Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Ketika Suara Alam Berlaga

27 November 2024   05:06 Diperbarui: 27 November 2024   08:34 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/hewan-binatang-fauna-monyet-13148000/

Ketika Suara Alam Berlaga

Saya pernah bermalam di tepi hutan kecil beberapa kali, sendiri.

Suasananya sungguh tak terlupa. Gaduh luar biasa. Terutama

saat pagi dan petang. Suara aneka burung, monyet, hirangan,

dengus babi, anjing, dan kucing hutan. Ada juga rombongan

berang-berang yang ribut menguik-nguik bila malam mulai

larut. Bunyi burung pelatuk yang nyaring tinggi menembus

kegelapan. Bunyi tangir yang nyaring bak peluit. Bunyi gelang-gelang

alias kaki seribu yang menyerupai suara jangkrik. Ada bunyi elang

tambunau yang menguik sedih pada tajuk pohon yang tinggi.

Saat pagi dan petang seluruh penghuni hutan seakan berlaga

dan marah satu sama lain. Instrumentalia alam yang sekilas

tumpang tindih itu, anehnya tetaplah terdengar bening.

"Tembus" menurut ahli burung berkicau. Masing-masing bunyi

dan suara itu tetaplah bertutur sendiri-sendiri. Dan semua itu

terjadi pada suatu pagi yang cerah. Ketika capung dan kupu-kupu

kuning besar terbang kian-kemari. Ketika serombongan anak

monyet merayap diam-diam mendekati pondok saya dengan

pandangan rasa ingin tahu seorang bocah polos. Ketika

sekawanan burung tekukur berlompatan di hadapan saya

dengan jinaknya. Mereka tahu saya tidak membawa senapan.

Atau mereka menyangka, monyet-monyet kecil itu, saya adalah

kerabat yang telah pulang ke habitat asal. Seorang penyintas

sepi yang sedang mencari ilham.

Suasana petang tak kalah menghebohkan. Rupanya masing-masing

penghuni hutan itu punya semacam tempat menetap sendiri-sendiri.

Baik itu kumpulan dahan rimbun, lubang kecil pada kayu mati,

semak belukar, ceruk terlindung di atas gundukan tanah, atau

malah berjaga semalaman. Mereka bukanlah kawanan nomaden

yang suka berpindah tempat. Prosesi menuju kediaman ini

sungguh sebuah tontonan yang menarik hati. Terutama monyet

dan hirangan (kera kecil hitam). Dahan-dahan pohon di seputar

pondok saya bagai diaduk-aduk kawanan setan. Mereka menjerit,

berkelahi, berakrobat kian-kemari, melakukan segala tingkah

provokasi ke semua arah. Pada sesama dan binatang-binatang lain.

Pantas saja, anak yang suka berkelahi zaman saya kecil dulu,

disebut sebagai anak warik, anak monyet.

Suasana akan mereda seiring dengan senja yang mengatup di

cakrawala. Ketika bintang pertama muncul di angkasa, semua

hewan sudah comport di rumahnya masing-masing. Tinggal

beberapa jenis burung saja lagi yang tampaknya memang bertugas

jaga malam. Burung pelatuk dan si burung hantu yang berbunyi

sahut-sahutan. Sementara penghuni lain lelap dalam gelap. Hanya

sesekali mengeluarkan bunyi. Mungkin sedang mengigau atau

bermimpi.

Tidur di hutan, selama tidak ada setan atau binatang buas, bagi saya

sungguh menentramkan. Yang ada hanya sunyi dan suara-suara citraan

dari alam surgawi. Suara yang begitu bening murni. Seakan keluar

dari kedalaman dan kerinduan benak saya sendiri.

Saya teringat pengajaran dari mendiang guru saya, perihal tafsir dari

Surah Al-Israa ayat 44. Bahwa langit dan bumi serta seluruh penghuni

alam semesta bertasbih memuji Tuhan. Bahwa yang bernyawa dan yang

mati punya caranya sendiri-sendiri untuk memuji, merayakan, dan

menunjukkan dedikasi pengabdian. Hanya saja manusia tidak

diberi akses untuk menguak kode-kode bahasa cinta tersebut

secara taksa dan gamblang. Dan benar saja, dalam pendengaran saya,

setelah disimak dan dirasakan lebih seksama, puluhan ragam suara

alam dan hewan tersebut sepertinya memang dituntun oleh harmoni

partitur tertentu. Sehingga terasa pas dan saling mengisi melengkapi.

Apa yang semula terdengar rimpang dan sumbang, ternyata adalah

semacam jeda nada, yang kemudian dibarengi ketukan nada baru

yang serempak dan seimbang. Semua mengarah menuju satu

keselarasan: memuji dan membesarkan Tuhan.

Lalu bagaimana dengan puluhan juta suara yang hari ini

(tanggal 27 November 2024) akan dan sedang berlaga?

Rasa-rasanya kita sudah maklum arah dan harmoni

yang mereka inginkan: keadilan dan pemerataan, harkat

kemanusiaan dan kesetaraan, amanah dan pengabdian.

Pox populi pox dei. Suara rakyat mewakili suara kebenaran

Tuhan. Suara orang tertindas adalah doa yang mengancam.

Adakah yang mau mendengarkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun