Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Narasi Imajiner (4) Gibran, Lepas Dari Partai, Raih Pelangi Warna Warni

18 Desember 2024   10:27 Diperbarui: 18 Desember 2024   10:27 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pagi yang dingin di Kota Solo, kabar pemecatan Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dan Bobby Nasution dari Partai Banteng Merah mengguncang suasana. Dalam satu keputusan, garis sejarah politik keluarga ini terlihat seperti ditarik paksa ke arah yang berbeda.

Alasan pemecatan disebut sebagai pelanggaran kode etik, tetapi rakyat tahu bahwa badai ini tidak hanya berhembus dari pelanggaran formalitas. Ini adalah buntut dari kontestasi Pilpres 2024, di mana pasangan Prabowo-Gibran, yang diusung oleh Jokowi, mengalahkan pasangan yang diusung Banteng Merah dengan telak.

Pemecatan ini adalah peristiwa besar. Namun, bagi Gibran, yang baru saja mengemban amanah sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, pemecatan itu bukan sebuah pukulan mematikan. Itu adalah ujian pertama dalam perjalanan panjang menuju pengabdian yang lebih besar.

Beberapa saat  setelah kasus pemecatan yang viral menggemparkan publik, Gibran menghadiri sebuah pertemuan dengan pelaku UMKM di Jawa Tengah. Acara itu digelar sederhana namun terorganisir, tanpa kehadiran simbol partai atau seremonial mewah. Hanya ruangan penuh semangat, di mana para pelaku usaha kecil dan menengah duduk rapi, membawa buku catatan dan proposal di tangan mereka.

Gibran berdiri di atas panggung kecil, mengenakan batik khas Solo, dengan senyuman tenang yang menjadi ciri khasnya. Di hadapannya, ada wajah-wajah penuh harap pengusaha lokal, ibu-ibu pengrajin, dan para pemuda kreatif yang menggantungkan masa depan pada keberlanjutan usaha mereka.

Acara dimulai dengan beberapa sesi tanya jawab dari peserta. Mereka menyampaikan harapan, kendala modal, dan kebutuhan pelatihan untuk meningkatkan daya saing produk mereka. Gibran mendengarkan dengan saksama, mencatat beberapa poin penting, tanpa menjanjikan hal yang muluk-muluk.

Saat tiba gilirannya untuk berbicara, ruangan itu hening. Semua mata tertuju padanya.

"Saya masih muda, penuh optimisme," kata Gibran dengan tenang, memulai pidatonya. Suaranya tak lantang, tetapi cukup untuk memecah kebekuan.

"Pemecatan saya bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan baru. Saya menghargai dan menghormati keputusan partai. Namun, ini tidak membuat saya berhenti bekerja.

Diam saya bukan tanda menyerah, melainkan strategi. Karena saya percaya, loyalitas akan datang mengikuti. Loyalitas bukan milik bendera atau seragam, tetapi milik mereka yang memahami bahwa masa depan bukan milik yang hanya berteori, tetapi milik mereka yang bekerja."

Ruangan itu hening sejenak, lalu diikuti oleh tepuk tangan perlahan yang semakin menggema.

"Dan saya memilih untuk bekerja," lanjutnya. "

Bersama Presiden Prabowo, saya ingin fokus mendampingi usaha-usaha kecil seperti yang ada di ruangan ini. Saya tahu, UMKM adalah tulang punggung ekonomi kita. Bukan hanya soal angka, tetapi tentang memberikan kesempatan kepada kalian semua untuk terus berkembang. Tidak peduli apa yang terjadi di belakang layar, tugas saya adalah membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih kuat dan mandiri. Bukan untuk dinasti, bukan untuk partai, tetapi untuk rakyat."

Setelah berbicara, Gibran turun dari panggung dan mulai menyapa beberapa pelaku UMKM secara langsung. Ia mendengar cerita mereka tentang kesulitan modal, tantangan distribusi, dan peluang di pasar digital. Tidak ada pembicaraan soal politik. Semua fokus pada solusi dan harapan.

Di sudut ruangan, seorang ibu paruh baya, pengrajin kain lurik, mendekati Gibran. Dengan suara yang bergetar, ia berkata, "Pak Gibran, saya dulu pendukung partai. Tapi hari ini saya mendukung Mas sebagai pemimpin. Karena saya lihat Mas bekerja untuk kami, bukan untuk simbol."

Gibran menjabat tangannya dengan erat, memberikan senyum hangat. "Bu, saya akan terus bekerja. Saya tidak sendiri. Kita semua di sini adalah tim untuk Indonesia yang lebih baik."

Di luar gedung, beberapa media mencoba mendapatkan komentar Gibran. Wartawan bertanya, "Apakah Anda memiliki rencana untuk bergabung dengan partai lain?"

Dengan gaya khasnya, Gibran tersenyum kecil dan menjawab singkat, "Tunggu saja."

Jawaban itu menjadi tajuk utama di berbagai media, tetapi bagi Gibran, yang terpenting adalah apa yang terjadi di ruangan itu rakyat yang mendengarkan, dan harapan yang mulai tumbuh kembali setelah badai politik berlalu.

Ketika nama besar seperti Gibran dipecat dari partai yang membesarkan keluarganya, perbincangan rakyat tidak hanya berhenti di soal etika atau politik. Di jalanan, pasar, dan layar media sosial, orang-orang berbicara: "Apakah ini soal disiplin partai, atau soal kekuasaan yang merasa terancam?"

Namun Gibran, dengan ketenangan khasnya, memilih diam. Ketika wartawan bertanya bagaimana ia menyikapi pemecatan itu, jawabannya sederhana

"Saya menghargai dan menghormati keputusan partai. Saya yakin ini adalah langkah terbaik menurut mereka."

Diamnya bukan tanda menyerah. Itu adalah strategi. Sebuah langkah untuk memberi ruang bagi mereka yang mencibir, mereka yang menguji, dan mereka yang mulai menyadari bahwa masa depan tidak bisa diabaikan hanya karena satu keputusan politik.

Senja mulai turun, tetapi suasana di desa itu masih hangat. Setelah acara selesai, Gibran duduk sejenak di kursi kayu di belakang panggung. Ia melihat ke arah langit, di mana warna oranye mulai menyatu dengan biru gelap.

Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Pemecatan itu adalah ujian, tetapi ia berhasil melewatinya. Dengan ketenangan yang khas, ia berkata pada dirinya sendiri, "Badai ini hanya membawa kita lebih dekat pada pelangi. Masa depan menanti, dan saya akan terus bekerja."

Di tempat lain, rakyat berbicara tentang Gibran. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai bagian dari dinasti atau partai, tetapi sebagai sosok muda yang berani berdiri di tengah badai dan tetap fokus pada pengabdian.

Dan di ujung badai itu, pelangi hadir, bukan untuk partai, bukan untuk dinasti, tetapi untuk Indonesia.

"Pemimpin sejati tidak tumbuh dari bendera atau partai, tetapi dari keberanian menghadapi badai dengan kerja nyata. Dan pelangi itu selalu menanti mereka yang bekerja untuk masa depan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun