pertemuan dengan buku Cak Nun itu, saya jadi penasaran dengan buku-buku esai yang pada
era tersebut sedang boming-bomingnya. Saya meminjam buku-buku Jalaluddin Rahmat,
Kontuwijoyo, Amin Rais, Dawam Rahardjo, Harun Nasution, dan seterusnya. Kemudian
menjalar ke buku-buku HB. Jassin, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Kang Sobary, dan
lain-lain.
Kilasan-kilasan perkenalan itu mengantarkan saya pada spektrum wawasan yang sungguh
melegakan. Saya dapat mengurangi rasa tertekan terhadap aturan-aturan asrama yang rigid
dan padat. Saya suka menyendiri di kelas pada hari libur ketika seisi asrama sibuk main bola
atau pergi ke sawah mencari upahan. Rasanya sebuah cakrawala sedang meluas dalam hati
dan pikiran. Saya tenggelam di dalam keluasan. Waktu itu saya berumur sekitar 17 atau 18
tahun. Saya mulai suka berbantah dengan guru di sekolah.