Selain itu, membangun relawan untuk cipta situasi dan kondisi seperti diatas perlu kerja keras partai menarik dukungan dari saluran politik dan proaktif di setiap tingkatan piramida partisipasi politik.Â
Dalam pemahaman ini, kerja partai sebagai komandan utama mulai tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, dan nasional lebih besar dari pada kerja calon dan tim pemenangan calon. Sebab satu komando dalam penguasaan kawasan/basis tidak bisa caleg atau calon eksekutif dan tim pemenangannya saja, sebab mereka kerja saat event pemilu saja, sedangkan bagi partai bisa dikatakan kerja sepanjang hayat.Â
Relawan tingkat TPS atau di beberapa titik lingkungan dalam kawasan TPS, adalah representatif partai dan kandidat calon legislatif maupun eksekutif. Jika relawan kita tidak diterima atau tidak ditokohkan dimasyarakat lingkungan tersebut, maka lingkungan tersebut tidak akan menerima simbol partai, apalagi calon kita untuk dipilih suatu hal mustahil.Â
Kenapa harus zonasi TPS, tidak desa atau kecamatan bahkan kabupaten sebagai daerah kerja blocking. Sebab negara kita sistem feodal sudah tidak ada, tidak seperti di negara lain. Bahkan bisa dikatakan Indonesia adalah satu-satunya yang punya UU tentang agraria, yang membatasi kepemilikan tanah tiap individu hanya 5 hektar untuk daerah padat penduduk, diluar jawa yang tidak padat penduduk maksimal 20 hektar.Â
Berbeda seperti di negara lain, misal Inggris, Amerika, dan negara-negara Eropa yang bisa dibilang sangat demokratis tapi masih banyak tuan tanah atau feodalistik masih bertahan. Jadi sangat mudah menarik dukungan atau pengerahan suara jika menguasai mereka, maka tidak heran partai kuat di negara-negara tersebut hanya dua yakni konservatif yang dibelakangnya banyak tuan tanah dan partai sosialis yang dibelakangnya banyak buruh.Â
Di Indonesia, dengan adanya UU agraria tersebut mempengaruhi struktur sosial-ekonomi masyarakat yang kekuatannya tidak hanya tuan tanah dan buruh, tapi kecil-kecil banyak variabel. Jadi tidak ada pilihan lain untuk menguasai kawasan adalah zonasi TPS untuk mendapatkan persentase suara tertinggi dan target minimal suara. Bahkan zonasi tingkat desa pun riskan untuk mengontrolnya. Maka saking banyaknya variabel tersebut, caleg dibebaskan untuk memilih TPS sesuai keterimaan caleg di lapisan/irisan pemilih. Jika pun ada kesamaan zonasi TPS antar caleg, di bikin alokasi zonasi TPS, serta untuk kepentingan memaksimalkan suara jika ada satu zonasi TPS yang sama asalkan beda titik lingkungannya atau lapisan/irisan pemilihnya tidak ada soal atau dibolehkan, tetapi dengan ketentuan tetap target setiap caleg rata-rata 100 suara per-TPS.Â
100 suara itupun jika TPS tidak berubah jumlahnya atau tidak jauh berbeda seperti pemilu 2019. Kalau pun berubah, maka ketentuannya target caleg setiap TPS adalah memperoleh suara sekitar 40% dari DPT dalam satu TPS tersebut. Pada pemilu 2019 satu TPS rata-rata 250 suara yang 40% dari itu 100 suara. Harapannya suara legislatif linier dengan suara pilpres, dengan asumsi jika dapat suara 40% dari DPT dalam satu TPS dengan tingkat kehadiran 77% (40:37) dan suara sah 67% (40:27) maka angka 40% dari itu (tingkat kehadiran dan suara sah serta 10% margin eror) masih mayoritas atau diatas 50%+ di TPS tersebut suara untuk pilpres. Hal ini sebab ada ketentuan di pilpres pemenangnya adalah pasangan capres yang memperoleh suara 50%+ untuk dinyatakan pemenang dan dilantik.
Pembiayaan untuk cipta situasi dan kondisi ini untuk mencapai persentase suara tertinggi dan target suara minimal sudah bisa diperkirakan. Misal target suara 100 suara untuk pemberangkatan 50 ribu yakni 5jt. Di jawa rata-rata penduduk satu KK 3,6 orang atau dalam satu KK rata-rata ada 3 DPT maka 100:3 adalah 33 KK atau rumah target aksi gerakan sosial untuk mengokohkan keterimaan relawan sekaligus memperkenalkan kandidat (misal bansos bahan pokok, alat peraga kalender, sticker, dll) misal aksi sosial ini 50 ribu tiap rumah yakni 1.650.000 ditambah biaya operasional 350 ribu misalnya jadi total 2jt. Pembentukan relawan setiap 10 KK atau rumah 1 orang yang berarti butuh tiga relawan, biaya tiga kali pertemuan mulai pembentukan hingga kordinasi 100 ribu tiap pertemuan 100.000 x 3 orang x 3 pertemuan yakni 900 ribu.Â
Biaya pasang dan jaga bendera di rumah masing-masing relawan 100 ribu kali tiga orang 300 ribu. Biaya saksi 200 ribu. Jadi total yakni 8,4 juta untuk operasional penguasaan kawasan/basis untuk mendapatkan persentase suara tertinggi dan mencapai target suara minimal, hal ini belum biaya tidak terduga untuk operasi kerja pemenangan lainnya, asumsikan saja butuh biaya 10 juta untuk satu TPS dengan asumsi perolehan 100 suara. Hal ini dibagi dua kategori, yakni biaya pemberangkatan 5jt dan biaya operasional 5jt.Â
Dari sini sudah bisa diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan setiap caleg sesuai alokasi zonasi TPS. Misal caleg incumbent alokasi 180 TPS berarti butuh 1,8M. Caleg prioritas 90 TPS yakni 900 juta, caleg pendamping 45 TPS yakni 450 juta. Tapi dari biaya itu untuk menekan margin eror atau untuk memaksimalkan perolehan suara bukan di besar kecilnya biaya pemberangkatan, tapi keefektifan biaya operasional terutama di poin cipta situasi dengan aksi sosial dan poin cipta kondisi dengan pemasangan bendera. Indikator dari blocking area adalah relawan yang diterima oleh masyarakat setempat dan warga setempat sudah terbiasa dengan simbol partai.
Seringkali dilapangan biaya pemberangkatan tidak maksimal yang bahkan lebih dari 50% margin eror karena tidak pernah mengeluarkan biaya operasional atau operasional kurang di maksimalkan untuk cipta situasi dan kondisi yang artinya keadaan blocking area tidak terbentuk. Misal yang umum dilapangan jadi problem, punya relawan tapi tidak diterima oleh masyarakat setempat hingga uang pemberangkatan yang ada di relawan tidak tersampaikan atau ditolak oleh warga setempat, uang tersampaikan tapi tidak tahu relawan yang menyampaikan, artinya tidak pernah bangun relawan tapi langsung sebar uang maka jangan salah jika lebih 80% margin eror atau hangus uang pemberangkatan.