Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Penghancuran Eksistensi Partai Politik dengan Munculnya Hasil Survei dari Berbagai Lembaga dan Media-Media Nasional Melakukan Personal Branding

27 Agustus 2022   11:21 Diperbarui: 27 Agustus 2022   11:37 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak lembaga survei sudah mengeluarkan hasil penelitian mereka menuju pemilu 2024. Tingkat popularitas dan elektabilitas posisi sebuah partai saat ini serta posisi bakal calon (balon) kandidat presiden dan wakil presiden. Indonesia tidak punya struktur sosial yang kuat entah secara lembaga kepercayaan, matapencaharian, kekerabatan, pemikiran, bahasa daerah yang banyak, kesenian yang ragam, serta alat untuk bertahan hidup atau memudahkan hidup yang ciri khas tersendiri setiap daerah. Maka tidak heran hasil survei bisa dikatakan beragam, bisa dikatakan sebenarnya partai sulit menembus angka 20% secara popularitas maupun elektabilitas, serta bakal calon kandidat presiden menembus angka 30%.

Hal ini sudah lama jadi premis mayor dalam pendekatan sosiologis (demografi) dalam menjalankan strategi pemenangan atau mengukur potensi kemenangan dalam pemilu, sebuah partai maupun balon kandidat presiden. Ini tentu berbeda seperti negara-negara lain, sebab keberagaman sedikit dan struktur sosial yang tentunya kuat seperti di benua Eropa dan benua Amerika. Dimana referensi intelektual pelaku di lembaga survei tersebut mengacu pada intelektual dua benua tersebut, bahkan bukan rahasia umum dana dan operasional lembaga-lembaga survei tersebut berasal dari dua benua tersebut. Hal ini akan selalu jadi kesimpulan geopolitik bagi kepentingan hubungan/dominasi internasional mereka.

Artinya, sekeras apapun kita mengharapkan partai pendominasi atau sebuah partai dan kandidat memperoleh kemenangan mutlak, agar pemerintahan stabil dan kamtibmas kondusif agar negara ini kuat terutama bargaining position hubungan internasionalnya, suatu keniscayaan. Jika pendekatan demografi (sosiologis) dengan pandangan geopolitik, maka resistensi akan tinggi dan terkesan konflik mengarah pada perpecahan. Hasilnya juga tidak mampu mengahadirkan partai pendominasi (suara diatas 35%) serta kabinet yang stabil atau presiden yang kuat.

Mari memahami lembaga survei kehadirannya yang sangat diperhitungkan pada saat reformasi ini dalam suksesi politik, agar kita paham bagaimana kepentingan bangsa jangan sampai dipertaruhkan berlebihan atau malah dirugikan. Era reformasi bergulir dari awal mula tahun 1997-1998, banyak perubahan terutama pada UUD 45 yang langsung berdampak pada gaya kepemimpinan, pemerintahan, dan bahkan pada struktur sosial terkecil bangsa ini. Bisa disimpulkan, gaya orde baru tidak cocok dengan budaya Indonesia yang multikultural untuk kedepannya pada saat itu kesimpulannya, tentu tanpa menafikan keberhasilan orde baru bagaimana menghadirkan pemerintahan daerah yang stabil dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.

Reformasi terus bergulir hingga kini, tapi belum bisa menghadirkan gaya kepemimpinan, pemerintahan, dan struktur sosial yang kuat serta stabil untuk kepentingan pembangunan bangsa. Semua paham Indonesia adalah multikultural, yang artinya tidak bisa dinisbikan "Sumpah Pemuda" dan "Pancasila" adalah ada sebab multikultural tersebut. Artinya jika kita paham tujuh unsur budaya, setiap daerah punya kemandirian dari yang ratusan budaya tersebut. Sedangkan lembaga survei berusaha menggeneralisasikan tersebut, lalu ketika menyandingkan dengan partai atau kandidat, mendeferensikan.

Dalam pandangan mereka untuk membedakan agar menonjol dan melihat jelas garis pemilih. Iya itu semua bisa dipahami cara intelektualitas mereka bekerja dalam memahami semua unsur suksesi politik Indonesia. Tapi mau tidak mau dampak dari itu adalah pertentangan antar kelompok dan konflik pra maupun pasca pemilu semakin besar, seperti label kampret, kodok, kadrun, toko ompreng, yang sampai saat ini masih jadi sumber perpecahan dan bahkan kekerasan.

Lembaga-lembaga survei mulai tumbuh  ketika proses pemilu 2004 yang sudah di inisiasi sejak tahun 1999 pemilu tersebut direncanakan. Untuk kepentingan pilpres disadari betul jika hanya menggunakan partai akan sulit memperoleh kemenangan jadi presiden sebab multikultural. Mau tidak mau referensi intelektual kita dalam membangun partai masih pada dua benua diatas, banyak tipe partai di Indonesia yang masih menurut kategori pandangan keilmuan mereka.

Tipe partai ideologis, massa, elit, faktor kesejarahan, dan lain sebagainya yang dikategorikan berpandangan konservatif walaupun terkadang sesekali membawa pandangan sosialis. Belum ada partai yang benar-benar sosialis progresif di Indonesia, entah sebab faktor kepentingan dan kekuatan luar negeri atau kekurangan kemampuan anak bangsa dalam memahami bangsanya akan bagaimana membangun sebuah partai. Partai masih ujung tombak suksesi politik dan penggerak pemerintahan.

Maksudnya begini, partai-partai di Indonesia dengan tipe kategori semacam itu suatu hal yang mustahil di karakter bangsa multikultural bisa menembus angka 20%. Maka kehadiran lembaga survei menjadi kekuatan tersendiri untuk memobilisasi kekuatan suara pemilih. Maka menjadi realitas tersendiri kehadiran lembaga survei sebagai penentu kemenangan dengan press release dalam pemilu eksekutif maupun legislatif. Bahkan kerja-kerja pemenangan pemilu seperti dipaksa menuruti cara (kemauan/keinginan) mereka para partai dan kandidat.

Keberadaan mereka bisa dikatakan adalah pengatur skor yang dipaksakan pada penyelenggara dan pengawas/wasit (KPU/Bawaslu) pertandingan (Pemilu). Hal ini sangat kentara bagaimana lembaga survei (konsultan pemenangan pemilu) dalam proses Jokowi di Pilkada Solo 2010, Pilkada Jakarta 2012, dan Pilpres 2014. Dimana sebelumnya bagaimana SBY dan partai Demokrat tahun 2004 dan 2009, serta bagaimana demokrat menguasai pemerintahan daerah dengan menjamurnya lembaga survei seperti musim hujan kemudian sejak awal reformasi hingga kini dan bagaimana peran lembaga survei sangat menentukan penguasaan parlemen dan eksekutif. Bahkan ada anggapan, lembaga survei adalah alat sabotase adanya partai dalam pemilu dan pemenggal kandidat potensial yang tepat.

Tanpa memungkiri pentingnya lembaga survei dalam menjaga dan mengembangkan demokrasi, harusnya partai politik di Indonesia harus sadar diri. Bahwa ada yang salah dalam membangun partai dan membentuk citra diri partai. Bagaimanapun partai adalah ujung tombak atau inti pelaku suksesi politik di sistem negara republik atau dimana pemerintahan dijalankan oleh rakyat/publik. Apalagi perubahan dunia tentang kekuasaan dengan gaya sentralistik sudah bergeser pada gaya desentralistik, jika partai dan elit partai (kandidat-kandidat pemimpin) tidak mampu mengahadirkan sistem (tipe atau kategori) partai dengan kerja-kerja politik menurut perubahan itu maka jangan heran jika partai tersebut akan hanya menjadi sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun