Meskipun, konsumsi minuman beralkohol telah menjadi peristiwa yang luar biasa di masa lalu, informasi yang tersedia tentang konsekuensi konsumsi alkohol sangat sedikit dipahami.Â
Namun setelah ajaran Islam datang beberapa golongan, marga, suku dan penduduk berhenti merayakan kegembiraan dan kesenangan dengan Alkohol.Â
Itulah mengapa tidak sedikit orang memegang tradisi jahiliah di Arab. Namun mereka yang sudah masuk Islam dan taat akan berhenti minum alkohol untuk kesenangan dan kegembiraan. Indonesia sebagai fase peradaban mengalami kemajuan dengan membuat RUU Minuman beralkohol di jaman presiden Jokowi dan Kiayi Maruf Amin.
RUU Minuman Beralkohol dengan muatan tepat?
Pada saat kontak pertama, Indonesia dihadapkan dengan fakta yang "tidak terpikirkan" dan "tidak dapat disebutkan" tradisi alkohol kuno, belum lagi pasien Indonesia tidak dapat menunjukkan cukup motivasi ke arah pantang jangka panjang atau perubahan besar dalam gaya hidup mereka, meskipun banyak dari mereka tahu bahwa konsekuensi ini mungkin satu-satunya kemungkinan untuk pulih dari situasi buruk mereka.
Muatan RUU Minuman beralkohol stop pabrik produksi dan healing pemabuk menjadi tepat. Namun hukuman penjara belum tepat karena kapasiatas penjara terbatas.Â
Banyak asumsi yang mengatakan bahwa situasi ini menimbulkan peluang RUU Minuman ini dikaji ulang pemerintahan Joko Widodo-KH Maruf Amin dimana kebijakan pemerintah akan menemui banyak dukungan dari parlemen menolak bangsa pemabuk menjadi bangsa yang sadar akan kesehatan.
 Lantaran program Indonesia sehat pemerintah dapat didukung dalam pembahasan di DPR melalui minuman beralkohol baik stop produksi, stop akses pada warga negara Indonesia, alkohol hanya untuk turis dan kebijakan perlindungan pasien akibat alkohol di Indonesia. Akan tetapi, sekiranya anggapan tersebut cukup menggelikan dan terlalu berlebihan bila minum alkohol karena alkohol bisa membunuh kesadaran.
Untuk semua alasan di atas, Jika Rancangan Undang-Undang ini disahkan, sangat penting bagi kita untuk merefleksikan sikap terapeutik kita sendiri. Dorongan, emosi, sikap, dan perilaku moralistis, menghukum, atau diskriminatif harus terbuka diterima dan bekerja dalam UU Minol secara psikoterapi, atau dalam bentuk interaksi profesional lain yang membuat seseorang merasa nyaman.
Mengenali dorongan kontraproduktif kita sendiri dan mendiskusikannya secara terbuka dengan profesional tepercaya akan membantu  kita mendekati pasien ketergantungan alkohol secara terbuka, empatik, dan dengan menghormati, sambil mempertahankan posisi kita sendiri, jelas, dan tegas agar mereka kembali sehat kembali.
Sikap ini merupakan prasyarat warga Indonesia yang baik untuk memupuk kesediaan pasien untuk tetap dalam pengobatan dan tetap atau menjadi sepenuhnya abstinensia, tanpa menjadi manipulatif dan mencoba menuntut kepatuhan pasien di bawah rejimen pengobatan yang lebih melayani ego terapis daripada kesejahteraan pasien. Refleksi berkelanjutan dari dan bekerja pada sikap terapeutik Akita sendiri adalah satu untuk tetap sadar tan tidak mabuk.