PMN), BUMN seharusnya menjadi kontributor utama bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, realitas menunjukkan cerita yang berbeda.
BUMN dirancang untuk menjadi mesin utama penggerak ekonomi nasional. Dengan aset yang besar dan dukungan dari pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (Pada tahun 2023, pemerintah mengalokasikan PMN sebesar Rp42,8 triliun untuk lima BUMN, di samping PMN nontunai lainnya, seperti konversi piutang dan hibah Barang Milik Negara (BMN). Ironisnya, meski dana besar terus digelontorkan, banyak BUMN tetap mencatat kerugian.
Di sisi lain, rakyat terus dibebani kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang direncanakan meningkat menjadi 12% pada 2025. Langkah ini semakin menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah adil jika rakyat terus menjadi tumbal sementara BUMN tak menunjukkan kontribusi yang maksimal?
PMN Menggerus APBN, Bukan Memberi Untung
Â
Pada tahun 2023, alokasi PMN untuk lima BUMN meliputi:
PT Hutama Karya: Rp28,84 triliun, untuk penyelesaian jalan tol Trans-Sumatera tahap 1 dan 2.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN): Rp10 triliun, untuk mendukung infrastruktur energi.
PT Sarana Multigriya Finansial (SMF): Rp1,53 triliun, untuk perluasan akses perumahan.
PT Len Industri: Rp1,75 triliun, untuk pengembangan industri strategis.
Perum LPPNPI (AirNav Indonesia): Rp659,19 miliar, untuk modernisasi sistem navigasi udara.
Alokasi ini menunjukkan komitmen besar pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur dan pengembangan sektor strategis. Namun, masalah muncul ketika hasil dari investasi ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Banyak BUMN yang menerima PMN tetap mencatat kerugian, dan potensi keuntungan yang diharapkan sering kali tidak terealisasi.
Misalnya, proyek Jalan Tol Trans-Sumatera menghadapi tantangan rendahnya tingkat pengembalian investasi dalam jangka pendek, sehingga memerlukan suntikan dana tambahan yang terus membebani APBN.
Doble Buntung , APBN Tergerus dan Potensi Untung  Hilang
Â
Ketika PMN terus dialokasikan tanpa menghasilkan kontribusi yang optimal, negara menghadapi kondisi "doble buntung." Di satu sisi, APBN terkuras untuk menopang BUMN yang tidak efisien. Di sisi lain, potensi keuntungan dari aset strategis ini hilang karena manajemen yang buruk, inefisiensi, dan politisasi jabatan.
Masalah ini tidak hanya membebani negara, tetapi juga rakyat. Ketika BUMN gagal memberikan kontribusi maksimal, pemerintah mengandalkan kenaikan pajak, seperti PPN, untuk menutupi defisit anggaran.
Dampaknya, rakyat menanggung beban ganda: pajak yang lebih tinggi dan subsidi tidak langsung untuk BUMN yang merugi.
Solusi Menghindari Doble Buntung
BUMN seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi, bukan beban yang terus menggerogoti APBN. Untuk itu, reformasi pengelolaan menjadi kebutuhan mendesak.
Jabatan direksi dan komisaris harus diisi oleh orang-orang profesional, bukan sekadar afiliasi politik. Manajemen yang kompeten akan meningkatkan efisiensi dan memaksimalkan aset negara.
Setiap BUMN wajib memiliki target kinerja yang jelas dan terukur. Jika gagal, manajemen harus dievaluasi atau diganti. Hilirisasi produk, seperti pengolahan nikel menjadi baterai kendaraan listrik, dapat menambah nilai ekonomi sekaligus memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Transparansi juga harus ditegakkan.
Setiap dana yang disuntikkan ke BUMN melalui PMN wajib diaudit dan dilaporkan secara terbuka. Selain itu, BUMN perlu membuka peluang kolaborasi dengan sektor swasta untuk mengurangi beban APBN dan mempercepat realisasi proyek strategis.
Reformasi ini tidak lagi bisa ditunda. Jika BUMN dikelola dengan baik, mereka tidak hanya akan mengurangi beban rakyat, tetapi juga menjadi kekuatan utama dalam mendorong pembangunan ekonomi.
BUMN memiliki potensi besar untuk menjadi pilar utama ekonomi nasional, tetapi masalah inefisiensi, tata kelola, dan politisasi sering kali menghambat kontribusinya.
Ketika BUMN tidak dikelola dengan baik, rakyat menjadi korban melalui pajak yang lebih tinggi untuk menutupi defisit. "BUMN tak maksimal, pajak yang jadi tumbal" adalah gambaran nyata dari kondisi ini.
Reformasi menyeluruh di tubuh BUMN bukan hanya kebutuhan, tetapi juga keharusan. Dengan pengelolaan yang lebih baik, BUMN dapat menjadi solusi jangka panjang bagi pembangunan, mengurangi beban pajak rakyat, dan memperkuat ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Pemerintah harus segera bertindak untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang diinvestasikan memberikan manfaat maksimal bagi negara dan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H