Ambisi untuk menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan bukanlah fenomena baru. Hal ini dapat ditelusuri melalui sejarah, psikologi, dan praktik politik global. Â Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984) menjelaskan bahwa jabatan strategis bukan sekadar posisi pekerjaan, tetapi juga sumber kapital simbolik, yang terdiri dari:
*Modal Sosial: Jabatan memberikan jaringan dan hubungan yang memperkuat posisi seseorang dalam lingkaran elite kekuasaan.
*Modal Ekonomi: Akses terhadap keuntungan ekonomi dan sumber daya negara.
*Modal Budaya: Pengakuan dan legitimasi dari masyarakat bahwa seseorang memiliki otoritas moral dan keilmuan.
Max Weber dalam Economy and Society (1922) membagi kekuasaan menjadi tiga tipe: 1). Kekuasaan Tradisional yang dipertahankan melalui warisan dan nilai-nilai kebiasaan. 2). Kekuasaan Karismatik yang bergantung pada pesona pribadi seseorang. Dan 3). Kekuasaan Rasional-Legal yang berbasis pada aturan hukum yang formal.
Dalam realitas politik modern, Weber berargumen bahwa birokrasi sering kali menjadi wadah bagi kepentingan pribadi daripada untuk kepentingan kolektif, terutama jika individu dengan ambisi kekuasaan belum memiliki kesadaran etis sebagai fondasi kepemimpinan.
Menurut McClelland (1961), individu dengan dominasi Power Motive namun minim "self-regulation" rentan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus ekstrem, ini memicu perilaku otoriter dan korupsi kekuasaan. Psikologi kepemimpinan menyatakan bahwa dorongan menjadi pemimpin dapat berasal dari:
*Achievement Motive (Prestasi): Fokus pada pencapaian hasil terbaik untuk masyarakat.
*Affiliation Motive (Hubungan): Dorongan untuk diterima dan diakui dalam lingkungan sosial.
*Power Motive (Kekuasaan): Dorongan untuk mempengaruhi, mengontrol, dan memegang kendali.
Lord Acton menyatakan bahwa "power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely". Ambisi yang berlebihan terhadap jabatan bukan sekadar refleksi motivasi yang alami, melainkan indikasi korupsi moral, yaitu kehilangan kontrol terhadap kebajikan dasar seperti kejujuran dan keadilan dan dominasi dorongan narsistik, di mana kekuasaan dijadikan sarana memuliakan ego pribadi. Ketika seseorang menginginkan posisi strategis demi materi atau legitimasi, maka penyalahgunaan kekuasaan tak terelakkan. Ambisi tak terkendali ini mereduksi kekuasaan menjadi bentuk hegemonik (pemaksaan kepentingan pribadi atas nama publik).
Michel Foucault dalam The History of Sexuality (1976) melihat kekuasaan bukan sebagai entitas statis yang dimiliki, tetapi jaringan relasi yang terdistribusi. Menurutnya, "Individu yang berambisi mengejar jabatan adalah individu yang memahami bahwa kekuasaan membentuk diskursus dan memberi mereka kendali atas narasi politik dan regulasi sosial. Selain itu, ambisi kekuasaan bisa dipandang sebagai upaya mengontrol kebenaran demi kepentingan sendiri (strategi biopolitik)." Foucault menyoroti bahwa individu haus jabatan sering mengeksploitasi normalisasi, yaitu memanipulasi opini publik agar obsesi mereka terlihat wajar.
Dalam Phenomenology of Spirit (1807), G.W.F. Hegel menggambarkan dialektika tuan-budak, dimana seseorang yang ingin menguasai dan menjadi "tuan" (penguasa) melakukannya demi pengakuan dari orang lain. Namun, dalam upaya meraih pengakuan ini, mereka menjadi budak dari ambisi mereka sendiri yang tak pernah mencapai kebebasan autentik. Selain itu, ambisi jabatan justru bersifat paradoks, karena semakin dominan seseorang, semakin ia menjadi tawanan kekuasaan dan kehilangan dirinya. Sebagaimana pandangan Hegelian, hal itu mencerminkan krisis relasi karena manusia mengejar kekuasaan bukan untuk pelayanan, tetapi demi eksistensi semu.
Sigmund Freud dalam Group Psychology and the Analysis of the Ego (1921) menyatakan bahwa individu dengan sifat narsistik cenderung membutuhkan validasi eksternal untuk mengisi kekosongan identitas diri dan menjadikan jabatan sebagai simbol kekuasaan untuk merasionalisasi kompleks inferioritas. Ambisi tak terkendali untuk menjadi pemimpin sering kali berasal dari kebutuhan egoistik untuk berkuasa dan dipuja, bukan dari keinginan tulus untuk melayani masyarakat.
Dalam teori Maslow, individu yang mengejar jabatan biasanya berada pada tahap self-esteem dan berusaha mencapai self-actualization. Namun, mereka yang masih "haus jabatan" sering kali terjebak di tahap ego pencarian status, kekayaan, dan pengakuan. Jika kebutuhan pribadi belum selesai, pemimpin tersebut akan memprioritaskan pemenuhan ambisi pribadi alih-alih pelayanan publik.
Fenomena ini menjelaskan bahwa individu yang kurang kompeten sering kali melebih-lebihkan kemampuan mereka. Dorongan ambisi jabatan justru bisa mencerminkan kurangnya refleksi diri dan pengetahuan mendalam tentang kompleksitas tanggung jawab kepemimpinan yang berakibat pada keyakinan palsu seolah jabatan akan meningkatkan kemampuan pribadi mereka.
Pandangan etika kontemporer sebagaimana yang dikutip dalam A Theory of Justice (1971), Rawls memperkenalkan konsep keadilan sebagai fairness. Ambisi individu terhadap jabatan harus diuji melalui:
1.Apakah niat mereka konsisten dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan?
2.Apakah keputusan mereka mempromosikan kepentingan yang paling terpinggirkan (the difference principle)?
Individu yang belum selesai dengan dirinya sendiri, termasuk dorongan egoistik dan ambisi materi, melanggar asas keadilan karena jabatan bukan lagi sarana membangun tatanan sosial, melainkan alat eksklusif untuk keuntungan pribadi. Demikian pula dengan Arendt dalam The Human Condition (1958) menolak kekuasaan sebagai dominasi hierarkis. Baginya, kekuasaan harus muncul dari partisipasi publik yang autentik dalam ruang publik (agora), bukan melalui monopoli jabatan dan mereka yang "terobsesi jabatan" telah merusak esensi kekuasaan, mengubahnya dari bentuk komunikatif-partisipatif menjadi bentuk otoritarianisme pribadi.
Berdasarkan analisis multidisipliner, fenomena individu yang terlalu berambisi mengejar jabatan mengindikasikan empat kelemahan mendasar:
1. Moralitas yang Tidak Matang
Berdasarkan Kant, tindakan mereka tidak tunduk pada prinsip imperatif kategoris, karena kepentingan moral digeser demi keuntungan material atau legitimasi status.
2. Krisis Autentisitas Diri
Dalam kacamata eksistensialisme Sartre dan Kierkegaard, pemimpin seperti ini terperangkap dalam bad faith, menjadikan kekuasaan sebagai "topeng" untuk menutupi keterasingan dan kegagalan dalam memahami jati diri.
3. Kepalsuan Relasi Publik
Mengutip Rousseau, kepentingan pribadi dalam ambisi kekuasaan merusak kontrak sosial yang menuntut loyalitas pada kehendak umum.
4. Pragmatisme Oportunis
Pemimpin oportunis ala Machiavelli menghalalkan segala cara demi tujuan sempit, merusak legitimasi dan tatanan politik.
Seorang individu yang masih haus akan jabatan dan kepentingan material adalah individu yang belum "selesai dengan dirinya sendiri." Mereka bukan hanya melanggar etika moral Aristoteles dan Kant, tetapi juga mencemarkan prinsip keadilan politik dan tatanan sosial yang lebih luas. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu melampaui kepentingan pribadi, melihat kekuasaan sebagai tanggung jawab moral untuk menciptakan kebaikan kolektif. Sigmund Freud dalam konsep psikodinamik menjelaskan bahwa individu dengan ego berlebihan sering kali termotivasi oleh pengakuan eksternal. Pemimpin seperti ini berisiko menerapkan gaya narcissistic leadership, yang ditandai dengan; 1). Haus akan pujian dan validasi eksternal. 2). Ketidakmampuan menerima kritik. Dan 3). Memprioritaskan ambisi personal di atas kepentingan publik.
Penelitian oleh Maccoby (2007) dalamÂ
bukunya The Leaders We Need menjelaskan bahwa narsisme dalam kepemimpinan, meskipun dapat membawa keberanian, sering kali mengarah pada kesenjangan moral dan keputusan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Dalam Self-Actualization Theory Abraham Maslow (1943), seseorang yang belum mencapai fase aktualisasi diri cenderung terjebak pada keinginan akan status dan validasi sosial (esteem needs) serta pemenuhan kebutuhan materiil. Kepemimpinan ideal hanya bisa dijalankan oleh individu yang telah melewati tahap ini dan fokus pada self-transcendence: mencurahkan potensi diri untuk kepentingan lebih besar dari dirinya sendiri. Akan tetapi, jika seorang calon pemimpin terlihat ambisius mengejar jabatan dan materi, ini bisa menjadi indikasi kuat bahwa ia belum selesai dengan urusan pribadinya. Dalam hal ini, bukan hanya tidak pantas menduduki jabatan, tetapi juga membahayakan efektivitas pemerintahan.