Jejak Di Kepala
Buku pertama yang boleh dianggap 'serius' yang berhasil saya tamatkan adalah Slilit Sang Kyai
karya Emha Ainun Nadjib. Saya terpesona dengan cara beliau mengurai dogma agama yang kaku
ke dalam problem-problem sosial yang kongkrit, dengan cara menangkap spirit religius kaum
sufi, lalu membumikannya ke dalam konteks budaya lokal yang cair dan elastis. Saya seperti
menemukan kanal penyaluran yang pas terhadap kegelisahan intelektual yang sejak lama
terpendam. Waktu itu saya tinggal dalam sebuah asrama yang tertutup bagi wawasan budaya
atau akademik.
Sebelumnya saya banyak menghabiskan waktu dengan karya-karya Bastian Tito, Hilman
Hariwijaya, Zara Zettira, Fredy S, Abdullah Harahap, dan sesekali Kahlil Gibran. Setelah
pertemuan dengan buku Cak Nun itu, saya jadi penasaran dengan buku-buku esai yang pada
era tersebut sedang boming-bomingnya. Saya meminjam buku-buku Jalaluddin Rahmat,
Kontuwijoyo, Amin Rais, Dawam Rahardjo, Harun Nasution, dan seterusnya. Kemudian
menjalar ke buku-buku HB. Jassin, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Kang Sobary, dan
lain-lain.
Kilasan-kilasan perkenalan itu mengantarkan saya pada spektrum wawasan yang sungguh
melegakan. Saya dapat mengurangi rasa tertekan terhadap aturan-aturan asrama yang rigid
dan padat. Saya suka menyendiri di kelas pada hari libur ketika seisi asrama sibuk main bola
atau pergi ke sawah mencari upahan. Rasanya sebuah cakrawala sedang meluas dalam hati
dan pikiran. Saya tenggelam di dalam keluasan. Waktu itu saya berumur sekitar 17 atau 18
tahun. Saya mulai suka berbantah dengan guru di sekolah.
Seorang guru bahasa Inggris menangkap kenakalan baru saya. Beliau mengundang saya ke
rumah. Saya datang ke tempat kos beliau. Di sana ada sebuah rak reot penuh buku. Saya
ternganga. Beliau menjelaskan:"Ini saya dapat dari menulis dan bikin resensi."
Maka mulailah saya bertekun membuat corat-coret di buku tulis. Tapi bukan artikel atau
resensi, melainkan puisi. Selang beberapa bulan saya mengirimkan tulisan tangan itu ke
radio. Kaka penyiar dan temannya membaca dan memberi komentar. Rasanya seperti terbang
di awang-awang.
Lalu seorang teman yang belum lulus kursus mengetik menawari saya untuk membantu
mengetik naskah-naskah mengenaskan itu. Sepulang sekolah, ketika anak-anak tidur siang
sebentar, kami menyelinap ke ruang TU di lantai dua. Satu bulan kemudian dua puisi saya
muncul di sebuah koran lokal. Pak penjaga perpustakaan yang memberi tahu. Karena beliau
adalah salah satu loper koran tersebut. Dan beliau punya jatah satu eksemplar buat ditaruh di
perpustakaan sekolah.
Berpuluh tahun kemudian, saya menyadari bahwa buku adalah dunia tersendiri yang tak kenal
ruang dan waktu. Ia menghuni dimensi yang tidak terikat atau tunduk dengan hukum sejarah
manapun. Pemikiran, renungan, hasil-hasil seni dan sastra, tidaklah menghuni kawasan budaya
atau kurun waktu tertentu. Saya membayangkan adanya suatu koneksi universal transenden
yang menghubungkan rohani manusia dari berbagai latar geografis dan zaman, di mana setiap
orang bisa menemukan kesempatan untuk mendefinikan dirinya secara subtil dan hakiki.
Menemukan kodrat ruhaninya yang sejati. Jejak-jejak para pejalan rohani inilah yang sampai
hari ini terus terdengar gemanya dalam kepala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H