Pagi di desa dimulai dengan suara-suara unggas bersahutan:
kokok ayam, nyanyian burung-burung di ranting dan dahan.
Saya biasa pergi ke sawah jam 6 pagi. Merasakan dan
menghirup udara segar yang bercampur wewangian
bunga-bunga liar. Merasakan leleran embun dari semak
rumput di jalan setapak. Ada capung yang beterbangan
kian kemari, ada burung ruak-ruak yang ribut sejak malam
tadi, ada semburat merah muda yang membias dari rona
matahari, ada kabut tipis yang menggantung di sela barisan
kelapa dan pohon kenari.
Desa kami berada pada sebuah dataran antara daerah
pegunungan dan pesisir. Suhu selalu berkisar antara
25 sampai 33 derajat celcius. Tidak terlalu panas juga
tidak sampai bikin orang menggigil. Daerah kami adalah
daerah transisi antara dua ekstrim ini: deretan pegunungan
kabupaten Tanah Laut yang dingin dan wilayah luar
kabupaten Banjar yang panas karena berada di muara
sungai Barito. Kata orang pesisir, kami mempunyai
lahan yang bagus karena tidak masuk area pasang surut.
Tidak ada pengaruh dari air laut. Waktu kerja juga panjang.
Bisa sampai sehari penuh. Alhamdulillah.
Awal musim tanam seperti sekarang adalah saat yang paling
dirindukan. Setelah vakum selama hampir tiga bulan, kembali
bekerja sungguh menggembirakan. Ada optimisme baru
dan harapan lebih besar dari tahun-tahun lalu. Ada doa
dan titipan amanah yang kembali menjadi baru.
Kalau puisi itu adalah keindahan dan kedalaman, maka
bekerja dengan penuh kesadaran adalah juga sebuah sajak
tersendiri. Dari pematang tempat berdiri, saya dapat
menyaksikan puluhan anak sekolah bersepeda dan jalan
kaki. Menyongsong masa depan mereka yang berseri-seri.
Jam delapan, sayup terdengar bunyi lonceng dan
pemberitahuan lewat pengeras suara, bahwa pelajaran
akan segera dimulai. Dua dari anak-anak ceria itu adalah
anak-anak kami sendiri. Alangkah senang hati, bahwa apa
yang saya kerjakan dari musim ke musim, bisa menunjang
kegembiraan dan keceriaan bocah-bocah alam ini.
Memang ada masanya saya tertegun sendirian, ketika panen
gagal atau ada teman dan keluarga meninggal. Ada kesan kuat
betapa sia-sianya hidup. Betapa rawannya segala apa yang
saya perjuangkan. Betapa rapuh sejengkal tanah yang saya
pertahankan mati-matian. Untunglah saya berada di tengah
panorama alam yang penuh inspirasi. Bergaul dengan teman
dan lingkungan yang santun dan jauh dari basa-basi. Kehidupan
yang nyaris murni ini, mengingatkan saya senantiasa pada
kehidupan lain yang kekal abadi. Ya, seperti sering dikatakan
para mistikus, kehidupan hati kita yang sekarang adalah
gambaran kecil dari kehidupan kekal kita di masa yang akan
datang. Maka, kalau puisi adalah kristalisasi dari keindahan
dan kedalaman, saya adalah orang yang sangat beruntung.
Karena jauh di lubuk hati, saya selalu dapat merasakan hadirnya
pesona dan keindahan alam yang berjalin berkelindan dengan
pesona dan keindahan dunia lain entah di mana, yang diam-diam
merindukan saya siang malam.
"Orang yang menjadikan Tuhan sebagai saksi kehidupan,
jiwanya akan bangkit membubung tinggi menggapai dunia
keselarasan, dimana ia akan dapat merasakan denyut
jantung hakiki keabadian."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H