Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jejak di Kepala

15 November 2024   18:13 Diperbarui: 15 November 2024   18:28 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/jejak-kaki-di-pasir-coklat-2986357/

Jejak Di Kepala

Buku pertama yang boleh dianggap 'serius' yang berhasil saya tamatkan adalah Slilit Sang Kyai

karya Emha Ainun Nadjib. Saya terpesona dengan cara beliau mengurai dogma agama yang kaku

ke dalam problem-problem sosial yang kongkrit, dengan cara menangkap spirit religius kaum

sufi, lalu membumikannya ke dalam konteks budaya lokal yang cair dan elastis. Saya seperti

menemukan kanal penyaluran yang pas terhadap kegelisahan intelektual yang sejak lama

terpendam. Waktu itu saya tinggal dalam sebuah asrama yang tertutup bagi wawasan budaya

atau akademik.

Sebelumnya saya banyak menghabiskan waktu dengan karya-karya Bastian Tito, Hilman

Hariwijaya, Zara Zettira, Fredy S, Abdullah Harahap, dan sesekali Kahlil Gibran. Setelah

pertemuan dengan buku Cak Nun itu, saya jadi penasaran dengan buku-buku esai yang pada

era tersebut sedang boming-bomingnya. Saya meminjam buku-buku Jalaluddin Rahmat,

Kontuwijoyo, Amin Rais, Dawam Rahardjo, Harun Nasution, dan seterusnya. Kemudian

menjalar ke buku-buku HB. Jassin, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Kang Sobary, dan

lain-lain.

Kilasan-kilasan perkenalan itu mengantarkan saya pada spektrum wawasan yang sungguh

melegakan. Saya dapat mengurangi rasa tertekan terhadap aturan-aturan asrama yang rigid

dan padat. Saya suka menyendiri di kelas pada hari libur ketika seisi asrama sibuk main bola

atau pergi ke sawah mencari upahan. Rasanya sebuah cakrawala sedang meluas dalam hati

dan pikiran. Saya tenggelam di dalam keluasan. Waktu itu saya berumur sekitar 17 atau 18

tahun. Saya mulai suka berbantah dengan guru di sekolah.

Seorang guru bahasa Inggris menangkap kenakalan baru saya. Beliau mengundang saya ke

rumah. Saya datang ke tempat kos beliau. Di sana ada sebuah rak reot penuh buku. Saya

ternganga. Beliau menjelaskan:"Ini saya dapat dari menulis dan bikin resensi."

Maka mulailah saya bertekun membuat corat-coret di buku tulis. Tapi bukan artikel atau

resensi, melainkan puisi. Selang beberapa bulan saya mengirimkan tulisan tangan itu ke

radio. Kaka penyiar dan temannya membaca dan memberi komentar. Rasanya seperti terbang

di awang-awang.

Lalu seorang teman yang belum lulus kursus mengetik menawari saya untuk membantu

mengetik naskah-naskah mengenaskan itu. Sepulang sekolah, ketika anak-anak tidur siang

sebentar, kami menyelinap ke ruang TU di lantai dua. Satu bulan kemudian dua puisi saya

muncul di sebuah koran lokal. Pak penjaga perpustakaan yang memberi tahu. Karena beliau

adalah salah satu loper koran tersebut. Dan beliau punya jatah satu eksemplar buat ditaruh di

perpustakaan sekolah.

Berpuluh tahun kemudian, saya menyadari bahwa buku adalah dunia tersendiri yang tak kenal

ruang dan waktu. Ia menghuni dimensi yang tidak terikat atau tunduk dengan hukum sejarah

manapun. Pemikiran, renungan, hasil-hasil seni dan sastra, tidaklah menghuni kawasan budaya

atau kurun waktu tertentu. Saya membayangkan adanya suatu koneksi universal transenden

yang menghubungkan rohani manusia dari berbagai latar geografis dan zaman, di mana setiap

orang bisa menemukan kesempatan untuk mendefinikan dirinya secara subtil dan hakiki.

Menemukan kodrat ruhaninya yang sejati. Jejak-jejak para pejalan rohani inilah yang sampai

hari ini terus terdengar gemanya dalam kepala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun