Mohon tunggu...
Abdur Rauf
Abdur Rauf Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIQ Kepulauan Riau

Aku berkarya, maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Potret Belajar Al-Qur'an Era 90-an

2 Januari 2025   23:45 Diperbarui: 2 Januari 2025   23:43 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Belajar Al-Qur'an (Sumber: idntimes.com)

Artikel kali ini, saya ingin sedikit berbagi cerita tentang potret belajar Al-Qur'an di waktu kecil. Tentu yang dimuat dalam cerita ini hanya pengalaman saya pribadi dan sedikit gambaran tentang bagaimana model pembelajaran Al-Qur'an di kampung saya. Barangkali cerita sederhana ini dapat mengobati kekangenan kita sewaktu belajar Al-Qur'an pada era itu. Selamat menyimak!

Di era 90-an, anak-anak begitu semangat dan ceria saat belajar mengaji Al-Qur'an. Pagi hari hingga menjelang waktu Zuhur, anak-anak bersekolah. Sepulang dari sekolah, selepas makan siang dan salat Zuhur, mereka berangkat mengaji Al-Qur'an.

Dengan berbaju koko, berpeci hitam, dan menggendong tas kecil berisi Buku Iqra' berwarna hitam yang legendaris itu, mereka tampak begitu bersemangat mengayunkan kaki menuju ke rumah-rumah guru ngaji mereka. Kira-kira begitulah potret anak-anak di kampung saya yang antusias dalam belajar mengaji Al-Qur'an.

Di kampung saya, ada beberapa guru ngaji. Rumah masing-masing dari para guru itulah sebagai tempat anak-anak belajar mengaji Al-Qur'an. Rumah saya termasuk salah satunya. Sebab, Ayah dan Ibu saya adalah beberapa di antara guru yang mengajarkan anak-anak dalam membaca Al-Qur'an di kampung itu.

Kemampuan membaca Al-Qur'an saya sekarang ini, tak lepas dari jerih payah didikan mereka sewaktu kecil. Begitupun dengan puluhan teman saya yang lain. Jika dikenang, belajar mengaji Al-Qur'an di waktu kecil dulu, sangat mengasyikkan.

Seingat saya, pada tahun 1995 atau bertepatan dengan 5 tahun usia saya, saya mulai belajar mengaji Al-Qur'an. Saya termasuk murid yang cepat bisa membaca Al-Qur'an di antara beberapa murid Ayah dan Ibu.

Oleh sebab itu, dalam usia 7 atau 8 tahun, saya sudah diminta Ayah dan Ibu untuk menyimak bacaan murid-muridnya yang masih berada di level Iqra'. Sedangkan untuk murid-murid yang sudah sampai di level tadarus Al-Qur'an, Ayah dan Ibu sendiri yang menanganinya.

Setelah menyimak bacaan teman-teman yang masih di level Iqra' itu, giliran saya pula yang menyetorkan bacaan Al-Qur'an saya kepada Ayah atau Ibu.

Saya heran, di waktu kecil, kami tidak pernah diterangkan apa itu Al-Qur'an, bagaimana sejarah turunnya Al-Qur'an, dan hal-hal lain seputar Al-Qur'an. Yang kami tahu, kami hanya diperintahkan orang tua untuk belajar mengaji Al-Qur'an sampai khatam.

Meskipun demikian, belajar mengaji Al-Qur'an merupakan keasyikan tersendiri bagi kami dulu. Bahkan, jadwal mengaji adalah momen yang dinanti-nanti. Belajar mengaji Al-Qur'an di era itu, laiknya sebuah hiburan yang begitu menyenangkan.

Di waktu kecil dulu, kami belum tahu, bahwa Al-Qur'an diturunkan di Gua Hira'. Kami belum mendengar cerita tentang malaikat Jibril yang ditugaskan Allah SWT menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira'. Kami juga belum tahu, QS. Al-'Alaq (96) ayat 1-5 merupakan rangkaian ayat yang pertama kali turun.

Waktu itu, kami tak butuh pengetahuan tentang itu semua untuk kami termotivasi dan bersemangat dalam belajar mengaji Al-Qur'an. Bagi kami, belajar mengaji Al-Qur'an adalah aktivitas rutin harian yang tidak boleh kami lewatkan.

Saat tiba di rumah guru, para murid tidak langsung menyetorkan bacaannya kepada guru. Sebelum menyetorkan bacaan halaman baru kepada guru, para murid biasanya mendaras (mengulang-ulang) terlebih dahulu beberapa halaman yang telah disetorkan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya.

Tujuannya adalah untuk melancarkan dan memantapkan bacaannya. Di sela-sela waktu mendaras itu, kadang-kadang ada juga di antara murid-murid itu yang iseng dan usil, mereka mengganggu temannya yang sedang serius mendaras bacaan. Maklumlah, pada waktu mendaras itu, guru belum hadir di tengah-tengah mereka.

Setelah kira-kira 15 menit mendaras, guru pun hadir di ruang belajar mengaji Al-Qur'an tersebut. Baru kemudian satu per satu para murid menyetorkan bacaannya kepada guru.

Jika ada yang keliru dalam melafalkan huruf-huruf hijaiyah atau keliru dalam membaca kalimat demi kalimat dari potongan ayat-ayat Al-Qur'an, guru langsung memperbaiki bacaan muridnya. 

Begitulah seterusnya proses kami dalam belajar mengaji Al-Qur'an hingga kami dapat dengan fasih dan khatam membacanya.

Tradisi Selamatan

Ada keseruan lainnya dalam belajar mengaji Al-Qur'an ini, yaitu tradisi syukuran dan selamatan jika telah mencapai level-level tertentu dalam belajar. Setiap murid yang berhasil menyelesaikan Iqra' Jilid 6, maka wali murid menyiapkan segala keperluan untuk melaksanakan syukuran dan selamatan tersebut.

Syukuran dan selamatan tersebut diadakan di rumah gurunya. Biasanya, wali murid meminta Sang Guru untuk membaca doa selamat bagi anaknya yang telah berhasil menyelesaikan Iqra' Jilid 6 dan akan memulai ke jenjang Al-Qur'an.

Di samping itu, tidak hanya yang telah berhasil menyelesaikan Iqra` Jilid 6 saja yang melangsungkan syukuran dan selamatan, bagi murid-murid di level Al-Qur'an yang sudah menjejaki Juz 15 biasanya wali murid juga mengadakan syukuran dan selamatan untuk anaknya. 

Syukuran dan selamatan selanjutnya diselenggarakan ketika anak-anak mereka telah berhasil menyelesaikan belajar mengaji Al-Qur'an-nya hingga 30 Juz. Teknis pelaksanaan syukuran dan selamatannya pun sama seperti pada saat berhasil menyelesaikan Iqra` Jilid 6.

Puncaknya adalah diselenggarakan upacara besar sebagai tanda syukur orang tua karena anaknya telah khatam belajar mengaji Al-Qur'an 30 Juz. Mereka dirias dan berbusana elok, kemudian diarak keliling kampung bak "Sang Raja" dan diiringi tabuhan dari grup kompang.

Kompang adalah sejenis alat musik tradisional yang populer bagi masyarakat Melayu. Kompang ini tergolong ke dalam kelompok alat musik gendang.

Setelah selesai diarak, "Sang Raja" diminta untuk duduk di atas panggung yang telah disiapkan. Baru kemudian rangkaian acara khataman Al-Qur'an pun dimulai. Acara intinya adalah "Sang Raja" menampilkan kepada khalayak ramai kemampuan membaca Al-Qur'an-nya. 

Tidak semua surat dalam Al-Qur'an itu dibaca, hanya beberapa surat saja yang terdapat dalam Juz 30. Biasanya, surat-surat yang dibaca oleh "Sang Raja" diacara khataman Al-Qur'an tersebut adalah QS. Adh-Dhuha (93) hingga QS. An-Nas (114). Setelah "Sang Raja" selesai membaca surat-surat itu, acara khataman Al-Qur'an diakhiri dengan penyampaian beberapa nasihat dari gurunya dan ditutup dengan pembacaan doa.

Begitu doa selesai dibaca, para hadirin diminta untuk menikmati juadah yang telah disediakan.

Itulah potret keseruan dan keasyikan saya dan teman-teman di kampung dalam belajar mengaji Al-Qur'an di waktu kecil. Kadang-kadang, pada usia sekarang ini, saya merenung dan bertanya kepada diri sendiri, mengapa kini keasyikan saat berinteraksi dengan Al-Qur'an itu kian memudar? Ke mana perginya keseruan dan keasyikan itu? Asyik bersama Al-Qur'an semestinya kita upayakan sampai ke ujung nyawa. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun