/II/
Dirgahayu wahai kemurnian cuaca pagi!
Dengan kidung keremajaan engkau bangunkan hari
dari lembah malam yang adikodrati,
Engkau hembuskan kesegaran nafas orang-orang suci
ke sawah ladang, padang penggembalaan
bocah-bocah telanjang di pematang
ombak laut dan kicau burung di pepohonan
Lihatlah gadis jelita turun ke kali
Berlenggang antara bebatuan dan kabut pagi
Menyunggi semangat dan bakul nasi
Bersama petani menuju jantung hari
Maka alangkah riang tanah huma yang digarapi
benih yang disemaikan, rumput yang disiangi
air yang mengalir di sela batang-batang jerami,
Alangkah tentram hati
yang pasrah berserah pada keselarasan harmoni
jiwa-jiwa yang makan dari buah tangan sendiri,
Betapa mesra angin membelai rumpun-rumpun padi
ruh alam yang begitu telaten mengejawantahkan tajalli
Sang kesayangan malaikat Tuhan
mengacak rambut panjang
si dara perhiasan hari:
"Anak manis, dari kepulasan ninabobo malam engkau datang,
 apakah gerangan yang mengusikmu dari mimpi keindahan?"
Sang dara membuka caping
Merasai semburat hangat mentari
Sementara embun berseri pada ujung daun-daun padi;
"Adakah yang lebih menghidupkan
 hati dari mekarnya harapan?
 Segenggam benih memang hanya doa sederhana,
 tapi impian manakah sanggup menggemakan doa
 menumbuhkan harapan
 dan merangkul kenyataan?
 Betapa banyak orang terpesona indahnya impian
 tersasar dalam gemerlap imajinasi
 dan menyangka dengan itu segala keperluan bisa terpenuhi
 oleh karena itu hidupnya hampa tanpa makna
 tak memberi manfaat pada sesama,
 maka taburlah amal salehmu betapapun kecil ia
 tinggalkan khayalmu bagaimanapun indahnya
 suatu hari engkau akan terperangah oleh keagungan berkahnya."
Sang Angin berpaling pada embun di dedaunan:
"Engkau pemilik segala kebeningan
 ceritakan, apa hendak disembunyikan
 kabut di negeri Seberanag?"
Dengan pemberkahan wangi pagi
Sang embun menuturkan:
"Bagaimana harus aku lukiskan
 sedang nama kerikilnyapun tak terucapkan?
 Tapi cobalah sebutkan, apa nama Diri
 yang senantiasa engkau rindui?
 Apa nama keasingan
 yang kerap menyergapmu dalam sepi?
 Rangkumlah kata yang mencakup
 harmoni dan pertentangan, cinta dan kebencian
 cahaya dan kegelapan, fana dan keabadian,
 lalu manifestasikan pada dunia profan!"
Ruh alam tertegun
kearifannya tak mampu memberi lukisan
walau di depannya hamparan padi menggelombang
menghimbau sarat ilham,
"Betapa sering orang salah kaprah tentang rahasia
 kebajikan, kesucian, atau kearifan
 Berapa banyak orang mencari pelampiasan dan mimpi
 ke wilayah-wilayah yang bukan haknya untuk menjejaki,
 Sedang dalam keremangan malam
 tak sedikit orang yang terperosok lobang,
 apakah mereka mengira kepekatan prasangka
 halusinasi spekulasi bukan wilayah kelam
 dimana akal paling cerdaspun bisa tenggelam?
 Apakah Dia yang abadi
 pernah menyuruhmu ikut abadi agar Dia terpahami?
 Apakah sang Hayat
 pernah menuntutmu untuk meniupkan ruh bagi sebutir telur burung,
 supaya engkau dapat mendeteksi asal kehidupan?
 Pengetahuan sejati diraih tidak dengan jalan menurutkan keinginan
 Tapi dengan menumbuhkan kesadaran akan keterbatasan,
 Orang bijak bukan orang yang mengetahui segalanya
 Tapi dia yang mengenali diri dan tahu batas pengetahuannya."
Sang Angin menyedekapkan sayap
Menyiagakan segenap indra agar tak ada yang terlewat,
"Berkacalah pada kebijaksanaan saudaraku rumpun padi
 yang kebersahajaannya sarat kerendahan hati
 yang dengan tulus menerima takdir alam betapapun susah dimengerti,
 ketulusan murni yang justru menawan cinta sang Abadi
 lalu menganugerahkan padanya pralambang yang pernah dititiskan pada Dewi Sri,
 lihatlah betapa purna disandangnya citra ketenangan
 walau mesti menanjak dari gelap lumpur persawahan
 tabiatnya yang tak memilih teman
 membuat akrab katak dan ikan-ikan
 rumput liar dan gulma tanaman,
 dialah ibu segala tetumbuhan
 yang menyangga kesejahteraan gunung-gunung
 mengalirkan kesentosaan ke kampung-kampung
 menyanyikan adzan bersama burung-burung,
Â
" Bila senja dihelanya gema ayat-ayat Tuhan
 ke pelosok-pelosok lembah di kejauhan
 mengantar gelisah pengembaraan
 istirah di keteduhan malam,
 Jangkrik-jangkrik menembang di pematang
 mengiringkan pembangunan kota-kota hati
 beserta doa murni yang dimunajatkan para petani,
 Di tengah padang, dari haribaan malam
 bangkitlah kuil-kuil purbani
 bicara pada telaga dan rembulan
 menyenandungkan firman ke padang ilalang
 kebun lada dan palawija
 memuja mesra kebersamaan
 meniupkan ruh baru bagi alam,
" Di pugarnya hari-hari dari rahim kegelapan
 bersama kabut yang jadi perisai rahasia telanjang:
 Maka, alangkah keramat sesungguhnya tiap buah yang engkau makan
 Batu-batu yang engkau jadikan bangunan
 Pohon-pohon yang engkau jadikan ukiran
 Sawah ladang yang menyunggi kemakmuran
 Langit dan bumi yang sedia menjalin pengayoman,
" Betapa sakral sesungguhnya
 Hymne katak sehabis teduh hujan
 Derit jangkrik yang merangkaki kesunyian
 Helaan oksigen yang menggetarkan putik-putik kembang,
 Betapa bestari musim yang melukis lembah dan pegunungan
 Menebarkan aroma mayang kesturi ke taman-taman
 Melahirkan margasatwa bagi tiap siklus pergantian,
 Betapa mulia dia yang setia menyapih segenap tanaman
 Mengawinkan ternak dan benang sari kembang-kembang
 Mencipta damai dalam rumah tangga kehidupan,
 Sesungguhnyalah bukan prestasi
 Yang menyampaikan seseorang pada kemuliaan
 Tapi kerendahan hati
 Dan sikap tahu diri yang menawan cinta Junjungan alam."
Setelah purna menyimak inspirasi
kebisuan rumpun padi,
sang ruh kesayangan
membubung ke puncak ketinggian malam,
Maka menampaklah rupa-rupa kehidupan profan;
Kota yang terpencil dalam kebisingan
Negeri-negeri yang terpacak di rawa-rawa keasingan
Jalan-jalan lengang peradaban
yang tak pernah saling bersentuhan,
O betapa menggiriskan hati
bila sedikit saja tirai negeri Seberang disingkapkan!
Namun nun di ufuk kejauhan
Dari khazanah rahasia keabadian
Membersit cahaya fajar kehidupan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI