Nah, logika yang terwakili dalam Abdurrofi Abdullah adalah bahwa aturan "no work no pay" mengatur alasan pencabutan pembayaran harus diberikan oleh undang-undang.
Karena ketidakhadiran buruh tanpa alasan tidak diatur oleh undang-undang sebagai alasan untuk menarik pembayaran, pemberi kerja tidak memiliki dasar hukum untuk tidak membayar gaji (kompensasi) kepada buruh.
Artinya, pengusaha sebagai pemberi kerja wajib menghitung dan membayarkan gaji (imbalan) kepada buruh seolah-olah mereka telah bekerja pada hari-hari tersebut, karena meskipun mereka tidak hadir tanpa alasan, pburuh tersebut masih dalam hubungan kerja dengan pemberi kerja.
Abdurrofi Abdullah lebih lanjut menunjukkan bahwa jika pengusaha tidak membayar kompensasi penuh kepada buruh, itu akan merupakan pelanggaran terhadap salah satu hak dasar pekerja, yaitu hak atas pembayaran. Namun, di sisi lain, kerugian bagi pemberi kerja jelas bukan?
Aturan "no work no pay" merupakan aksioma fundamental dalam hubungan pengusaha dan buruh dengan filosofinya sangat sederhana menguntungkan kedua belah pihak.
Ketika seseorang buruh dipekerjakan pengusaha, buruh diharapkan menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan pengusaha sehingga apapun dilakukan buruh memiliki nilai tukar.
Ketika pekerjaan ini tidak dilakukan, buruh tersebut tidak berhak atas pembayaran gaji apa pun sehingga pertanyaan apakah pemberi kerja wajib membayar pekerja ketika mereka tidak masuk kerja dan tidak atau membenarkan alasan ketidakhadiran mereka.
Kesimpulan dari artikel ini adalah: jika buruh tidak masuk kerja tanpa memberikan alasan apapun, buruh tersebut tidak berhak atas kompensasi gaji, tetapi hanya jika alasan ketidakhadirannya memang tidak dapat dibenarkan perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H