AKUÂ BELUM LAYAK HINGGA AKU SELESAI DENGAN DIRIKU SENDIRI
Oleh : Habiburrahman
"Kekuasaan yang digenggam oleh orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri akan merusak tatanan sosial karena mereka lebih fokus pada akumulasi kepentingan egoistik dan kehendak pribadi (volont particulire)." (Rousseau).
Motivasi untuk mengejar jabatan sering kali menjadi kabur ketika bercampur antara kepentingan altruistik dan kepentingan pribadi. Jika jabatan dimaknai sebagai simbol kekuasaan dan sumber keuangan, maka komitmen terhadap pelayanan publik kerap terkikis oleh kepentingan egoistik. Hal ini terlihat nyata dalam kasus-kasus korupsi, seperti yang dianalisis oleh Amundsen (1999) dalam tulisannya Political Corruption: An Introduction to Issues.
Fenomena individu yang haus jabatan dalam pemerintahan memiliki dimensi kompleks yang dapat dikaji lebih tajam melalui pendekatan filsafat moral, psikologi kekuasaan, dan filsafat politik kontemporer. Di balik retorika pengabdian sering kali tersembunyi motif dominasi, pencarian identitas diri, hingga dorongan egoistik untuk membangun legitimasi pribadi.
Dalam studi politik Indonesia, Cornelis Lay (2014) menyebutkan bahwa ambisi dalam politik sering kali berkorelasi dengan politik transaksional, di mana jabatan menjadi komoditas yang dapat "dibeli" atau diperebutkan dengan berbagai cara. Transaksi ini tidak hanya melibatkan uang tetapi juga aliansi, pengaruh politik, dan distribusi kekuasaan. Ambisi yang dilandasi motif ini sangat berbahaya karena menggiring politik menuju "public office for private gains" (Huntington, 1968).
Fenomena ambisi berlebihan mengejar jabatan tidak selalu mencerminkan niat tulus mengabdi kepada masyarakat. Ada kecenderungan pencarian kekuasaan, status, dan materi, terutama di negara-negara dengan sistem birokrasi yang masih lemah dan praktik politik transaksional. Kelayakan seorang pemimpin pun dipertanyakan ketika motif jabatan muncul dari ambisi pribadi yang belum terkendali.
Pemimpin yang belum selesai dengan dirinya sendiri berisiko menjalankan kepemimpinan yang tidak efektif, penuh konflik kepentingan, serta merusak kepercayaan publik. Karena itu, penting adanya seleksi pemimpin yang lebih menekankan integritas, kesiapan mental, dan moralitas.
Dalam konteks kepemimpinan pemerintahan, etika publik yang buruk sering kali mengarah pada praktik manipulatif dan koruptif. Penelitian dari Transparency International (2020) menunjukkan bahwa banyak pejabat publik yang menganggap jabatan sebagai sarana memperkaya diri cenderung gagal dalam menjalankan mandat pelayanan publik. Ambisi ini dapat muncul dari beragam motivasi, baik yang bersifat positif maupun negatif.Â
Secara umum, beberapa tujuan di balik fenomena ini antara lain:
1. Motivasi Altruistik
Seseorang memang terdorong untuk mengabdi demi kepentingan masyarakat. Ini sesuai dengan teori public service motivation (PSM) dari Perry & Wise (1990), yang menyebutkan bahwa beberapa individu memiliki panggilan untuk pelayanan publik karena dorongan intrinsik seperti integritas, belas kasih, dan keinginan melakukan perubahan positif.
2. Motivasi Kekuasaan (Power Motive)
Menurut McClelland (1961) dalam Achievement Motive Theory, motivasi berkuasa (need for power) merupakan salah satu pendorong utama manusia dalam mengejar posisi strategis. Orang dengan motivasi ini cenderung merasa puas ketika memiliki kontrol, pengaruh, dan pengakuan dari lingkungan sosialnya.
3. Pencarian Status dan Materi
Jabatan strategis kerap dipersepsikan sebagai simbol status sosial dan ekonomi yang tinggi. Ini berangkat dari teori Kapital Budaya Pierre Bourdieu (1986), yang menyatakan bahwa jabatan publik membawa symbolic capital (penghargaan sosial) selain materi.
4. Ambisi Pribadi dan Kesempatan Bisnis
Sayangnya, di beberapa kasus, jabatan publik juga dipandang sebagai pintu masuk untuk keuntungan pribadi. Acemoglu & Robinson (2012) dalam Why Nations Fail mengungkap bahwa banyak elite berambisi menduduki jabatan strategis untuk mengakses extractive institutions, yang memperkaya segelintir orang dengan merugikan masyarakat luas.
Statemen pembuka tulisan ini "jika seseorang masih haus akan jabatan dan materi finansial, ia belum layak memimpin karena urusan pribadinya belum selesai" memiliki landasan kuat dalam perspektif etika kepemimpinan dan psikologi moral. Seorang pemimpin yang didorong oleh ambisi pribadi sering kali menunjukkan ego yang berlebihan. Menurut Greenleaf (1977) dalam konsep servant leadership, pemimpin sejati adalah mereka yang melayani lebih dulu dan menekan ego serta kepentingan pribadi.
Teori psikologi perkembangan dari Erik Erikson mengenai Eight Stages of Psychosocial Development menyatakan bahwa individu harus menyelesaikan konflik internalnya terlebih dahulu. Pemimpin yang masih mengejar pengakuan eksternal kemungkinan besar berada dalam fase "inferiority" atau belum mencapai tahap "ego integrity" yang matang. Pandangan Immanuel Kant (1785) tentang etika deontologis menyebutkan bahwa kepemimpinan harus dilandasi niat baik dan prinsip-prinsip moral. Jika seseorang terlalu mengejar jabatan demi materi, maka tujuan moral kepemimpinan tersebut tidak terpenuhi.
Ambisi untuk menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan bukanlah fenomena baru. Hal ini dapat ditelusuri melalui sejarah, psikologi, dan praktik politik global. Â Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984) menjelaskan bahwa jabatan strategis bukan sekadar posisi pekerjaan, tetapi juga sumber kapital simbolik, yang terdiri dari:
*Modal Sosial: Jabatan memberikan jaringan dan hubungan yang memperkuat posisi seseorang dalam lingkaran elite kekuasaan.
*Modal Ekonomi: Akses terhadap keuntungan ekonomi dan sumber daya negara.
*Modal Budaya: Pengakuan dan legitimasi dari masyarakat bahwa seseorang memiliki otoritas moral dan keilmuan.
Max Weber dalam Economy and Society (1922) membagi kekuasaan menjadi tiga tipe: 1). Kekuasaan Tradisional yang dipertahankan melalui warisan dan nilai-nilai kebiasaan. 2). Kekuasaan Karismatik yang bergantung pada pesona pribadi seseorang. Dan 3). Kekuasaan Rasional-Legal yang berbasis pada aturan hukum yang formal.
Dalam realitas politik modern, Weber berargumen bahwa birokrasi sering kali menjadi wadah bagi kepentingan pribadi daripada untuk kepentingan kolektif, terutama jika individu dengan ambisi kekuasaan belum memiliki kesadaran etis sebagai fondasi kepemimpinan.
Menurut McClelland (1961), individu dengan dominasi Power Motive namun minim "self-regulation" rentan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus ekstrem, ini memicu perilaku otoriter dan korupsi kekuasaan. Psikologi kepemimpinan menyatakan bahwa dorongan menjadi pemimpin dapat berasal dari:
*Achievement Motive (Prestasi): Fokus pada pencapaian hasil terbaik untuk masyarakat.
*Affiliation Motive (Hubungan): Dorongan untuk diterima dan diakui dalam lingkungan sosial.
*Power Motive (Kekuasaan): Dorongan untuk mempengaruhi, mengontrol, dan memegang kendali.
Lord Acton menyatakan bahwa "power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely". Ambisi yang berlebihan terhadap jabatan bukan sekadar refleksi motivasi yang alami, melainkan indikasi korupsi moral, yaitu kehilangan kontrol terhadap kebajikan dasar seperti kejujuran dan keadilan dan dominasi dorongan narsistik, di mana kekuasaan dijadikan sarana memuliakan ego pribadi. Ketika seseorang menginginkan posisi strategis demi materi atau legitimasi, maka penyalahgunaan kekuasaan tak terelakkan. Ambisi tak terkendali ini mereduksi kekuasaan menjadi bentuk hegemonik (pemaksaan kepentingan pribadi atas nama publik).
Michel Foucault dalam The History of Sexuality (1976) melihat kekuasaan bukan sebagai entitas statis yang dimiliki, tetapi jaringan relasi yang terdistribusi. Menurutnya, "Individu yang berambisi mengejar jabatan adalah individu yang memahami bahwa kekuasaan membentuk diskursus dan memberi mereka kendali atas narasi politik dan regulasi sosial. Selain itu, ambisi kekuasaan bisa dipandang sebagai upaya mengontrol kebenaran demi kepentingan sendiri (strategi biopolitik)." Foucault menyoroti bahwa individu haus jabatan sering mengeksploitasi normalisasi, yaitu memanipulasi opini publik agar obsesi mereka terlihat wajar.
Dalam Phenomenology of Spirit (1807), G.W.F. Hegel menggambarkan dialektika tuan-budak, dimana seseorang yang ingin menguasai dan menjadi "tuan" (penguasa) melakukannya demi pengakuan dari orang lain. Namun, dalam upaya meraih pengakuan ini, mereka menjadi budak dari ambisi mereka sendiri yang tak pernah mencapai kebebasan autentik. Selain itu, ambisi jabatan justru bersifat paradoks, karena semakin dominan seseorang, semakin ia menjadi tawanan kekuasaan dan kehilangan dirinya. Sebagaimana pandangan Hegelian, hal itu mencerminkan krisis relasi karena manusia mengejar kekuasaan bukan untuk pelayanan, tetapi demi eksistensi semu.
Sigmund Freud dalam Group Psychology and the Analysis of the Ego (1921) menyatakan bahwa individu dengan sifat narsistik cenderung membutuhkan validasi eksternal untuk mengisi kekosongan identitas diri dan menjadikan jabatan sebagai simbol kekuasaan untuk merasionalisasi kompleks inferioritas. Ambisi tak terkendali untuk menjadi pemimpin sering kali berasal dari kebutuhan egoistik untuk berkuasa dan dipuja, bukan dari keinginan tulus untuk melayani masyarakat.
Dalam teori Maslow, individu yang mengejar jabatan biasanya berada pada tahap self-esteem dan berusaha mencapai self-actualization. Namun, mereka yang masih "haus jabatan" sering kali terjebak di tahap ego pencarian status, kekayaan, dan pengakuan. Jika kebutuhan pribadi belum selesai, pemimpin tersebut akan memprioritaskan pemenuhan ambisi pribadi alih-alih pelayanan publik.
Fenomena ini menjelaskan bahwa individu yang kurang kompeten sering kali melebih-lebihkan kemampuan mereka. Dorongan ambisi jabatan justru bisa mencerminkan kurangnya refleksi diri dan pengetahuan mendalam tentang kompleksitas tanggung jawab kepemimpinan yang berakibat pada keyakinan palsu seolah jabatan akan meningkatkan kemampuan pribadi mereka.
Pandangan etika kontemporer sebagaimana yang dikutip dalam A Theory of Justice (1971), Rawls memperkenalkan konsep keadilan sebagai fairness. Ambisi individu terhadap jabatan harus diuji melalui:
1.Apakah niat mereka konsisten dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan?
2.Apakah keputusan mereka mempromosikan kepentingan yang paling terpinggirkan (the difference principle)?
Individu yang belum selesai dengan dirinya sendiri, termasuk dorongan egoistik dan ambisi materi, melanggar asas keadilan karena jabatan bukan lagi sarana membangun tatanan sosial, melainkan alat eksklusif untuk keuntungan pribadi. Demikian pula dengan Arendt dalam The Human Condition (1958) menolak kekuasaan sebagai dominasi hierarkis. Baginya, kekuasaan harus muncul dari partisipasi publik yang autentik dalam ruang publik (agora), bukan melalui monopoli jabatan dan mereka yang "terobsesi jabatan" telah merusak esensi kekuasaan, mengubahnya dari bentuk komunikatif-partisipatif menjadi bentuk otoritarianisme pribadi.
Berdasarkan analisis multidisipliner, fenomena individu yang terlalu berambisi mengejar jabatan mengindikasikan empat kelemahan mendasar:
1. Moralitas yang Tidak Matang
Berdasarkan Kant, tindakan mereka tidak tunduk pada prinsip imperatif kategoris, karena kepentingan moral digeser demi keuntungan material atau legitimasi status.
2. Krisis Autentisitas Diri
Dalam kacamata eksistensialisme Sartre dan Kierkegaard, pemimpin seperti ini terperangkap dalam bad faith, menjadikan kekuasaan sebagai "topeng" untuk menutupi keterasingan dan kegagalan dalam memahami jati diri.
3. Kepalsuan Relasi Publik
Mengutip Rousseau, kepentingan pribadi dalam ambisi kekuasaan merusak kontrak sosial yang menuntut loyalitas pada kehendak umum.
4. Pragmatisme Oportunis
Pemimpin oportunis ala Machiavelli menghalalkan segala cara demi tujuan sempit, merusak legitimasi dan tatanan politik.
Seorang individu yang masih haus akan jabatan dan kepentingan material adalah individu yang belum "selesai dengan dirinya sendiri." Mereka bukan hanya melanggar etika moral Aristoteles dan Kant, tetapi juga mencemarkan prinsip keadilan politik dan tatanan sosial yang lebih luas. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu melampaui kepentingan pribadi, melihat kekuasaan sebagai tanggung jawab moral untuk menciptakan kebaikan kolektif. Sigmund Freud dalam konsep psikodinamik menjelaskan bahwa individu dengan ego berlebihan sering kali termotivasi oleh pengakuan eksternal. Pemimpin seperti ini berisiko menerapkan gaya narcissistic leadership, yang ditandai dengan; 1). Haus akan pujian dan validasi eksternal. 2). Ketidakmampuan menerima kritik. Dan 3). Memprioritaskan ambisi personal di atas kepentingan publik.
Penelitian oleh Maccoby (2007) dalamÂ
bukunya The Leaders We Need menjelaskan bahwa narsisme dalam kepemimpinan, meskipun dapat membawa keberanian, sering kali mengarah pada kesenjangan moral dan keputusan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Dalam Self-Actualization Theory Abraham Maslow (1943), seseorang yang belum mencapai fase aktualisasi diri cenderung terjebak pada keinginan akan status dan validasi sosial (esteem needs) serta pemenuhan kebutuhan materiil. Kepemimpinan ideal hanya bisa dijalankan oleh individu yang telah melewati tahap ini dan fokus pada self-transcendence: mencurahkan potensi diri untuk kepentingan lebih besar dari dirinya sendiri. Akan tetapi, jika seorang calon pemimpin terlihat ambisius mengejar jabatan dan materi, ini bisa menjadi indikasi kuat bahwa ia belum selesai dengan urusan pribadinya. Dalam hal ini, bukan hanya tidak pantas menduduki jabatan, tetapi juga membahayakan efektivitas pemerintahan.
Mengacu pada paradigma etika kepemimpinan, seorang pemimpin yang baik adalah individu yang:
1.Tidak Haus Kekuasaan: Kepemimpinan bukan tentang meraih kekuasaan, tetapi tentang memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat (Greenleaf, 1977).
2.Bermoral dan Berintegritas: Niat seseorang memimpin harus berlandaskan pada prinsip kebaikan moral, bukan pada ambisi materialistis (Immanuel Kant, 1785).
3.Fokus pada Kepentingan Publik: Kepemimpinan ideal berorientasi pada kesejahteraan rakyat (Prinsip Utilitarianisme Jeremy Bentham, 1789).
Realitas politik di Indonesia menunjukkan sejumlah kasus di mana individu atau kelompok terlalu berambisi mengejar posisi strategis, baik melalui pemilihan umum maupun mekanisme lain. Fenomena ini setidaknya muncul dari dua sisi: 1). motivasi intrinsik seperti panggilan pelayanan, dan 2). motivasi ekstrinsik berupa kekuasaan, materi, serta pengakuan sosial. Jika dorongan ekstrinsik mendominasi, maka jabatan publik akan cenderung dijadikan alat pemuas ego pribadi yang mengabaikan kepentingan publik. Kegagalan dengan kepemimpinan ini setidaknya diakibatkan oleh kepemimpinan yang minim self-awareness dan self-control, fokus yang semata-mata pada kekuasaan dan kekayaan pribadi dan kehilangan dukungan publik akibat perilaku koruptif dan manipulatif.
Oleh karena itu, pandangan bahwa "orang yang haus jabatan belum selesai dengan dirinya sendiri" sepenuhnya valid secara teori psikologi, sosiologi, dan etika kepemimpinan. Mereka cenderung memimpin tanpa pondasi moral yang matang dan berpotensi menyalahgunakan kewenangan. Oleh karena itu, publik dan sistem seleksi kepemimpinan harus lebih mengutamakan integritas moral, kesiapan personal, dan orientasi pelayanan masyarakat sebagai syarat utama. Semua ini  bisa kita temukan dari berbagai Studi kasus tentang fenomena politisi pragmatis yang terungkap dalam laporan Transparency International (2020) muapun melalui beberapa kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik sebagai refleksi dari ketidaksiapan moral dan integritas.
Melalui perspektif filsafat moral, filsafat politik, dan filsafat eksistensialisme, kajian ini dapat kita temukan melalui berbagai pandangan beberapa filosof seperti "Immanuel Kant" dalam karyanya Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785) yang menekankan prinsip deontologi, bahwa tindakan seseorang harus didasarkan pada kewajiban moral, bukan sekadar kepentingan pribadi atau konsekuensi hasil akhirnya. Pemimpin yang berambisi atas jabatan demi kepentingan diri sendiri berarti:
*Melanggar prinsip imperatif kategoris, yaitu aturan moral yang bersifat universal dan wajib ditaati.
*Mengeksploitasi kekuasaan bukan sebagai tujuan moral, tetapi sebagai alat egois untuk mendapatkan keuntungan finansial, pengakuan, atau dominasi.
Kant menyatakan bahwa manusia bukan alat (treating humans as ends in themselves). Ambisi tak terkendali yang mengabaikan kesejahteraan publik mengubah jabatan sebagai instrumen hedonistik, bukan sebagai wahana kebaikan moral. Selain itu, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics berpendapat bahwa tujuan tertinggi manusia adalah eudaimonia (kebahagiaan yang tercapai melalui kebajikan). Kepemimpinan harus berorientasi pada:
*Virtue (Kebajikan): Seorang pemimpin sejati harus memiliki kebijaksanaan praktis (phronesis) dan keberanian moral untuk membangun keadilan di tengah masyarakat.
*Menghindari Ekstrem: Aristoteles menekankan konsep Golden Mean (jalan tengah), di mana ambisi dalam takaran moderat dapat mendorong perubahan positif. Namun, ketika ambisi itu menjadi serakah atau ekstrem, pemimpin tersebut kehilangan kebijaksanaan moral.
Individu yang haus jabatan, menurut Aristoteles, adalah individu yang terjebak dalam hedonisme politik, yaitu mencari kenikmatan sementara yang sering kali merusak harmoni komunitas (polis). Kekuasaan bukan untuk pemuasan ego, tetapi untuk mempraktikkan kebajikan.
Dalam The Prince (1513), Niccol Machiavelli memandang kekuasaan sebagai alat untuk mempertahankan stabilitas dan otoritas negara, bahkan jika harus mengesampingkan moralitas. Namun, kritik utama terhadap pandangan Machiavelli adalah bahwa:
*Pemimpin yang haus kekuasaan sering kali menggunakan strategi pragmatis yang mengorbankan prinsip moral demi kepentingan pribadi.
*Ambisi yang tidak terkendali menciptakan pemimpin oportunis, yang hanya bertindak demi "hasil akhir" (ends justify the means), merusak esensi pemerintahan sebagai pelayan rakyat.
Ambisi terhadap jabatan yang tidak berpijak pada kehendak kolektif (volont gnrale), menurut Rousseau justru menyalahi hakikat politik itu sendiri, yang idealnya merupakan sarana mencapai kesejahteraan bersama.
Rousseau dalam The Social Contract (1762) juga mengkritisi individu yang mendahulukan kehendak pribadi (volont particulire) di atas kepentingan umum. Rousseau berpendapat bahwa "Kekuasaan yang digenggam oleh orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri akan merusak tatanan sosial karena mereka lebih fokus pada akumulasi kepentingan egoistik." Rousseau juga menegaskan bahwa "Jabatan bukanlah ajang pemuas ambisi, melainkan tanggung jawab besar yang harus didasarkan pada kehendak rakyat." Seseorang yang menunjukkan obsesi dan kecanduan kekuasaan adalah tanda bahwa ia belum siap menjadi pemimpin karena ia mengabaikan prinsip moral dasar dalam kontrak sosial: kepatuhan terhadap kehendak umum.
Beberapa filosof eksistensialisme juga banyak menyoroti hal ini dalam beberapa buku karya Jean-Paul Sartre yang menjelaskan konsep "bad faith", yaitu kondisi ketika seseorang hidup dalam kepalsuan dan tidak menghadapi keberadaan otentik dirinya. Fenomena ini terjadi dalam konteks kepemimpinan ketika; 1). Ambisi terhadap jabatan muncul sebagai pelarian dari krisis eksistensial. Individu merasa bahwa posisi strategis akan memberikan makna hidup dan pengakuan sosial, padahal itu hanya ilusi identitas semu. 2). Mereka gagal menghadapi kebebasan untuk memilih hidup yang berarti (freedom and responsibility). Sartre berpendapat bahwa kekuasaan hanyalah "topeng" bagi individu yang belum menyelesaikan kehidupan pribadinya. Menurutnya Pemimpin yang haus jabatan sering kali terjebak dalam determinasi eksternal, seperti harta, kekuasaan, dan pencitraan. Sartre menegaskan bahwa individu seperti itu adalah produk kehidupan tidak otentik.
Tidak hanya itu, Kierkegaard menulis tentang kegelisahan dalam karya The Concept of Anxiety (1844). Ambisi berlebih muncul ketika seseorang belum memahami hakikat diri dan tanggung jawab eksistensialnya. Kekuasaan atau jabatan hanya menjadi "pelarian sementara" untuk menghindari kegelisahan atas makna hidup.
Kepemimpinan dalam kacamata Kierkegaard harus dibangun atas dasar pemahaman diri yang mendalam dan keberanian untuk menerima tanggung jawab eksistensial sebagai pemimpin yang melayani, bukan menguasai.
Berdasarkan analisis multidisipliner di atas, seseorang yang terlalu berambisi terhadap jabatan dapat disimpulkan sebagai:
1.Individu dengan Integritas yang Dipertanyakan: Kegagalan menyelesaikan persoalan diri sendiri berujung pada manipulasi publik untuk kepentingan pribadi.
2.Produk Krisis Moral: Mereka kehilangan orientasi pada nilai-nilai kebajikan (Aristoteles) dan terjebak dalam hedonisme politik.
3.Terasing dari Kehendak Umum: Obsesi kekuasaan menyalahi prinsip demokrasi deliberatif yang mendasari pemerintahan ideal.
Jean-Paul Sartre dengan tegas menyoroti individu seperti ini sebagai seseorang yang hidup dalam kepalsuan, sementara Rousseau menyatakan mereka tidak layak dipilih karena berlawanan dengan prinsip kontrak sosial.
Dari kacamata filsafat, pemimpin yang haus jabatan dan kekayaan cenderung menunjukkan:
1.Krisis identitas eksistensial (Sartre, Kierkegaard).
2.Kehilangan kebajikan moral (Aristoteles).
3.Pelanggaran kewajiban etik sebagai pelayan publik (Kant, Rousseau).
Dengan demikian, ambisi kekuasaan yang berlebihan adalah pertanda ketidaksiapan moral seorang individu untuk memimpin. Jabatan publik idealnya diberikan kepada individu yang telah "selesai dengan dirinya sendiri" dan memiliki keseimbangan antara etika, tanggung jawab, dan kesadaran pelayanan terhadap masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H