Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Risalah Angin /II/

11 November 2024   19:25 Diperbarui: 11 November 2024   20:16 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

/II/

Dirgahayu wahai kemurnian cuaca pagi!

Dengan kidung keremajaan engkau bangunkan hari

dari lembah malam yang adikodrati,

Engkau hembuskan kesegaran nafas orang-orang suci

ke sawah ladang, padang penggembalaan

bocah-bocah telanjang di pematang

ombak laut dan kicau burung di pepohonan

Lihatlah gadis jelita turun ke kali

Berlenggang antara bebatuan dan kabut pagi

Menyunggi semangat dan bakul nasi

Bersama petani menuju jantung hari

Maka alangkah riang tanah huma yang digarapi

benih yang disemaikan, rumput yang disiangi

air yang mengalir di sela batang-batang jerami,

Alangkah tentram hati

yang pasrah berserah pada keselarasan harmoni

jiwa-jiwa yang makan dari buah tangan sendiri,

Betapa mesra angin membelai rumpun-rumpun padi

ruh alam yang begitu telaten mengejawantahkan tajalli

Sang kesayangan malaikat Tuhan

mengacak rambut panjang

si dara perhiasan hari:

"Anak manis, dari kepulasan ninabobo malam engkau datang,

  apakah gerangan yang mengusikmu dari mimpi keindahan?"

Sang dara membuka caping

Merasai semburat hangat mentari

Sementara embun berseri pada ujung daun-daun padi;

"Adakah yang lebih menghidupkan

 hati dari mekarnya harapan?

 Segenggam benih memang hanya doa sederhana,

 tapi impian manakah sanggup menggemakan doa

 menumbuhkan harapan

 dan merangkul kenyataan?

 Betapa banyak orang terpesona indahnya impian

 tersasar dalam gemerlap imajinasi

 dan menyangka dengan itu segala keperluan bisa terpenuhi

 oleh karena itu hidupnya hampa tanpa makna

 tak memberi manfaat pada sesama,

 maka taburlah amal salehmu betapapun kecil ia

 tinggalkan khayalmu bagaimanapun indahnya

 suatu hari engkau akan terperangah oleh keagungan berkahnya."

Sang Angin berpaling pada embun di dedaunan:

"Engkau pemilik segala kebeningan

 ceritakan, apa hendak disembunyikan

 kabut di negeri Seberanag?"

Dengan pemberkahan wangi pagi

Sang embun menuturkan:

"Bagaimana harus aku lukiskan

 sedang nama kerikilnyapun tak terucapkan?

 Tapi cobalah sebutkan, apa nama Diri

 yang senantiasa engkau rindui?

 Apa nama keasingan

 yang kerap menyergapmu dalam sepi?

 Rangkumlah kata yang mencakup

 harmoni dan pertentangan, cinta dan kebencian

 cahaya dan kegelapan, fana dan keabadian,

 lalu manifestasikan pada dunia profan!"

Ruh alam tertegun

kearifannya tak mampu memberi lukisan

walau di depannya hamparan padi menggelombang

menghimbau sarat ilham,

"Betapa sering orang salah kaprah tentang rahasia

 kebajikan, kesucian, atau kearifan

 Berapa banyak orang mencari pelampiasan dan mimpi

 ke wilayah-wilayah yang bukan haknya untuk menjejaki,

 Sedang dalam keremangan malam

 tak sedikit orang yang terperosok lobang,

 apakah mereka mengira kepekatan prasangka

 halusinasi spekulasi bukan wilayah kelam

 dimana akal paling cerdaspun bisa tenggelam?

 Apakah Dia yang abadi

 pernah menyuruhmu ikut abadi agar Dia terpahami?

 Apakah sang Hayat

 pernah menuntutmu untuk meniupkan ruh bagi sebutir telur burung,

 supaya engkau dapat mendeteksi asal kehidupan?

 Pengetahuan sejati diraih tidak dengan jalan menurutkan keinginan

 Tapi dengan menumbuhkan kesadaran akan keterbatasan,

 Orang bijak bukan orang yang mengetahui segalanya

 Tapi dia yang mengenali diri dan tahu batas pengetahuannya."

Sang Angin menyedekapkan sayap

Menyiagakan segenap indra agar tak ada yang terlewat,

"Berkacalah pada kebijaksanaan saudaraku rumpun padi

 yang kebersahajaannya sarat kerendahan hati

 yang dengan tulus menerima takdir alam betapapun susah dimengerti,

 ketulusan murni yang justru menawan cinta sang Abadi

 lalu menganugerahkan padanya pralambang yang pernah dititiskan pada Dewi Sri,

 lihatlah betapa purna disandangnya citra ketenangan

 walau mesti menanjak dari gelap lumpur persawahan

 tabiatnya yang tak memilih teman

 membuat akrab katak dan ikan-ikan

 rumput liar dan gulma tanaman,

 dialah ibu segala tetumbuhan

 yang menyangga kesejahteraan gunung-gunung

 mengalirkan kesentosaan ke kampung-kampung

 menyanyikan adzan bersama burung-burung,

 

" Bila senja dihelanya gema ayat-ayat Tuhan

 ke pelosok-pelosok lembah di kejauhan

 mengantar gelisah pengembaraan

 istirah di keteduhan malam,

 Jangkrik-jangkrik menembang di pematang

 mengiringkan pembangunan kota-kota hati

 beserta doa murni yang dimunajatkan para petani,

 Di tengah padang, dari haribaan malam

 bangkitlah kuil-kuil purbani

 bicara pada telaga dan rembulan

 menyenandungkan firman ke padang ilalang

 kebun lada dan palawija

 memuja mesra kebersamaan

 meniupkan ruh baru bagi alam,

" Di pugarnya hari-hari dari rahim kegelapan

 bersama kabut yang jadi perisai rahasia telanjang:

 Maka, alangkah keramat sesungguhnya tiap buah yang engkau makan

 Batu-batu yang engkau jadikan bangunan

 Pohon-pohon yang engkau jadikan ukiran

 Sawah ladang yang menyunggi kemakmuran

 Langit dan bumi yang sedia menjalin pengayoman,

" Betapa sakral sesungguhnya

 Hymne katak sehabis teduh hujan

 Derit jangkrik yang merangkaki kesunyian

 Helaan oksigen yang menggetarkan putik-putik kembang,

 Betapa bestari musim yang melukis lembah dan pegunungan

 Menebarkan aroma mayang kesturi ke taman-taman

 Melahirkan margasatwa bagi tiap siklus pergantian,

 Betapa mulia dia yang setia menyapih segenap tanaman

 Mengawinkan ternak dan benang sari kembang-kembang

 Mencipta damai dalam rumah tangga kehidupan,

 Sesungguhnyalah bukan prestasi

 Yang menyampaikan seseorang pada kemuliaan

 Tapi kerendahan hati

 Dan sikap tahu diri yang menawan cinta Junjungan alam."

Setelah purna menyimak inspirasi

kebisuan rumpun padi,

sang ruh kesayangan

membubung ke puncak ketinggian malam,

Maka menampaklah rupa-rupa kehidupan profan;

Kota yang terpencil dalam kebisingan

Negeri-negeri yang terpacak di rawa-rawa keasingan

Jalan-jalan lengang peradaban

yang tak pernah saling bersentuhan,

O betapa menggiriskan hati

bila sedikit saja tirai negeri Seberang disingkapkan!

Namun nun di ufuk kejauhan

Dari khazanah rahasia keabadian

Membersit cahaya fajar kehidupan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun