Diamnya bukan tanda menyerah. Itu adalah strategi. Sebuah langkah untuk memberi ruang bagi mereka yang mencibir, mereka yang menguji, dan mereka yang mulai menyadari bahwa masa depan tidak bisa diabaikan hanya karena satu keputusan politik.
Senja mulai turun, tetapi suasana di desa itu masih hangat. Setelah acara selesai, Gibran duduk sejenak di kursi kayu di belakang panggung. Ia melihat ke arah langit, di mana warna oranye mulai menyatu dengan biru gelap.
Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Pemecatan itu adalah ujian, tetapi ia berhasil melewatinya. Dengan ketenangan yang khas, ia berkata pada dirinya sendiri, "Badai ini hanya membawa kita lebih dekat pada pelangi. Masa depan menanti, dan saya akan terus bekerja."
Di tempat lain, rakyat berbicara tentang Gibran. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai bagian dari dinasti atau partai, tetapi sebagai sosok muda yang berani berdiri di tengah badai dan tetap fokus pada pengabdian.
Dan di ujung badai itu, pelangi hadir, bukan untuk partai, bukan untuk dinasti, tetapi untuk Indonesia.
"Pemimpin sejati tidak tumbuh dari bendera atau partai, tetapi dari keberanian menghadapi badai dengan kerja nyata. Dan pelangi itu selalu menanti mereka yang bekerja untuk masa depan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H