Dakwah adalah aktivitas mengajak orang kepada jalan Allah. Sebagai Mukmin, hendaknya kita mengambil tanggung jawab atas tugas dakwah ini.
Allah SWT menyatakan:
"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali-'Imran/ 3: 104)
Kata "min" (minkum) dalam ayat di atas, jika kita pahami sebagai min tab'dhiyah (yang menyatakan sebagian), maka dakwah adalah kewajiban kolektif.
Namun, jika dipahami sebagai min bayaniyah, maka dakwah adalah kewajiban individual, dalam arti setiap individu umat Islam memiliki kewajiban melaksanakannya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Dua penafsiran di atas dapat kita dikompromikan. Adapun untuk hal-hal yang bisa kita lakukan secara individual, maka menjadi fardhu'ain. Sedangkan hal-hal yang hanya bisa dikerjakan secara kolektif, maka menjadi fardhu kifayah.
Dengan demikian, dakwah tidak hanya menjadi tugas orang-orang tertentu saja, tetapi setiap kita yang mengaku Mukmin harus menjalankan tugas mulia ini sesuai dengan kesanggupan masing-masing.
Dalam berdakwah, ada prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh. Tujuannya adalah supaya esensi dakwah itu menyentuh pada objek dakwahnya (mad'u).
Prinsip-prinsip dakwah tersebut di antaranya adalah bil hikmah, mau'idzhah hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan (dialog dengan cara terbaik).
Sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl/ 16: 125)
Para da'i hendaknya mematuhi prinsip-prinsip dakwah yang tertuang dalam ayat di atas. Jika tidak mematuhi prinsip dakwah tersebut, maka risikonya adalah malah menjauhkan objek dakwah (mad'u) dari tujuan dakwah.
Tindakan para da'i yang mudah sekali memvonis orang dengan sebutan sesat, bid'ah, kafir, dan sejenisnya itu merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan spirit An-Nahl ayat 125 di atas.
Sebagai contoh, mari kita lihat dakwah yang menggembirakan dan mencerahkan dari Buya Hamka berikut ini:
Irfan Hamka (putra Buya Hamka) menuturkan bahwa sudah menjadi rutinitas Buya Hamka di Masjid Agung Kemayoran Jakarta memberikan ceramah setelah selesai shalat subuh. Setelah Buya Hamka selesai memberikan ceramah dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.
Ada seorang jamaah bertanya dan meminta pendapat Buya Hamka:
"Buya, saya punya tetangga dua orang. Yang satu haji, taatnya bukan main. Setiap waktu shalat, Pak Haji selalu ke masjid dekat rumah kami. Puasa tidak pernah lalai, begitu pula membayar zakat fitrah.
Tapi sayang, Pak Haji ini tidak pernah akur dengan tetangga. Hewan ternak tetangga yang masuk ke halaman rumah selalu dilempar dengan batu.
Sementara tetangga yang satu lagi adalah seorang dokter. Bukan main baiknya. Bila ada orang yang sakit, tengah malam pun dokter ini tidak menampik bila ada pasien datang ke rumahnya.
Hanya saja sayang Buya, dokter ini tidak pernah ke masjid dan shalat. Bagaimana ini, Buya ?"
Begitulah pertanyaan yang dilontarkan ke Buya Hamka dari salah seorang jamaah.
Buya Hamka menjawab kasus yang pertama:
"Kita sepakati dulu bahwa shalat merupakan tiang agama. Sedangkan kebaikan yang lain sebagai pengikutnya.
Kalimat, 'Pak Haji taat shalat', kata 'tapi '-nya kita hilangkan dulu. Kalimatnya menjadi, 'Pak Haji taat beribadah (koma bukan titik)'. Sambungannya, 'kebaikan yang lain belum diikuti oleh Pak Haji'.
Lalu untuk ikutnya kebaikan yang lain, ini peranan da'wah bil hal, yaitu dakwah dengan cara memberikan contoh teladan, perbuatan, atau sikap.
Memberi contoh yang baik ke Pak Haji. Prosesnya bisa lama bisa pula sebentar. Mengubah perangai orang mudah-mudah sulit. Namun, kebiasaan rajinnya Pak Haji beribadah jangan diejek."
Buya Hamka menjawab kasus yang kedua:
"Begitu pula halnya dengan si dokter. Kebalikan dari perilaku Pak Haji, si dokter jangan diejek karena dia tidak shalat.
Kata-kata 'tidak shalat', juga diganti dengan kata-kata 'belum shalat'. Hal ini pun harus diselesaikan dengan da'wah bil hal, dengan cara yang lemah lembut.
Yang penting si dokter tetap beragama Islam. Hanya saja belum shalat. Saudara pun berkewajiban melakukan da'wah bil hal kepada kedua tetangga itu."
Demikian jawaban dari Buya Hamka yang sangat jelas dan rinci atas pertanyaan dari salah seorang jamaahnya.
Tutur Irfan Hamka: "Jamaah yang bertanya mengangguk mengerti. Jamaah yang lain pun mengangguk-angguk mendapat tambahan ilmu."
Dari kisah di atas, terlihat jelas bagaimana Buya Hamka memegang teguh prinsip dakwah itu. Buya Hamka sangat menyadari bahwa setiap orang memerlukan proses untuk berubah.
Oleh sebab itu, cara-cara yang lembut nan santun harus selalu dikedepankan dalam berdakwah, di samping sifat sabar.
Dengan demikian, materi dakwah yang kita sampaikan akan menyentuh hati para objek dakwah (mad'u) sehingga mendorongnya untuk kembali ke jalan Allah dan istikamah beramal saleh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H