Mohon tunggu...
Ilalangg.id
Ilalangg.id Mohon Tunggu... Jurnalis - Berita Warga Sipil

Celotehan Warga Sipil | TikTok Ilalangg.id | Instagram Ilalangg.id | Hello Ilalanggid | YouTube Putra Ilalangg dan Ilalangg ID

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Hanya Ingin Mati dalam Perayaan

29 Maret 2019   06:19 Diperbarui: 29 Maret 2019   06:37 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : merdeka.com

Pagi yang sudah melipat jarak antara kenangan masalalu dan palung massa dimana aku berpijak, aku hidup diantara tanya semesta yang melukis kisah dari berbagai sumber kepahitan yang dielu elukan oleh para pencari penghidupan, antara rupa dan kantong kantong yang musti kenyang dan pongah terisi oleh sampah. padahal itu derita. Mati tak indah cukup hanya mati pada akhirnya. sebab ada yang terpatri dalam benak atas kekayaan yang meliputi rongrongan keduniawian yang menghidiupkan luka pada kesimpulan nafas yang tak boleh terhenti. Begitulah mati saja susah ketika perut terlalu pongah. Harta dan benda terlalu pongah. Hidup disini lebih tepatnya pada kesederhananaan nikmat kehidupan antara pelita cahaya kemanusiaan dan kebermanfaatan.

Namaku Abidin, Aku seorang manusia naf diantara jutaan makna yang sudah buta akan kekayaan, kepongahan dan kecintaan terhadap kertas tak bertuan. Aku sendiri tak pernah mengerti apa yang sebenarnya dicari dalam hidup yang terhitung lentik jarinya, tak bisa dinikmati dalam separuh abadpun. 

Sebuah alasan dimana hidup tak lucu jika hanya dihabiskan untuk bersikukuh pada kebohongan yang dibuat lewat secarik kertas dan kekayaan yang diraup dari kepalsuan.

Hampir 5 tahun ini aku hidup sendiri, bertahan hidup disebuah kamar kost kecil, diantara himpitan para manusia diperkotaan yang sudi terpinggirkan. Tepat 5 tahun yang lalu aku ini seorang pegawai negeri sipil di salah satu instansi pemerintah, namun aku memutuskan untuk pergi meninggalkan semua kepongahan itu. Hiingga akhirnya aku harus dirundung oleh konsukunesi masalah yang sudah usang digariskan.

Ditinggalkan istri, di usir mertua dan dikucilkan oleh tetangga, aku sudah memilih jalan hidup ditengah kejujuran dan kesederhanaan, aku sudah tidak lagi kaya raya. 

Sebab semua hartaku habis dan aku memutuskan untuk berhenti menjalani hidup yang penuh kepalsuan. Sebuah keputusan yang pelik.

Pagi ini, suara ayam sudah mengisyaratkanku untuk terbangun dari tempat tidur, suara adzan bergemuruh diseluruh sudut. Fajar shodiq telah tiba. Setelah nyawa terhimpun, lekaslah aku pergi kekamar mandi. Setelah mandi tak lupa berwudhu untuk shalat subuh. 

Menguatkan keyakinan menghadap ilahi untuk meminta restu agar semesta tetap berpihak padaku.. sujudku bersimbah pada doa keyakinan untuk hidup dari keringat jerih payah ketulusan.

Pagi sekali aku sudah bersiap untuk menyiapkan sayur sayuran yang akan kujual, tak lupa menyiapkan energy dengan meminum segelas teh hangat dengan gorengan bakwan yang ku beli dari samping kostan sebagai sarapan.

Ku tata  satu persatu sayur sayuran  disekujur tubuh motorku, motor yang sudah kusulap  sebagai tempat untuk menjajakan dagangan, dibelakang aku pasangkan gerobak. 

Untuk menampung sayuran sayuran yang akan ku gantung. Tak lupa memanaskan motor bebekku agar kuat ia berkekliling seharian, satu satunya harta yang tersisa.

Setelah semuanya siap, tepat pukul 06:30 dari depan kostan sempit tempat tinggalku, aku melaju untuk menjajakan sayur sayuran dari satu gang komplek ke gang komplek yang lain.

Yur sayur sayur , sayurnya ibu ibu. Begitu biasa aku menyauti untuk mengundang para pembeli sambil melajukan motorku perlahan.

" pak sayur " Tak lama aku menyaut, beberapa ibu ibu menghentikanku, aku segera berhenti, segera ku standarkan sepeda motorku. Ibu ibu dengan bersemangat mendatangiku, beberapa ibu ibu yang sudah menjadi langananku setiap pagi.

" pak ada tempe "

" Ada bu itu disitu bu dekat sayur kol "

" Pak ada bayam"

" Ada bu itu disamping seledri, masih segar seperti biasa "

" Pak ada sayur asem "

" Ada bu ini sayur asem murah meriah " Begitu saling bersautan ibu ibu yang berkerumun berbelanja sayuran yang sudah tertata dengan rapih  di gerobak belakang.

" Pak ini 5 ribu saja "

 " Wah gak dapet bu dari sananya itu 5 ribu saya gak ada upahnya dong"

" Pak 3 ribu aja ya tempenya "

" Wah belum dapat bu "  Begitu ibu ibu memang tiap kali berbelanja, padahal mereka sudah sering berbelenja , tapi masih saja menawar. Tapi ya itulah kesabaran yang diuji serta kejujuran sebagai seorang pedagang.

" Silahkan ibu ditambahi saja yang penting tetap ada lebihnya walaupun seribu rupiah"

" Wah memang pak Abidin ini selalu baik, Baiklah pak, ini saya bayar" Begitu saut salah satu ibu ibu sambil tersenyum, karena mendapat sayuran murah yang kujual.

Setelah semuanya selesai dengan berbagai macam keunikan dan sedikit menjengkelkan, aku kembali berkeliling ke tempat tempat berikutnya, biasanya aku menjajakan sayuran sampai jam 15.00 sore.

Dari setiap jalan yang kulalui, tampak sekali banyak macam manusia yang kulihat, ada yang sedang bergelak tawa bersama keluarganya didepan teras rumah, kebetulan memang hari ini hari minggu. 

Namun masih ada juga yang masih bekerja sepertiku meskipun hari minggu yang sama sama mengais rejeki dari berjualan. tak apa yang terpenting adalah bersyukur.

Terik tak terasa segera naik keperaduannya, matahari mulai menguliti kulitku yang semakin kerontang ini, menandakan sebuah semangat yang mesti sejenak direhatkan untuk mengisi energy lahiriyah maupun batiniyah.

Selepas adzan duhur terdengar diseluruh penjuru, aku segera menuju masjid terdekat untuk beristirahat dan menunaikan ibadah shalat dzuhur.

Sesampainya di masjid, segera motor ku standarkan, aku bergegas menyiapkan diri untuk shalat dzuhur, meyakinkan diriku untuk terus pada keyakinan. Bahwa hidup harus terus dipertaruhkan, lebih baik mati jika keyakinan hanya sebuah alibi pembenaran.

Selepas shalat aku rehat sejenak didepan masjid, sambil memandangi sekelilingku, sesekali aku teringat ketika melihat anak anak yang sedang bermain didepan halaman masjid. Aku teringat anakku yang sudah dibawa pergi istriku dan suami barunya.

Sesekali aku menatap keatas hamparan nirawana nun jauh, seolah mengadu atas semua yang telah aku putuskan hari ini, sekalipun itu sudah berlalu 5 tahun yang lalu, namun aku masih saja teringat sesekali. Luka yang begitu masih melekat ketika aku terhunus sepi sendiri, sering sekali mengusik ketenanganku.

 " Plak..... " Dari belakang pundaku ditepak, aku terkaget, dan seiring itu lamunanku segera memudar, ternyata seorang kawan yang baru selesai shalat juga.

"hayo ngelamunin apa ?"

" eh mas didi, mengagetkan saja, kukira siap. ah tidak melamun. Aku sedang rehat saja sambil menikmati angin yang adem ini mas, subhanallah.

" Gimana jualannya hari ini, lancar ?"

" Alhamdulilah nih walaupun belum habis, mas didi sendiri gimana siomaynya sudah habis."

" Wah belum juga nih mas, mudah mudahan ba'da dzuhur ini bisa habis, mari mas bambang "

" Oke mas didi mari mari "

"Assalamualaikum"

" Waalaikumsalam " Setelah sesaat menyapa, lalu dia meneruskan lajunya untuk kembali berjualan.

Setelah rehat dan badan sudah kembali segar, aku juga memutuskan untuk segera berkeliling kembali. Namun sebelum itu karena pagi tadi aku hanya sarapan gorengan, terlebih dahulu aku pergi untuk mencari warung makan terdekat untuk mengisi perutku yang sudah mulai berontak.

Setelah selesai makan dan perut sudah terisi, kembali aku lanjutkan berjualan lagi ke beberapa komplek yang belum sempat aku kunjungi.

 " Yur yur sayuuurr bu sayurnya bu" Dengan perlahan sayuranku ku jajakan kembali.

Tak terasa waktu cepat sekali bergulir, sore sudah beranjak naik, seiring sayuran yang alhamdulilah hari ini tinggal tersisa sedikit,pukul sudah menunjukan 15.00 dan aku segera bergegas pulang ke kostan.

Sesampainya di kostan, aku segera menurunkan gerobak yang ada dimotorku,merapihkan sisa sayuran yang belum habis. hari ini aku seperti biasa melakukan semuanya dengan seorang diri. sedih memang, namun aku tetap harus terus tegar dan ikhlas menikmati semua kenyataan ini.

Setelah selesai menunaikan shalat asyar, disela sore aku terduduk dikamar kost menunggu maghrib. Namun tiba tiba dadaku begitu terasa sesak. Seperti jarum yang menusuk nusuk, mataku tiba tiba berkunang kunang, tubuhku lemas. Karena tak tahan aku hanya terduduk sambil memegangi dadaku, yang tak kuat menahan sakitnya.

Kala terbangun aku kaget tiba tiba sudah berada di rumah sakit. Dengan selang infuse yang sudah terpasang di tanganku..

" sus siapa yang mengantarkanku kesini ? " tanyaku kepada salah satu suster didekatku.

 " Tadi atas nama  imron pak " Ternyata imron tetangga kostanku yang membawaku kesini, aku memang tak ingat  apa apa kala  tubuhku sudah begitu terasa sakit dan lemas sore tadi. Tak berselang lama imron menghampiriku.

" Kau sudah sadar din ? "

"  Aku memang kenapa, kok tiba tiba aku ada disini ? "

" Tadi maghrib aku berniat meminta air panas ke kostanmu, tapi aku malah melihatmu tergeletak, aku kira kau tidur, ketika ku bangunkan tak bangun bangun. Segera saja aku  bawa kesini tanpa pikir panjang. "

" Lalu untuk biayanya gimana im ? tabunganku hanya sedikit."

"Sudah sudah tak usah kamu pkirkan itu dulu, aku sudah upayakan dengan teman teman sesama kostan untuk patungan. Sudah kau istirahat saja dulu."

Malam ini badanku begitu terasa lemas, sakit yang kuderita ternyata begitu parah, sakit jantungku rupanya kambuh. Aku di vonis penyakit jantung semenjak aku masih senang dengan dunia malam dan mabuk mabukan, hampir setiap malam minggu aku pergi ke bar, sebuah kehidupan kelam yang pernah kujalani. Aku sempat menjalani perawatan intensif selama 1 tahun kala itu.

" Sus aku boleh minta pena dan selembar kertas " tiba tiba aku teringat mantan istriku dan anakku.

Rasaku seakan sudah tak menentu, badanku semakin lemas, jantungku semakin kencang berdebar, kepalaku begitu sakit seperti di tindih batu besar. Malam ini aku hanya takut jika aku pergi untuk selamanya tak sempat aku berpesan kepada anakku dan mantan istriku.

Setelah selesai ku tulis, aku meminta suster untuk memanggilkan imron.

" Im aku nitip surat ini, berikan ini kepada anakku dan mantan istriku "

" Ngomong apa kamu, sudahlah kamu rehat  saja,"  Imron kiranya khawatir dengan surat yang kutitipkan.

" Tidak im, aku minta tolong sampaikan ini " seiring surat itu kuberikan pada imron, tiba tiba seluruh tubuhku semakin dingin, seolah kematian segera menyergapku, semua pandanganku mengabur.

" suster.sus sus ini teman saya pingsan lagi ".dalam sakaratul imron memanggil. Dokter dan suster dengan segala upayanya membantuku agar tetap sadar. Namun tubuhku sudah menolaknya, aku hanya ingin mati dalam sebuah perayaan, perayaan mengucap kalimat tauhid dan syukur.

Sepucuk surat

Untukmu dan anakku

 " Untukmu elliana, kau pernah memberiku semangat dalam hidup dan kau pula yang meruntuhkannya, aku hanya ingin mati dalam perayaan. kau sudah menghadiahku seorang putri yang cantik. Aku bersyukur telah menemukanmu . Tolong jaga  dea, sampaikan salamku, jika ingin menemuiku cukup kau ucap dalam doamu "

Abidin

Rumah sakit Untukmu ellian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun