Ketika Suara Alam Berlaga
Saya pernah bermalam di tepi hutan kecil beberapa kali, sendiri.
Suasananya sungguh tak terlupa. Gaduh luar biasa. Terutama
saat pagi dan petang. Suara aneka burung, monyet, hirangan,
dengus babi, anjing, dan kucing hutan. Ada juga rombongan
berang-berang yang ribut menguik-nguik bila malam mulai
larut. Bunyi burung pelatuk yang nyaring tinggi menembus
kegelapan. Bunyi tangir yang nyaring bak peluit. Bunyi gelang-gelang
alias kaki seribu yang menyerupai suara jangkrik. Ada bunyi elang
tambunau yang menguik sedih pada tajuk pohon yang tinggi.
Saat pagi dan petang seluruh penghuni hutan seakan berlaga
dan marah satu sama lain. Instrumentalia alam yang sekilas
tumpang tindih itu, anehnya tetaplah terdengar bening.
"Tembus" menurut ahli burung berkicau. Masing-masing bunyi
dan suara itu tetaplah bertutur sendiri-sendiri. Dan semua itu
terjadi pada suatu pagi yang cerah. Ketika capung dan kupu-kupu
kuning besar terbang kian-kemari. Ketika serombongan anak
monyet merayap diam-diam mendekati pondok saya dengan
pandangan rasa ingin tahu seorang bocah polos. Ketika
sekawanan burung tekukur berlompatan di hadapan saya
dengan jinaknya. Mereka tahu saya tidak membawa senapan.
Atau mereka menyangka, monyet-monyet kecil itu, saya adalah
kerabat yang telah pulang ke habitat asal. Seorang penyintas
sepi yang sedang mencari ilham.
Suasana petang tak kalah menghebohkan. Rupanya masing-masing
penghuni hutan itu punya semacam tempat menetap sendiri-sendiri.
Baik itu kumpulan dahan rimbun, lubang kecil pada kayu mati,
semak belukar, ceruk terlindung di atas gundukan tanah, atau
malah berjaga semalaman. Mereka bukanlah kawanan nomaden
yang suka berpindah tempat. Prosesi menuju kediaman ini
sungguh sebuah tontonan yang menarik hati. Terutama monyet
dan hirangan (kera kecil hitam). Dahan-dahan pohon di seputar
pondok saya bagai diaduk-aduk kawanan setan. Mereka menjerit,
berkelahi, berakrobat kian-kemari, melakukan segala tingkah
provokasi ke semua arah. Pada sesama dan binatang-binatang lain.
Pantas saja, anak yang suka berkelahi zaman saya kecil dulu,
disebut sebagai anak warik, anak monyet.
Suasana akan mereda seiring dengan senja yang mengatup di
cakrawala. Ketika bintang pertama muncul di angkasa, semua
hewan sudah comport di rumahnya masing-masing. Tinggal
beberapa jenis burung saja lagi yang tampaknya memang bertugas
jaga malam. Burung pelatuk dan si burung hantu yang berbunyi
sahut-sahutan. Sementara penghuni lain lelap dalam gelap. Hanya
sesekali mengeluarkan bunyi. Mungkin sedang mengigau atau
bermimpi.
Tidur di hutan, selama tidak ada setan atau binatang buas, bagi saya
sungguh menentramkan. Yang ada hanya sunyi dan suara-suara citraan
dari alam surgawi. Suara yang begitu bening murni. Seakan keluar
dari kedalaman dan kerinduan benak saya sendiri.
Saya teringat pengajaran dari mendiang guru saya, perihal tafsir dari
Surah Al-Israa ayat 44. Bahwa langit dan bumi serta seluruh penghuni
alam semesta bertasbih memuji Tuhan. Bahwa yang bernyawa dan yang
mati punya caranya sendiri-sendiri untuk memuji, merayakan, dan
menunjukkan dedikasi pengabdian. Hanya saja manusia tidak
diberi akses untuk menguak kode-kode bahasa cinta tersebut
secara taksa dan gamblang. Dan benar saja, dalam pendengaran saya,
setelah disimak dan dirasakan lebih seksama, puluhan ragam suara
alam dan hewan tersebut sepertinya memang dituntun oleh harmoni
partitur tertentu. Sehingga terasa pas dan saling mengisi melengkapi.
Apa yang semula terdengar rimpang dan sumbang, ternyata adalah
semacam jeda nada, yang kemudian dibarengi ketukan nada baru
yang serempak dan seimbang. Semua mengarah menuju satu
keselarasan: memuji dan membesarkan Tuhan.
Lalu bagaimana dengan puluhan juta suara yang hari ini
(tanggal 27 November 2024) akan dan sedang berlaga?
Rasa-rasanya kita sudah maklum arah dan harmoni
yang mereka inginkan: keadilan dan pemerataan, harkat
kemanusiaan dan kesetaraan, amanah dan pengabdian.
Pox populi pox dei. Suara rakyat mewakili suara kebenaran
Tuhan. Suara orang tertindas adalah doa yang mengancam.
Adakah yang mau mendengarkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H