Mohon tunggu...
Abel Pramudya
Abel Pramudya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

Travelling, photography, bus enthusiast @abelpram

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Sederet Nilai Merah Penyelenggaraan Bus Trans Kota Tangerang

17 Maret 2022   12:45 Diperbarui: 26 April 2022   23:18 4416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Tangerang sudah memiliki sistem Bus Rapid Transit (BRT) sejak Desember 2016. Sistem BRT yang dinamai Trans Kota Tangerang ini, kini telah memiliki empat koridor. 

Koridor 1 melayani rute Terminal Poris Plawad-Jatake, sedangkan koridor 2 melayani rute Terminal Poris Plawad-Cibodas. Sementara itu, koridor 3 melayani rute TangCity-CBD Ciledug dan koridor 4 dengan rute Pintu M1 Bandara-Cadas yang baru beroperasi satu tahun. Setiap koridor dilayani oleh 10 unit bus medium dengan 1 unit bus sebagai cadangan. 

BRT Trans Kota Tangerang beroperasi mulai pukul 05.00 sampai 18.00 WIB dengan headway 10 menit. Tarifnya flat Rp2.000 dan pembayarannya dapat dilakukan secara cashless dengan dompet digital seperti LinkAja, GoPay, OVO, dan Dana.

Sebuah penelitian pada 2018 menyebut bahwa pengelolaan BRT Trans Kota Tangerang tergolong efektif. Penelitian lain pada 2019 menyimpulkan bahwa pengguna BRT Trans Kota Tangerang merasa sangat puas. Dua riset berdasarkan perspektif pengguna ini menghasilkan kesimpulan yang positif meski ada beberapa saran yang perlu direspons oleh para pemangku kepentingan.

BRT kebanggaan warga Kota Tangerang ini memang belum mencapai pengelolaan yang ideal dan profesional. Selain pada aspek penyediaan informasi, strategi komunikasi dan branding, penyelenggaraan Trans Kota Tangerang masih menorehkan sederet nilai merah.

Mengacu pada panduan standar BRT dari ITDP, jalur khusus bus (dedicated-right-of-way) menjadi salah satu elemen mendasar sebuah BRT. Sayangnya, Trans Kota Tangerang tidak memiliki jalur khusus bus.

Adanya BRT Trans Kota Tangerang terkesan seadanya - “yang penting ada”. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Tangerang perlu melakukan reformasi angkutan umum dengan berpedoman pada Panduan Reformasi Angkutan Umum di Indonesia.

Tulisan ini meminjam prinsip-prinsip dari panduan yang dirilis ITDP pada 2019 tersebut untuk mengevaluasi penyelenggaraan Trans Kota Tangerang.

Institusi Pengelola Angkutan Umum

Terciptanya institusi pengelola angkutan umum menjadi satu dari lima prinsip dasar reformasi angkutan umum. 

Operasional BRT Trans Kota Tangerang ada di bawah tanggung jawab PT Tiara Perkasa Mobil (TPM) yang sekaligus sebagai operator angkot Si Benteng. Sementara, pengelolaannya ada di bawah PT Tangerang Nusantara Global (TNG) yang merupakan BUMD Kota Tangerang. Dinas Perhubungan berperan dalam urusan penetapan tarif.

Pengelolaan moda transportasi ini pun menuai kontroversi. Diketahui, PT TPM ditunjuk jadi operator BRT sejak Februari 2017. Namun, proses lelang tender operator BRT dinilai tidak transparan

Awal 2019, operasional BRT harus terhenti selama hampir 2 pekan imbas proses lelang tender. Sama seperti tahun sebelumnya, PT TPM mendapatkan kontrak satu tahun untuk mengoperasikan dan memelihara bus Trans Kota Tangerang. Kejadian serupa juga terjadi di awal 2020. Kali ini, proses lelang tender harus diulang karena sempat ada kegagalan. 

Hingga kini, PT TPM masih menjadi operator BRT Tangerang. Terlihat dari stiker merah bertuliskan TPM di sudut kanan atas kaca depan bus dan seragam pengemudi bus yang bertuliskan TPM.

Namun, pengelolaan BRT ini masih buruk di sisi informasi dan komunikasinya. Tidak ada nomor layanan pelanggan, sedangkan media sosial resmi yang ada kini tak lagi aktif. Sementara itu, informasi peta rute resmi baru tersedia di situs Pemerintah Kota Tangerang. 

Tarif Angkutan Terintegrasi

Tarif yang terintegrasi masuk dalam prinsip dasar reformasi angkutan umum. BRT Trans Kota Tangerang dan angkot Si Benteng yang berada dalam satu bendera operator dan pengelola masih memiliki skema tarifnya masing-masing.

Seyogianya, dengan berada di bawah pengelolaan yang sama, BRT Trans Kota Tangerang dan Angkot Si Benteng bisa menjadi model bagi penerapan tarif angkutan umum terintegrasi di Kota Tangerang. 

Pengintegrasian tarif kedua sistem transportasi tersebut bisa menjadi langkah jangka pendek dan pilot project sebelum akhirnya seluruh layanan transportasi umum di Kota Tangerang memiliki tarif terintegrasi.

Jika tarif kedua moda transportasi hasil kelola pemerintah daerah ini saja tidak terintegrasi, apa kabar dengan moda transportasi lain?

Jaringan Angkutan Umum yang Efisien

Integrasi koridor BRT Kota Tangerang sudah cukup baik. Sebagai contoh, koridor 1 dan 2 bisa menjadi feeder dari dan menuju Stasiun Tanah Tinggi, Stasiun Batu Ceper, dan Terminal Poris Plawad. Halte Trans Kota Tangerang CBD Ciledug yang melayani koridor 3 letaknya pun berseberangan dengan Halte Transjakarta Ciledug yang melayani koridor 13. 

Pemberhentian bus Trans Kota Tangerang CBD Ciledug yang bersebelahan dengan Halte Transjakarta Ciledug. (Foto: Abel Pramudya)
Pemberhentian bus Trans Kota Tangerang CBD Ciledug yang bersebelahan dengan Halte Transjakarta Ciledug. (Foto: Abel Pramudya)

Keempat koridor BRT Kota Tangerang juga terhubung dengan rute-rute angkot eksisting dan angkot Si Benteng. Akan tetapi, tetap perlu ada pengembangan pengintegrasian yang cukup masif dengan meminimalkan perpindahan dan waktu tunggu armada. 

Penyelenggaraan BRT tidak bisa menjadi jawaban tunggal atas permasalahan transportasi di Kota Tangerang. Sistem transportasi harus ditangani secara holistik pada setiap moda dan setiap aspek terkait.

Rerouting perlu dilakukan dengan mengidentifikasi lima faktor dasar yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Hubdat nomor 687 tahun 2002 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur.

Rerouting menjadi penting untuk memastikan cakupan area pelayanan transportasi umum dan variasi layanan seperti layanan feeder, loop line, trunk line, atau ekspres. Langkah ini juga mendorong agar setiap moda dan pengelola bisa bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih rute yang berujung pada konflik.

Trans Kota Tangerang koridor 2 misalnya, sebagian besar rutenya sama dengan angkot 02 dan R11. Hal yang wajar jika di awal peluncurannya layanan BRT koridor ini menuai protes dari para pengemudi angkot.

Kualitas Layanan yang Andal

Kualitas layanan menjadi prinsip dasar selanjutnya dalam reformasi angkutan umum. Paragraf-paragraf di atas sudah cukup jelas menggambarkan kualitas layanan BRT Trans Kota Tangerang.

Desain halte BRT masih belum inklusif. Bus yang memiliki fasilitas ruang khusus bagi kursi roda dan akses keluar-masuk ramah pengguna kursi roda baru ada di koridor 1. 

Bus Trans Kota Tangerang koridor 1 memiliki ruang khusus kursi roda dan akses keluar-masuk di bagian tengah bus. (Foto: Abel Pramudya)
Bus Trans Kota Tangerang koridor 1 memiliki ruang khusus kursi roda dan akses keluar-masuk di bagian tengah bus. (Foto: Abel Pramudya)

Passenger information display system berbasis audio visual juga belum terpasang di halte, bus stop, dan bus. Hal ini tentu menyulitkan pengguna untuk merencanakan perjalanannya.

Bila merujuk pada standar pelayanan minimum dalam Permenhub nomor 27 tahun 2015 yang merupakan amandemen Permenhub nomor 10 tahun 2012, masih banyak hal-hal yang tidak diterapkan pada penyelenggaraan BRT Kota Tangerang.

Pertanyaannya, apakah Dinas Perhubungan Kota Tangerang pada saat itu tidak meninjau kembali peraturan ini sebelum merencanakan dan mengoperasikan Trans Kota Tangerang?

Terciptanya Industri Angkutan Umum yang Profesional

Industri angkutan umum di Kota Tangerang masih jauh dari kata profesional. Penyelenggaraan transportasi umum harus berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat. Namun, kepastian usaha bagi operator juga perlu diperhatikan melalui perencanaan model bisnis yang matang.

Tak ketinggalan, skema subsidi dari pemerintah yang sangat diperlukan. Badan pengelola manajemen operasional pun diharapkan memiliki akses dan fleksibilitas dalam mengelola keuangan.

Pemerintah Kota Tangerang juga perlu menjalin kemitraan dengan pengusaha ataupun pengelola transportasi perkotaan di Tangerang untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. 

Pemerintah setempat bisa belajar dari sistem scraping atau pembekuan izin trayek sebagai upaya angkutan umum bergabung ke dalam sistem BRT Trans Semarang. PT Transjakarta yang menggandeng perusahaan angkutan umum eksisting untuk menjadi operator BRT juga bisa dijadikan contoh.

Dinas Perhubungan Kota Tangerang, PT TNG, PT TPM, dan seluruh pihak terkait yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengoperasian BRT Kota Tangerang harus menyusun rencana strategis untuk membenahi penyelenggaran angkutan umum di kota ini. 

Kita nantikan sistem transportasi umum Kota Tangerang yang diurus dengan profesional dan memberi manfaat yang optimal.

_____

Daftar Referensi terkait BRT dan Angkutan umum perkotaan:

Penelitian terkait Trans Kota Tangerang:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun