Mohon tunggu...
Abdurrofi Abdullah Azzam
Abdurrofi Abdullah Azzam Mohon Tunggu... Ilmuwan - Intelektual Muda, Cendikiawan Pandai, dan Berbudaya Asia Afrika
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan pernah lelah mencintai Indonesia menjadi negara adidaya di dunia. Email Admin : axelmanajemen@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Fatwa Boleh Korupsi Sedikit di Indonesia, Kubu Pro DPR Vs Kubu KPK

29 Maret 2023   14:39 Diperbarui: 29 Maret 2023   14:43 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kubu Pro DPR Vs Kubu KPK. Sumber : Kompas.com (canva)

Indonesia merupakan negara yang terus berjuang dalam upaya pemberantasan korupsi, yang menjadi tantangan besar dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.

Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul kontroversi terkait sebuah fatwa yang menyatakan bolehnya menerima uang haram kecil-kecil oleh seorang anggota DPR.

Pernyataan tersebut menuai pro kontra di masyarakat. 

Ada yang memandang bahwa fatwa tersebut dapat merusak upaya pemberantasan korupsi, sementara yang lain berpendapat bahwa hal tersebut hanya sebatas bentuk pemaknaan dalam masyarakat dan tidak bermaksud menghalalkan tindakan korupsi.

Di tengah kontroversi ini, penting untuk memahami dan membahas secara mendalam mengenai pandangan terhadap tindakan korupsi, etika, dan integritas sebagai penyelenggara negara.

 Bagaimana kebijakan dan upaya pemberantasan korupsi dapat dijalankan dengan baik, serta bagaimana masyarakat dapat berkontribusi dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik.

Oleh karena itu, diperlukan diskusi yang sehat dan konstruktif untuk mengatasi kontroversi ini dan mencari solusi terbaik dalam menghadapi tantangan besar pemberantasan korupsi di Indonesia.

Anggota Komisi IX DPR RI Melchias Marcus Mekeng menyebut fatwa "makan uang haram kecil-kecil okelah."

Hal tersebut disampaikannya dalam rapat Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Golkar bersama Kementerian Keuangan pada Senin (27/3/2023).  

Menanggapi hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi menyayangkan pernyataan mengenai fatwa dari Melchias Mekeng.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan, tak seharusnya penyelenggara menyatakan hal yang bisa berdampak buruk pada pendidikan antikorupsi.

Sementara itu, Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, pernyataan Mekeng tersebut menunjukkan bahwa penyelenggara negara belum memahami konsep korupsi itu sendiri. Pernyataan tersebut dianggap tidak mencerdaskan masyarakat.

Ali Fikri menyampaikan, dalam Undang-Undang tak ada istilah korupsi yang besar atau kecil. Berapa pun besarnya, penyalahgunaan wewenang, jabatan, dan perbuatan memperkaya diri sendiri adalah bentuk tindak korupsi.  

Mengapa terjadi polarisasi dari kubu pro DPR dan pro KPK?

Polarisasi dan pro kontra di antara kubu anti korupsi mendukung RUU Perampasan Aset dan Kubu pro korupsi menolak RUU Perampasan Aset.

Polarisasi antara kubu pro DPR dan pro KPK terjadi karena perbedaan pandangan dalam hal pandangan terhadap tindakan korupsi dan upaya pemberantasan korupsi.

Kubu pro DPR dapat berpendapat bahwa fatwa "makan uang haram kecil-kecil okelah" dapat diterima karena mereka beranggapan bahwa tindakan korupsi yang kecil tidaklah seburuk tindakan korupsi yang besar. 

Selain itu, mereka juga dapat berpendapat bahwa hal tersebut hanya menjadi bentuk pemaknaan dalam masyarakat saja dan tidak bermaksud untuk menghalalkan tindakan korupsi tapi mereka menolak RUU Perampasan Aset.

Di sisi lain, kubu pro KPK berpendapat bahwa pernyataan tersebut dapat merusak upaya pemberantasan korupsi karena dapat memperlemah pandangan masyarakat terhadap tindakan korupsi. 

Selain itu, mereka juga menganggap bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan hukum dan mengabaikan prinsip-prinsip integritas dan etika yang seharusnya mendukung RUU Perampasan Aset.

Dalam hal ini, terdapat perbedaan pandangan yang cukup signifikan antara kubu pro DPR dan pro KPK mengenai pandangan terhadap tindakan korupsi dan upaya pemberantasan korupsi. 

Hal ini menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya polarisasi di antara kedua kubu mendukung RUU Perampasan Aset dan Kubu menolak RUU Perampasan Aset.

Faktor-Faktor Pemicu Polarisasi

Faktor-Faktor Pemicu Polarisasi (Shutterstock)
Faktor-Faktor Pemicu Polarisasi (Shutterstock)

Selain faktor perbedaan pandangan terhadap tindakan korupsi dan upaya pemberantasan korupsi, terdapat beberapa faktor lain yang memicu terjadinya polarisasi tersebut:

1. Faktor politik dan kepentingan ekonomi

Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah dan berbagai kepentingan dalam RUU Perampasan Aset dianggap dapat mengancam kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu, yang membuat mereka menolaknya.

Sebaliknya, kubu yang mendukung RUU tersebut berpendapat bahwa hal tersebut diperlukan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan mendukung kebijakan pemerintah dalam hal tersebut.

2. Faktor budaya dan tradisi korupsi

Indonesia memiliki budaya dan tradisi yang kompleks terkait dengan pandangan terhadap aktivitas korupsi dan integritas.

Beberapa orang cenderung memandang korupsi sebagai hal yang lazim, sementara yang lain memandangnya sebagai tindakan yang sangat buruk.

Hal ini dapat mempengaruhi pandangan dan sikap masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi, serta menimbulkan perbedaan pendapat di antara mereka.

3. Faktor sistem hukum yang lemah

Sistem hukum Indonesia masih lemah dalam hal pemberantasan korupsi dan perampasan aset dari hasil korupsi.

Beberapa orang yang menolak RUU Perampasan Aset mungkin meragukan kemampuan sistem hukum Indonesia untuk melakukan proses perampasan aset dengan adil dan transparan.

Sebaliknya, kubu yang mendukung RUU tersebut berpendapat bahwa perubahan undang-undang perlu dilakukan untuk memperkuat sistem hukum dalam hal pemberantasan korupsi.

4. Faktor media dan informasi

Media dan informasi dapat memainkan peran penting dalam mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap isu korupsi dan RUU perampasan aset.

Terkadang, media dapat memberikan informasi yang tidak akurat atau tidak seimbang, yang dapat memicu polarisasi di antara masyarakat.

Selain itu, ada pula kemungkinan terjadinya propaganda dari pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap RUU Perampasan Aset.

5. Faktor pendidikan dan pemahaman hukum

Pendidikan dan pemahaman hukum di Indonesia masih rendah di kalangan masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi pemahaman mereka terhadap isu korupsi dan perampasan aset.

Dalam beberapa kasus, orang-orang mungkin tidak memahami betul implikasi dari tindakan korupsi dan pentingnya upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pendidikan dan pemahaman hukum yang lebih baik.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun