Pertama, ketulusan. Saya melihat dengan sangat jelas wajah ketulusan dari ibu paruh baya itu. Tidak tampak seperti wajah orang yang penuh beban saat memberi. Tulus sekali.
Kadangkala ada juga orang yang kita lihat, saat memberi tidak disertai dengan wajah yang menyenangkan, kelihatan seperti orang yang terpaksa. Tentu, wajah yang tidak menyenangkan itu menyebabkan orang yang diberi tidak merasa adanya ketulusan dari si pemberi.
Maka, di sini terdapat pelajaran buat kita, apa pun kebaikan yang kita lakukan mestilah dengan tulus dari hati. Sebab, kebaikan yang tulus inilah kebaikan yang bernilai, terutama di sisi Allah.
Niat sangat menentukan kualitas amal kita.
Nabi mengingatkan: “Sesungguhnya diterimanya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika niat tulus karena ingin mendapatkan ridha Allah, maka amal yang telah kita lakukan itu niscaya akan mendapatkan keridhaan Allah.
Kedua, jangan sia-siakan kesempatan berbuat baik. Apa yang telah dilakukan ibu paruh baya itu mengajarkan kita agar memanfaatkan setiap kesempatan untuk berbuat baik.
Mungkin jarang sekali kita melakukan apa yang telah dilakukan ibu paruh baya itu, bahkan jangan-jangan tidak pernah sama sekali. Perlu kita coba. Sepertinya menyenangkan. Kita senang, dan yang diberi pun pasti juga akan senang. “Maka, berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan”, (QS. 2: 148).
Ketiga, gemar bersedekah. Ibu paru baya itu mengajarkan kita agar gemar bersedekah. Bersedekah sangat dianjurkan dalam agama kita (Islam).
Lihatlah, berapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan kita untuk bersedekah. Ketika membaca pada awal-awal surat saja kita sudah bertemu dengan ayat ini:
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. 2: 3)