Jejak Kenangan Di Antara Buku-buku Usang
Puluhan koleksi buku yang saya simpan kebanyakan telah
usang. Sebagian besar saya beli ketika masih bujangan.
Ada buku Sayyid Qutb dan Iwan Gayo yang saya beli ketika
pertama kali mendapat gaji sebagai guru ngaji. Waktu itu saya
berumur 16 tahun. Saya sering bertengkar dengan murid dan
mereka selalu meminta saya bercerita sehabis pelajaran usai.
Ada buku-buku terjemahan karya Gibran oleh Bu Sri Kusdiantinah
terbitan Pustaka Jaya yang saya beli di toko Gramedia di pusat
kota Banjarmasin. Gedung tempat toko tersebut ikut ludes terbakar
dalam peristiwa Jumat Kelabu tanggal 23 Mei 1997, dan sekarang
telah berganti jadi toko peralatan olahraga.
Puluhan buku Cak Nun dan Umar Kayam, kadang masih suka
saya baca. Sekedar untuk bernostagia. Betapa dalam pemikiran
mereka dan betapa cekak isi kepala saya. Ada beberapa buku
yang sangat berharga, buku-buku yang saya beli ketika pacaran.
Buku-buku ini kebanyakan buku puisi dan analisnya, yang kadang
saya kutip mentah-mentah dalam sejumlah surat cinta.
Setiap kali melihat buku ini, istri saya selalu tertawa.
Alangkah tolol dia dulunya. Mau saja dirayu dengan
cuplikan-cuplikan plagiat dan untaian kata mutiara
yang ternyata adalah dusta.
Di masa-masa darurat, saya terpaksa mengkopi sejumlah buku
yang begitu saya kagumi: antoligi sajak Subagio, Sapardi,
Goenawan Mohamad, dan Abdul Hadi. Hingga sekarang semua
masih tersimpan rapi. Teori-teori klasik tentang semiotika juga
masih kerap saya buka-buka. Ternyata memang nggak ada matinya
si Roman Jacobson dan Velix Vodicka. Bisa-bisanya mereka
memikirkan secara rinci kode-kode bahasa dan tanda. Meretas
simpul-simpul pemikiran, algoritma makna, seluruh jejaring
penanda dan petanda secara gamblang dalam sudut pandang
yang sebangun dengan linieritas logika.
Mengamati buku-buku usang itu seperti menerawang sebagian
kenangan yang, tak dapat tidak, perlahan mulai membeku. Tak
lagi mampu menyuratkan kekekalan waktu. Dulu, ketika saya
terpapar sepenuhnya dalam asyik masyuk candu buku-buku,
semua terasa akan tergapai. Tidak ada misteri yang tidak bisa
saya capai. Anggapan kuat itu sekarang telah selesai. Apa yang
dulu saya merasa mampu, ternyata adanya tidaklah begitu.
Otak dan benak saya segera dijejali hal-hal lain ketika sudah
menikah. Urusan makan dan belanja segera mengambil alih
kebiasaan merenung dan mereka-reka. Kepada urusan mencari
nafkalah waktu banyak tersita.
Dunia telah banyak berubah. Apa yang dulu terasa penting, kini
jadi biasa-biasa saja. Pemikiran dan kontemplasi sudah banyak
tergerus pragmatisme dan orientasi hedon yang terus-menerus
mengalami update dan aktualisasi. Memandangi buku-buku usang
itu, membuat saya merenung-renung dan bertanya, bagaimana
semua ini nanti jadinya. Apakah ada yang akan meneruskan
jejak rohani yang melekat pada halaman-halaman lusuhnya?
Siapakah lagi yang bersedia duduk pada suatu sudut sepi,
bercakap dengan lembut hati, menyimak suara-suara abad,
menyauk dengan rakus kedalaman wawasan orang-orang bijak?
Kenangan yang melekat pada buku-buku usang ini sesungguhnya
adalah nostalgia yang dulu saya idam-idamkan tentang masa depan.
Harapan tentang dunia yang tercerahkan. Sebuah kehidupan yang
dituntun oleh akal budi dan sejarah panjang kearifan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H