Mohon tunggu...
AbieLabieba
AbieLabieba Mohon Tunggu... Guru - Belajar sebagai cara hidup

Sekolah Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aku Belum Layak Hingga Aku Selesai Dengan Diriku Sendiri

18 Desember 2024   13:24 Diperbarui: 18 Desember 2024   13:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto editor abielabieba canva

Mengacu pada paradigma etika kepemimpinan, seorang pemimpin yang baik adalah individu yang:
1.Tidak Haus Kekuasaan: Kepemimpinan bukan tentang meraih kekuasaan, tetapi tentang memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat (Greenleaf, 1977).
2.Bermoral dan Berintegritas: Niat seseorang memimpin harus berlandaskan pada prinsip kebaikan moral, bukan pada ambisi materialistis (Immanuel Kant, 1785).
3.Fokus pada Kepentingan Publik: Kepemimpinan ideal berorientasi pada kesejahteraan rakyat (Prinsip Utilitarianisme Jeremy Bentham, 1789).
Realitas politik di Indonesia menunjukkan sejumlah kasus di mana individu atau kelompok terlalu berambisi mengejar posisi strategis, baik melalui pemilihan umum maupun mekanisme lain. Fenomena ini setidaknya muncul dari dua sisi: 1). motivasi intrinsik seperti panggilan pelayanan, dan 2). motivasi ekstrinsik berupa kekuasaan, materi, serta pengakuan sosial. Jika dorongan ekstrinsik mendominasi, maka jabatan publik akan cenderung dijadikan alat pemuas ego pribadi yang mengabaikan kepentingan publik. Kegagalan dengan kepemimpinan ini setidaknya diakibatkan oleh kepemimpinan yang minim self-awareness dan self-control, fokus yang semata-mata pada kekuasaan dan kekayaan pribadi dan kehilangan dukungan publik akibat perilaku koruptif dan manipulatif.

Oleh karena itu, pandangan bahwa "orang yang haus jabatan belum selesai dengan dirinya sendiri" sepenuhnya valid secara teori psikologi, sosiologi, dan etika kepemimpinan. Mereka cenderung memimpin tanpa pondasi moral yang matang dan berpotensi menyalahgunakan kewenangan. Oleh karena itu, publik dan sistem seleksi kepemimpinan harus lebih mengutamakan integritas moral, kesiapan personal, dan orientasi pelayanan masyarakat sebagai syarat utama. Semua ini  bisa kita temukan dari berbagai Studi kasus tentang fenomena politisi pragmatis yang terungkap dalam laporan Transparency International (2020) muapun melalui beberapa kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik sebagai refleksi dari ketidaksiapan moral dan integritas.

Melalui perspektif filsafat moral, filsafat politik, dan filsafat eksistensialisme, kajian ini dapat kita temukan melalui berbagai pandangan beberapa filosof seperti "Immanuel Kant" dalam karyanya Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785) yang menekankan prinsip deontologi, bahwa tindakan seseorang harus didasarkan pada kewajiban moral, bukan sekadar kepentingan pribadi atau konsekuensi hasil akhirnya. Pemimpin yang berambisi atas jabatan demi kepentingan diri sendiri berarti:
*Melanggar prinsip imperatif kategoris, yaitu aturan moral yang bersifat universal dan wajib ditaati.
*Mengeksploitasi kekuasaan bukan sebagai tujuan moral, tetapi sebagai alat egois untuk mendapatkan keuntungan finansial, pengakuan, atau dominasi.

Kant menyatakan bahwa manusia bukan alat (treating humans as ends in themselves). Ambisi tak terkendali yang mengabaikan kesejahteraan publik mengubah jabatan sebagai instrumen hedonistik, bukan sebagai wahana kebaikan moral. Selain itu, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics berpendapat bahwa tujuan tertinggi manusia adalah eudaimonia (kebahagiaan yang tercapai melalui kebajikan). Kepemimpinan harus berorientasi pada:
*Virtue (Kebajikan): Seorang pemimpin sejati harus memiliki kebijaksanaan praktis (phronesis) dan keberanian moral untuk membangun keadilan di tengah masyarakat.
*Menghindari Ekstrem: Aristoteles menekankan konsep Golden Mean (jalan tengah), di mana ambisi dalam takaran moderat dapat mendorong perubahan positif. Namun, ketika ambisi itu menjadi serakah atau ekstrem, pemimpin tersebut kehilangan kebijaksanaan moral.
Individu yang haus jabatan, menurut Aristoteles, adalah individu yang terjebak dalam hedonisme politik, yaitu mencari kenikmatan sementara yang sering kali merusak harmoni komunitas (polis). Kekuasaan bukan untuk pemuasan ego, tetapi untuk mempraktikkan kebajikan.

Dalam The Prince (1513), Niccol Machiavelli memandang kekuasaan sebagai alat untuk mempertahankan stabilitas dan otoritas negara, bahkan jika harus mengesampingkan moralitas. Namun, kritik utama terhadap pandangan Machiavelli adalah bahwa:
*Pemimpin yang haus kekuasaan sering kali menggunakan strategi pragmatis yang mengorbankan prinsip moral demi kepentingan pribadi.
*Ambisi yang tidak terkendali menciptakan pemimpin oportunis, yang hanya bertindak demi "hasil akhir" (ends justify the means), merusak esensi pemerintahan sebagai pelayan rakyat.
Ambisi terhadap jabatan yang tidak berpijak pada kehendak kolektif (volont gnrale), menurut Rousseau justru menyalahi hakikat politik itu sendiri, yang idealnya merupakan sarana mencapai kesejahteraan bersama.

Rousseau dalam The Social Contract (1762) juga mengkritisi individu yang mendahulukan kehendak pribadi (volont particulire) di atas kepentingan umum. Rousseau berpendapat bahwa "Kekuasaan yang digenggam oleh orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri akan merusak tatanan sosial karena mereka lebih fokus pada akumulasi kepentingan egoistik." Rousseau juga menegaskan bahwa "Jabatan bukanlah ajang pemuas ambisi, melainkan tanggung jawab besar yang harus didasarkan pada kehendak rakyat." Seseorang yang menunjukkan obsesi dan kecanduan kekuasaan adalah tanda bahwa ia belum siap menjadi pemimpin karena ia mengabaikan prinsip moral dasar dalam kontrak sosial: kepatuhan terhadap kehendak umum.

Beberapa filosof eksistensialisme juga banyak menyoroti hal ini dalam beberapa buku karya Jean-Paul Sartre yang menjelaskan konsep "bad faith", yaitu kondisi ketika seseorang hidup dalam kepalsuan dan tidak menghadapi keberadaan otentik dirinya. Fenomena ini terjadi dalam konteks kepemimpinan ketika; 1). Ambisi terhadap jabatan muncul sebagai pelarian dari krisis eksistensial. Individu merasa bahwa posisi strategis akan memberikan makna hidup dan pengakuan sosial, padahal itu hanya ilusi identitas semu. 2). Mereka gagal menghadapi kebebasan untuk memilih hidup yang berarti (freedom and responsibility). Sartre berpendapat bahwa kekuasaan hanyalah "topeng" bagi individu yang belum menyelesaikan kehidupan pribadinya. Menurutnya Pemimpin yang haus jabatan sering kali terjebak dalam determinasi eksternal, seperti harta, kekuasaan, dan pencitraan. Sartre menegaskan bahwa individu seperti itu adalah produk kehidupan tidak otentik.

Tidak hanya itu, Kierkegaard menulis tentang kegelisahan dalam karya The Concept of Anxiety (1844). Ambisi berlebih muncul ketika seseorang belum memahami hakikat diri dan tanggung jawab eksistensialnya. Kekuasaan atau jabatan hanya menjadi "pelarian sementara" untuk menghindari kegelisahan atas makna hidup.
Kepemimpinan dalam kacamata Kierkegaard harus dibangun atas dasar pemahaman diri yang mendalam dan keberanian untuk menerima tanggung jawab eksistensial sebagai pemimpin yang melayani, bukan menguasai.

Berdasarkan analisis multidisipliner di atas, seseorang yang terlalu berambisi terhadap jabatan dapat disimpulkan sebagai:
1.Individu dengan Integritas yang Dipertanyakan: Kegagalan menyelesaikan persoalan diri sendiri berujung pada manipulasi publik untuk kepentingan pribadi.
2.Produk Krisis Moral: Mereka kehilangan orientasi pada nilai-nilai kebajikan (Aristoteles) dan terjebak dalam hedonisme politik.
3.Terasing dari Kehendak Umum: Obsesi kekuasaan menyalahi prinsip demokrasi deliberatif yang mendasari pemerintahan ideal.
Jean-Paul Sartre dengan tegas menyoroti individu seperti ini sebagai seseorang yang hidup dalam kepalsuan, sementara Rousseau menyatakan mereka tidak layak dipilih karena berlawanan dengan prinsip kontrak sosial.
Dari kacamata filsafat, pemimpin yang haus jabatan dan kekayaan cenderung menunjukkan:
1.Krisis identitas eksistensial (Sartre, Kierkegaard).
2.Kehilangan kebajikan moral (Aristoteles).
3.Pelanggaran kewajiban etik sebagai pelayan publik (Kant, Rousseau).
Dengan demikian, ambisi kekuasaan yang berlebihan adalah pertanda ketidaksiapan moral seorang individu untuk memimpin. Jabatan publik idealnya diberikan kepada individu yang telah "selesai dengan dirinya sendiri" dan memiliki keseimbangan antara etika, tanggung jawab, dan kesadaran pelayanan terhadap masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun