenggelam.Tidak terduga kematian Ipul bisa seperti ini, lelaki baik dan banyak omong, lelaki tambun yang belum beristri walau usianya sudah kepala tiga.

"kita harus cepat pergi dari sini" Paman Mawi bergegas mengambil keba dan memasukan seluruh perlengkapan pancing kedalamnya,begitu juga Bani. Sebilah mandau yang dibawa Paman Mawidari rumah diikat kuat dipinggang sebelah kiri, mandau dengan hulu berukirkan kepala burung, bertalikan rotan dengan sarung berwarna kuning.

Belum jauh langkah kami berjalan, belum hilang rasa ketakutan ini, masih teringat jelas ketika Ipul tenggelam kedasar danau, belum sirna penat dikaki,tiba-tiba, dihadapan kami, tepat d tengah jalan yang akan kami lalui, sesosok makhluk tinggibesar, hitam dengan taring menjulur tajam keluar dari sisi mulut, mata merah menyalamenyeramkan menatap tajam kearah kami.Makhluk yang sebelumnya pernah terlihat, menampakan wujudnya dengan jelas dirumpun pohon nipah ditepi sungai, liur merah kehitaman tampak seperti darah kotor menetes dari sela mulutnya yang sedikit terdorong terbukaoleh taringnya, seakan memberikan isyarat, kami adalah santapan malamlezat bagi makhluk mengerikan itu.

Makhluk mengerikan itu mulai berjalan mendekati kami, mata merahnya tidak berkedip sedikitpun menatap kami, terasa bergetar tanah becekjalan ditepi danau akibat hentakan telapak kaki besar nan kokoh,aku, Bani dan Paman Mawi mulai mundur perlahan, rasa takut, putus asa, ditambah senja merah yang menurut kepercayaan kebanyakan  orang adalah waktu setan, jin dan siluman menampakan wujud dan mencari mangsa.

Paman Mawi mengeluarkan mandau dari sarung warna kuning, berkilap  memantulkan cahaya merah matahari senja, mandau berhulukan ukiran kepala burung.

"Argh........" suara pekikan panjang rasa sakit terdengar jelas, darah merah segar mengalir dari dada Paman Mawi,jelas terlihat, cakaran kuku tajam makhluk mengerikan berhasil menembus kulit hitam keriput, Paman Mawi tersungkur jatuh ketanah becek jalan setapak ditepi rawa, Aku dan Bani berteriak agar Paman Mawi menjauh dan menghindar dari makhluk menyeramkan  itu. Tapi dia tidak bergeming sedikitpun, Pamam Mawi bangkit dari jatuhnya dan membalikan badannya, berdiri tegap memegang mandau yang sudah sedari tadi dikeluarkan dari sarungnya, menatap makhluk menyeramkan itu dengan penuh amarah, darah yang terus mengalir tidak dihiraukannya.

Paman Mawi menyerang makhluk menyeramkan  dengan membabi buta, tebasan, tusukan dan sabetan mandau berkali kali diarahkan  ketangan, perut tubuh makhluk itu, tinju, tendangan pun dilayangkannya,anehnya tidak ada satupun dari tebasan dan sabetan mandau paman mawi melukai makhluk menyeramkan itu, ia tetap kokoh berdiri tanpa sedikitpun bergerak, hanya mata merah, dan kepaladengan taring dan bulu hitam menyeramkan yang bergerak memperhatikan Paman Mawi, seakan menantang kami semua untuk menyerangnya.

Paman Mawi terlihat kelelahan, serangan nya mulai melemah, kaki tanpa alas dengan celana cingkrang mulai goyah, ditambah luka yang terus mengeluarkan darah. Kami yang ketakutan hanya bisa memandang khawatir dari balik pohon galam.

Akhirnya, satu serangan tiba-tiba tangan kanan besar berbulu hitam, jari dan kuku tajam dengan cepat berhasil memegang dan mencekik keras leher Paman Mawi, mandau yang digenggamnya terjatuh, tubuh tidak terlalu tinggi Paman Mawi perlahan naik terangkat oleh tangan kokoh makhluk menyeramkan, kulit leher keriput kembang kempis menahan sakit,lidahnya terjulur seakan ditarik, mulutnya ternganga lebar, kedua tangan nya berusaha keras membuka cekikan tangan kokoh dan jari besar makhluk mengerikan,kakinya yang terangkat dari tanah kesana kemari mencari pijakan.

Melihat keadaan Aku dan Bani langsung berusaha menolong Paman Mawi, ku peluk erat kaki Paman Mawi yang semakin tinggi terangkat, kutarik dengan keras berharap makhluk liar ganas ini melepaskan cekikannya, Bani dengan cepat melompat dan menebaskan mandau Paman Mawi yang jatuh terlepaskearah tangan makhluk menyeramkan yang sudah mulai menunjukkan kemarahannya, tapi usaha kami sia-sia.

Satu pukulan keras tangan kiri makhluk liar tepat didada Bani membuat nya terlempar dan terguling beberapa meter kebelakang,mandau yang digenggamnya terlepas dan jatuh kedanau, darah segar mengalir dari bekas pukulan keras makhluk itu, goresan kuku tajam makhluk menyeramkan merobek baju dan kulit dada Bani, sejenak Bani diam tidak bergerak menahan sakit yang amat sangat akibat pukulan itu, tangan kanan nya memegang dada bekas pukulan makhluk kasar mengerikan, dipandang sesaattelapak tangan yang berdarah, darah merah didada bekas pukulan yang menempel ditelapak tangan nya.

Paman Mawi mulai tidak bergerak, kakinya terasa kaku, tangan nya yang berusaha melepaskan cekikan makhluk mengerikan melemah dan terjatuh disamping badannya, lidahnya terjulur keluar, matanya melotot. Makhluk mengerikan itu menatapku dengan tajam, tangan ku perlahan melepaskan pelukan kaki Paman Mawi yang sudah tidak benafas kaku, Aku mundur menjauh sedikit demi sedikit dari makhluk itu, tatapan nya terus mengikuti kemana aku bergerak, makhluk mengerikan itu berjalan perlahan  mendekati ku.

Senja merah berubah menjadi malam, samar cahaya bulan menampakan cahanya yang temaram tertutup awan, suasana mencekam nan mengerikanbegitu terasa, makhluk mengerikan semakin mendekat kepadaku, mata merahtanda amarah seakan menyala tidak sedikitpun berkedip menatap tajam, tangan besarnya mulai bergerak seakan hendak menerkamku, kuku tajam terlihat menonjol dijarinya, aku sudah tidak bisa berlari, terasa sangat berat kaki ini untuk melangkah, rasa takut, kelelahan dan putus asa bercampur menjadi satu.

Terasa semakin dekat ajal ku, tidak terbayangkan olehku akan menjadi seperti ini, sebentar lagi aku akan menyusul Ipul dan Paman Mawi, kematian yang mengerikan dan mungkin semua orang ketakutan saat membayangkannya, "buruk nian nasib mu Sat"terdengar jelas suara yang berbisik ditelinga ku

Makhluk menyeramkan itu mengangkat tangan kanannya tinggi, mengarahkan kuku tajam kebagian dadaku, bersiap untuk merobek mengoyak baju dan kulitku yang telah basah oleh keringat, secepat kilat makhluk itu mengayunkan tangan dengan kuku tajamnya ketubuhku, aku hanya pasrah mataku terpejam menanti sakit yang amat sangat ketika kuku tajam makhluk ganas mengerikan mengoyak kulit tubuhku.

"akh......." mataku terbelalak, tidak percaya dengan apa yang kulihat, terkejutbukan main, tidak ku duga Bani mengorbankan tubuhnya untuk melindungi ku "lari Sat, lari sejauh mungkin, engkau layak hidup, besarkan anak-anakmu" kudengar suara Bani berbisik, darah segar mengucur dari celah luka tusukkuku tajam makhluk mengerikan yang masih tertancap dalam ditubuh Bani.

Aku coba berdiri, berusaha berlari meninggalkan Bani yang tergeletak tidak bernyawa, menuruti kata-kataterakhir pria malang itu, tangan nya kulihat jelas masihmemegang kuku tajam besar yang menacap ditubuhnya begitu erat, seakan berusaha memperlambat gerakan makhluk mengerikan itu,  memberikan kesempatan bagiku untuk lari menjauh. Motoris yang humoris, hidup sebatang kara,bercerai dengan istri karena sang istri selingkuh dan kabur entah kemana dengan pria selingkuhannya.

Belum jauh Aku berlari, dengan sedikitkekuatan dan tenaga tersisa, tiba-tiba makhluk mengerikan sudah menghadang jalanku, tangan besar kuku tajam dan kokoh langsung mencekik leherku, terasa kasar, berbulu begitu menyeramkan. Tubuhku perlahan terangkat dari tanah tempatku berpijak, tanganku berusaha membuka cekikan dari tangan makhluk itu, mustahil kurasa membuka cekikan ini, begitu kuat dan erat, mata merahnya menatap tajammenunjukkan amarah.nafasku tidak teratur, mataku terbelalak , cekikan tangan makhluk mengerikansemakin kuat.

Dalam keadaan semakin menakutkan, aku teringat pisau kecil yang kubawa dari rumah, kupersiapkan untuk berjaga terhadap hewan buas dan ular, pisau yang kusimpan dalam saku celana sebelah kanan. Pisau kecil, dengan panjang sekitar sepuluh cm, dengan hulu terbuat dari kayu ulin yang diukir sederhana, pisau kecil pemberian kakek ku beberapa waktu yang lalu sebelum dia meninggal diterkam buaya saat mandi disungai dikampung ku.

Tangan kanan ku coba meraba-raba saku celana sebelah kanan, dan benar saja pisau kecil itu masih ada, tersimpan rapi dalam kantong celana, ku buka saku celana, dan kuambil perlahan dengan tangan kanan ku tanpa terlihat oleh makhluk menyeramkan itu, dan pada saat makhluk itu mendekatkan wajahnya kepadaku, dengan cepat dan dengan tenaga yang tersisa, kutusukan kuat pisau kecil tajam itu tepat mengenai mata sebelah kanan nya.Seketika itu juga, darah kental hitam kecoklatan menyembur keluar, darah berbau busuk dan amis makhluk mengerikan, cekikan keras dan kuat makhluk itu terlepas, dia meronta sejadi-jadinya, meraung dengan suara keras yang menyeramkan, berputar-putar sambil kedua belah tangan nya memegang mata kanan nya yang terus mengeluarkan cairan kental hitam kecoklatan.

Aku berlari dengan tenaga yang tersisa, mencoba menghindari sejauh mungkin makhluk mengerikan yang raungan nya sayup-sayup masih terdengar, raungan kesakitan karena sebelah matanya terluka parah akibat tusukan pisau kecil pemberian kakek yang belum sempat kucabut, melewati tumbuhan hutan rimbun disinari cahaya bulan yang sebagian tertutup awan.Puluhan kilo aku berlari, berlari jauh menghindari makhluk menyeramkan, nafas tersengal, energi yang mulai habis, kaki sudah terasa melemah, kepalaku sudah terasa pusing dan akhirnya, gelap.

"Dia bangun, cepat berikan teh hangat itu" ku dengar sayup suara lelaki berbicara,melalui penerangan lampu minyak, samar kulihat wajah keriput mendekatiku, sambil menyodorkan secangkir teh panas berasap terlihat dari gelas kaca."dimanakah saya?" kataku ketakutan "andika pingsan, kami temukan tidak jauh dari lampau(bangunan kecil ditengah hutandigunakan  sementara untuk bermalam bagi pekebun atau pencari tumbuhan hutan), minumlah teh hangat ini supayaandika kembali segar".

Sejenak aku terdiam mengingat kejadian mengerikan yang telah terjadi, teringat kembali Paman Mawi, Bani dan Ipul, yang telahtewas dengan cara yang mengerikan, terasakepalaku masih pusing.

Mendengar ceritaku yang baru saja terjadi, Amang sangat terkejut bukan main,"Danau Burung memang angker, apalagi bagi orang yang belum tahu adat budaya masyarakat disini, untung Andika masih bisa selamat" ujar Amang, panggil saja begitu, lelaki tua yang kesehariannya bekerja mencari rotan dihutan bersama anak lelakinya, "Danau Burung dulunya adalah tempat mancing ikan air tawar yang banyak didatangi pemancing dari daerah lain, ikan air tawar yang beragam, dan tempat yang indah menjadi tujuan utama". Amang mulai menceritakan sejarah Danau Burung, sambil sesekali matanya menerawang. "Tapi, semenjak kejadian itu, Danau Burung berubah menjadi angker dan menakutkan" kata Amang mengakhiri kalimatnya sambil menyeruput teh digelas kaca. "kejadian apakah gerangan yang terjadi disana?" tanyaku dengan penuh rasa penasaran.

"Kejadian pembunuhan anak kecil laki-laki bisu,yatim piatu yang mayatnya dimutilasi dan dibuang diDanau Burung, dibunuh dengan tuduhan mencuri isi keba pemancing, tanpa ada bukti" Amang terlihat emosi saat menceritakan ceritanya.

"Semenjak itu, Danau Burung menjadi angker, pernah tidak lama setelah kejadian itu, ada pemancing tewas tenggelam dan jasadnya tidak muncul lagihingga sekarang" ujar Amang lebih jauh menceritakan keangkeran Danau Burung "semenjak itu pula, sudah menjadi budaya dan adat masyarakat mengikatkan kain kuning dipohon panggang dekat Danau, tanda penghormatan dan harapan agar tidak diganggu arwah anak laki-laki yang sebagian orang menganggapnya mati penasaran" Amang kembali menambahkan

"Bagaimana dengan makhluk besar hitam, bertaring dan mata merah menyala?" aku memberanikan diri bertanya kepada Amang. "Andika bertemu dengan nya juga?" Amang kembali terkejut dan menggelengkan kepalanya. "Masyakat biasa menyebutnya hantu Mariaban, makhluk mengerikan penunggu hutan belantara pemangsa manusia, sejenis siluman jahat" kata Amang menjelaskan "mangsanya dicekik sampai mati, kemudian jasadnya dicabik dengan kuku tajam lalu dimakan sampai tidak bersisa, kecuali tulang belulang" rasa penasaran dan tanyaku satu persatu mulaiterjawab,tangan didasar danau, kain kuning yang diikat dipohon panggang dan makhluk mengerikan serta angkernya Danau Burung, secara detail diceritakan Amang di lampautempatnya beristirahat malam itu.

"Andika aman disini, besok kami akan antar Andika pulang kerumah, kami akan bantu menjelaskan kejadian ini semua kepada keluarga korban, sekarang andika istirahat saja" malam semakin larut, terasa hening, sunyi dan dingin, ditambah suara lolongan  anjing hutan yang saling bersahutan menambah kelam suasana. kejadian mengerikan beberapa waktu tadi masih membayangi dan menghantuiku, kematian tiga teman baikku, tangan didasar danau, makhluk besar hitam dengan mata merah, fikiran ku menerawang tidak jelas. Ini adalah peringatan untuk kita semua agar bijak terhadap alam, menjunjung budaya suatu daerah, dan menghormatinya, aku bersyukur masih bisa selamat, masih diberi kesempatan hidup, melihat anak-anak dan istriku, memberi nafkah mereka dan menjaga mereka.

T A M A T

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun