Banyak lembaga survei sudah mengeluarkan hasil penelitian mereka menuju pemilu 2024. Tingkat popularitas dan elektabilitas posisi sebuah partai saat ini serta posisi bakal calon (balon) kandidat presiden dan wakil presiden. Indonesia tidak punya struktur sosial yang kuat entah secara lembaga kepercayaan, matapencaharian, kekerabatan, pemikiran, bahasa daerah yang banyak, kesenian yang ragam, serta alat untuk bertahan hidup atau memudahkan hidup yang ciri khas tersendiri setiap daerah. Maka tidak heran hasil survei bisa dikatakan beragam, bisa dikatakan sebenarnya partai sulit menembus angka 20% secara popularitas maupun elektabilitas, serta bakal calon kandidat presiden menembus angka 30%.
Hal ini sudah lama jadi premis mayor dalam pendekatan sosiologis (demografi) dalam menjalankan strategi pemenangan atau mengukur potensi kemenangan dalam pemilu, sebuah partai maupun balon kandidat presiden. Ini tentu berbeda seperti negara-negara lain, sebab keberagaman sedikit dan struktur sosial yang tentunya kuat seperti di benua Eropa dan benua Amerika. Dimana referensi intelektual pelaku di lembaga survei tersebut mengacu pada intelektual dua benua tersebut, bahkan bukan rahasia umum dana dan operasional lembaga-lembaga survei tersebut berasal dari dua benua tersebut. Hal ini akan selalu jadi kesimpulan geopolitik bagi kepentingan hubungan/dominasi internasional mereka.
Artinya, sekeras apapun kita mengharapkan partai pendominasi atau sebuah partai dan kandidat memperoleh kemenangan mutlak, agar pemerintahan stabil dan kamtibmas kondusif agar negara ini kuat terutama bargaining position hubungan internasionalnya, suatu keniscayaan. Jika pendekatan demografi (sosiologis) dengan pandangan geopolitik, maka resistensi akan tinggi dan terkesan konflik mengarah pada perpecahan. Hasilnya juga tidak mampu mengahadirkan partai pendominasi (suara diatas 35%) serta kabinet yang stabil atau presiden yang kuat.
Mari memahami lembaga survei kehadirannya yang sangat diperhitungkan pada saat reformasi ini dalam suksesi politik, agar kita paham bagaimana kepentingan bangsa jangan sampai dipertaruhkan berlebihan atau malah dirugikan. Era reformasi bergulir dari awal mula tahun 1997-1998, banyak perubahan terutama pada UUD 45 yang langsung berdampak pada gaya kepemimpinan, pemerintahan, dan bahkan pada struktur sosial terkecil bangsa ini. Bisa disimpulkan, gaya orde baru tidak cocok dengan budaya Indonesia yang multikultural untuk kedepannya pada saat itu kesimpulannya, tentu tanpa menafikan keberhasilan orde baru bagaimana menghadirkan pemerintahan daerah yang stabil dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.
Reformasi terus bergulir hingga kini, tapi belum bisa menghadirkan gaya kepemimpinan, pemerintahan, dan struktur sosial yang kuat serta stabil untuk kepentingan pembangunan bangsa. Semua paham Indonesia adalah multikultural, yang artinya tidak bisa dinisbikan "Sumpah Pemuda" dan "Pancasila" adalah ada sebab multikultural tersebut. Artinya jika kita paham tujuh unsur budaya, setiap daerah punya kemandirian dari yang ratusan budaya tersebut. Sedangkan lembaga survei berusaha menggeneralisasikan tersebut, lalu ketika menyandingkan dengan partai atau kandidat, mendeferensikan.
Dalam pandangan mereka untuk membedakan agar menonjol dan melihat jelas garis pemilih. Iya itu semua bisa dipahami cara intelektualitas mereka bekerja dalam memahami semua unsur suksesi politik Indonesia. Tapi mau tidak mau dampak dari itu adalah pertentangan antar kelompok dan konflik pra maupun pasca pemilu semakin besar, seperti label kampret, kodok, kadrun, toko ompreng, yang sampai saat ini masih jadi sumber perpecahan dan bahkan kekerasan.
Lembaga-lembaga survei mulai tumbuh  ketika proses pemilu 2004 yang sudah di inisiasi sejak tahun 1999 pemilu tersebut direncanakan. Untuk kepentingan pilpres disadari betul jika hanya menggunakan partai akan sulit memperoleh kemenangan jadi presiden sebab multikultural. Mau tidak mau referensi intelektual kita dalam membangun partai masih pada dua benua diatas, banyak tipe partai di Indonesia yang masih menurut kategori pandangan keilmuan mereka.
Tipe partai ideologis, massa, elit, faktor kesejarahan, dan lain sebagainya yang dikategorikan berpandangan konservatif walaupun terkadang sesekali membawa pandangan sosialis. Belum ada partai yang benar-benar sosialis progresif di Indonesia, entah sebab faktor kepentingan dan kekuatan luar negeri atau kekurangan kemampuan anak bangsa dalam memahami bangsanya akan bagaimana membangun sebuah partai. Partai masih ujung tombak suksesi politik dan penggerak pemerintahan.
Maksudnya begini, partai-partai di Indonesia dengan tipe kategori semacam itu suatu hal yang mustahil di karakter bangsa multikultural bisa menembus angka 20%. Maka kehadiran lembaga survei menjadi kekuatan tersendiri untuk memobilisasi kekuatan suara pemilih. Maka menjadi realitas tersendiri kehadiran lembaga survei sebagai penentu kemenangan dengan press release dalam pemilu eksekutif maupun legislatif. Bahkan kerja-kerja pemenangan pemilu seperti dipaksa menuruti cara (kemauan/keinginan) mereka para partai dan kandidat.
Keberadaan mereka bisa dikatakan adalah pengatur skor yang dipaksakan pada penyelenggara dan pengawas/wasit (KPU/Bawaslu) pertandingan (Pemilu). Hal ini sangat kentara bagaimana lembaga survei (konsultan pemenangan pemilu) dalam proses Jokowi di Pilkada Solo 2010, Pilkada Jakarta 2012, dan Pilpres 2014. Dimana sebelumnya bagaimana SBY dan partai Demokrat tahun 2004 dan 2009, serta bagaimana demokrat menguasai pemerintahan daerah dengan menjamurnya lembaga survei seperti musim hujan kemudian sejak awal reformasi hingga kini dan bagaimana peran lembaga survei sangat menentukan penguasaan parlemen dan eksekutif. Bahkan ada anggapan, lembaga survei adalah alat sabotase adanya partai dalam pemilu dan pemenggal kandidat potensial yang tepat.
Tanpa memungkiri pentingnya lembaga survei dalam menjaga dan mengembangkan demokrasi, harusnya partai politik di Indonesia harus sadar diri. Bahwa ada yang salah dalam membangun partai dan membentuk citra diri partai. Bagaimanapun partai adalah ujung tombak atau inti pelaku suksesi politik di sistem negara republik atau dimana pemerintahan dijalankan oleh rakyat/publik. Apalagi perubahan dunia tentang kekuasaan dengan gaya sentralistik sudah bergeser pada gaya desentralistik, jika partai dan elit partai (kandidat-kandidat pemimpin) tidak mampu mengahadirkan sistem (tipe atau kategori) partai dengan kerja-kerja politik menurut perubahan itu maka jangan heran jika partai tersebut akan hanya menjadi sejarah.
Tentu tidak etis membongkar kerja-kerja lembaga survei bagaimana memenangkan kandidat di legislatif maupun di eksekutif, yang artinya lembaga survei tidak hanya melakukan penelitian dan hasilnya disampaikan di media massa. Kata-kata "memenangkan kandidat", hal ini semacam menghilangkan/menisbikan partai. Maka jangan heran banyak anggota legislatif yang tidak sejalan dengan kepentingan partai dan bahkan loncat partai tetap jadi anggota dewan. Kalau kepala daerah sudah jelas keberadaan partai hanya pengantar pada kursi kekuasaan, selanjutnya terkesan tidak ada kaitannya dengan partai keoala eksekutif tersebut. Struktur negara yang kuat sebab struktur masyarakat yang kuat, dalam menjamin keberlangsungan pembangunan bangsa. Struktur masyarakat yang kuat akan suksesi kekuasaan negara yakni struktur partai politik yang kuat. Di Indonesia sejak reformasi ini lembaga survei yang kuat di suksesi kekuasaan negara. Jangan heran marak money politic, sebab suksesi politik adalah intinya transaksional politik.
Bargaining position partai kalah sama kandidat yang bisa menyewa lembaga survei menjadi konsultan politiknya (untuk memenangkan pemilu). Artinya nilai tawar dalam transaksional politik, sebuah partai tidak bernilai kecuali hanya sebatas tukang penyeleksi (rekom partai syarat jadi calon legislatif maupun eksekutif). Bahkan kepada anggota partai yang duduk di kekuasaan pemerintahan (eksekutif dan legislatif) tidak bisa memecat atau memberikan sanksi ketika anggota itu melanggar hukum positif maupun peraturan partai. Bahkan banyak anggota partai yang jelas-jelas keluar garis partai masih bisa mencalonkan diri dari partai tersebut alih-alih partai lain dan masih jadi anggota dewan maupun eksekutif. Selemah itu dan tidak berdayanya partai politik di Indonesia ini menghadapi lembaga survei yang sering kali sebagai konsultan pemenangan politik. Artinya, apakah partai politik di Indonesia tidak mampu mendirikan bidang atau lembaga di struktur organisasi untuk melakukan kerja-kerja semacam lembaga survei, yang tentunya independen tidak. Tentu sudah ada Bapilu partai, yang kita pahami tidak independen dan tidak profesional bahkan menjadi anggota dewan.
Jika semacam itu, Indonesia akan terus di kuasai orang-orang atau siapa yang ada di balik lembaga survei tersebut. Kalau semacam itu, maka tidak akan ada partai yang bisa menguasai parlemen secara mayoritas kategori pendominasi yakni pemilik suara atau kursi diatas 35%. Dimana kita pahami, eksekutif tidak akan stabil jika tidak punya suara mayoritas di parlemen. Kalau pun ada partai pemenang atau suara terbesar memegang kekuasaan eksekutif tapi suara parlemen dibawah 35% sama halnya partai tersebut tidak punya eksekutif, di bukan partai kategori pendominasi. Sedangkan untuk kepentingan bangsa dan negara, kita butuh satu atau dua partai kategori pendominasi.
Terlepas dari itu semua, partai harus berbenah dan membangun partai agar menjadi partai pendominasi. Informasi terakhir dari para pelaku di lingkaran lembaga survei, hanya ada dua partai yang secara infrastruktur memenuhi syarat menjadi partai pendominasi, tiga partai mampu memenuhi syarat partai pendominasi cuman infrastruktur tidak mendukung, selebihnya tidak cukup infrastruktur dan syarat akan tetapi selalu diuntungkan situasi dan kondisi yang akan sulit mendominasi kecuali hanya menjadi partai menengah kebawah atau muncul-hilang kembali. Sebenarnya, jika syarat 0% ambang batas pencalonan presiden diloloskan MK ini akan memudahkan lima partai yang memenuhi syarat pendominasi tersebut menjadi partai pendominasi, terutama dua partai yang secara infrastruktur bisa dipastikan salah satunya keluar sebagai pendominasi asalkan punya sistem (badan/lembaga) yang mengerjakan tugas keterikatan dengan partisipan politiknya, hal ini seperti apa yang dikerjakan lembaga survei yang sekaligus menjadi konsultan pemenangan politik.
Maka dari sini partai jika ingin menjadi partai pendominasi tanpa bergantung pada lembaga survei harus paham, bahwa adanya partai politik adalah merebut atau mempertahankan kekuasaan, yang kita pahami yakni suksesi, suksesi adalah intinya transaksional politik entah disaat merebut (proses pemenangan pemilu) atau mempertahankan kekuasaan (ketika menjabat legislatif maupun eksekutif). Jika salah memahami transaksional politik maka akan terjebak pada korupsi, money politic, serta kejahatan politik lainnya seputar keserakahan ekonomi saja atau penguasaan secara monopoli sumber-sumber kekayaan negara oleh segelintir elit saja, yang hanya berpandangan geo-ekonomi dengan pendekatan psikologis pasar.
Selama partai politik tidak berbenah, dalam membangun internal partai dan membentuk sistem partisipan politiknya untuk menciptakan party ID, maka di era digital dan keterbukaan informasi publik, siap-siap partai sebut akan kehilangan eksistensi bahkan hilang keberadaannya menjadi sejarah belaka, itupun jika sejarah menghendaki partai tersebut ada di sejarah. Sebab lembaga survei, media massa, sosial media, serta lembaga publik lainnya tentang saluran suara-suara masyarakat akan menggantikan posisi partai jika tidak bisa memahami dan menanggapi perubahan dunia yang sudah desentralisasi kekuasaan-kekuasaan disegala bidang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H