Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gibran, Melewati Badai Meraih Pelangi (Narasi Imajiner Orang Tua yang Peduli dan "Cawe-Cawe")

23 November 2024   19:47 Diperbarui: 23 November 2024   22:50 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampai kapanpun orang tua akan selalu cawe cawe (ilustrasi foto Kompas.com)

Pengantar Penulis, Perkenalkan, penulis opini imajiner ini adalah seorang presiden---bukan presiden negara,  tetapi presiden direktur sebuah perusahaan yang terus bertumbuh. Sebagai seseorang yang membangun usaha dari nol hingga mampu membiayai pendidikan anak-anak ke luar negeri, saya memahami perjuangan, tanggung jawab, dan arti penting dari pengorbanan.

Saya seorang ayah dari tiga putra dan satu putri. Dua di antaranya saat ini sedang menempuh pendidikan di luar negeri---satu mengambil program master di Manchester University, Inggris, sementara yang lain sedang menyelesaikan program Bachelor Degree  di California, Amerika Serikat . Semua ini adalah hasil dari jerih payah sendiri, tanpa bantuan atau cawe-cawe dari negara.

Sebagai orang tua, saya dan istri tidak pernah absen dalam kehidupan mereka, meskipun jarak memisahkan. Kadang-kadang, kami berbincang ringan tentang resep soto Solo  yang berbeda dengan Soto Surabaya atau Lamongan. Kadang kami tertawa mendengar cerita mereka tentang dosen-dosen di luar negeri yang dipanggil hanya dengan nama, tanpa gelar Pak atau Bu sebagai bentuk keakraban dalam diskusi dan perdebatan, Namun, di banyak kesempatan, diskusi kami lebih serius, menyentuh tentang harapan mereka, mimpi besar mereka, dan bagaimana mereka menghadapi tantangan.

Berangkat dari pengalaman ini, saya merasa ada sedikit kemiripan dalam posisi saya sebagai orang tua dan Gibran sebagai seorang pemimpin muda. Sebagai "ayah imajiner," saya membayangkan duduk berhadapan dengan Gibran, memberikan nasehat dengan penuh cinta, harapan besar, tetapi juga kritik yang jujur.

Namun, sebelum imajinasi saya melangkah lebih jauh, saya ingin membatasi makna cawe-cawe ini sebagai hal yang positif---bentuk kepedulian dan keterlibatan yang penuh makna.

Dalam budaya Jawa, cawe-cawe mencerminkan hubungan yang hangat, dukungan tulus, dan dorongan yang membangun. Baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, cawe-cawe adalah simbol perhatian dan penghormatan. Antara orang tua dan anak, cawe-cawe adalah hal yang lumrah selama privasi tetap dihormati. Bahkan ketika anak sudah dewasa dan mandiri, cawe-cawe masih diperlukan untuk menunjukkan kasih sayang dan kepedulian.

Narasi Imajiner Percakapan dengan Gibran

Malam itu, dalam imajinasi saya, kami duduk bersama di sebuah ruangan kecil yang sederhana namun hangat. Di antara kami ada dua cangkir kopi---kopi hitam tanpa gula untukku,  1 cangkir lagi memakai gula, minuman sederhana yang sering menjadi teman diskusi serius. Saya melihat wajah Gibran, seorang pemuda yang memikul tanggung jawab besar sebagai Wakil Presiden termuda Indonesia.

"Mas Gibran," saya memulai dengan nada pelan namun penuh arti, "Anda sudah melewati badai besar dalam perjalanan Anda ke titik ini. Saya melihat betapa kuatnya Anda menghadapi semua itu---dari serangan soal pelanggaran konstitusi, bantuan dari paman, tuduhan tentang mahkamah keluarga, hingga kemampuan Anda yang diragukan. Bahkan, ijazah Anda sempat dipertanyakan, belum lagi polemik soal akun fufufafa. Tapi, Anda melewatinya dengan tenang, seperti kapal kokoh yang diterjang ombak. Itu, Mas, adalah pencapaian yang luar biasa."

Saya berhenti sejenak, memberikan ruang bagi Gibran untuk merenungkan kata-kata saya. Dalam imajinasi ini, ia menatap saya dengan serius, penuh perhatian.


"Tetapi, Mas," saya melanjutkan, "badai itu sudah berlalu. Sekarang saatnya Anda meraih pelangi---simpati dan kepercayaan rakyat. Dan, jujur saja, saya merasa langkah awal Anda belum cukup untuk mencapai itu. Program seperti Lapor Mas Wapres dan Susu Mas Wapres mungkin terlihat baik di permukaan, tetapi terlalu dangkal untuk menjawab harapan besar rakyat."

Saya melihat dia sedikit menunduk, mungkin merenung, mungkin juga mempertimbangkan kata-kata saya.

"Mas, program-program itu, meskipun niatnya baik, tidak akan cukup untuk membawa perubahan besar yang diharapkan rakyat. Membagikan susu dan buku tidak menyelesaikan masalah anak-anak di Toraja. Mereka butuh lebih dari itu. Mereka butuh pendidikan yang berkualitas, guru yang terlatih, dan akses ke fasilitas belajar yang layak. Anda tidak hanya perlu memberi mereka susu untuk hari ini, tetapi juga alat untuk bertahan esok hari. Anda tidak hanya perlu membagi buku, tetapi juga memastikan bahwa mereka memiliki guru yang mampu memandu mereka untuk memahami isinya."

Saya menarik napas dalam-dalam, memberi jeda untuk kata-kata saya menggantung di udara.

"Mas Gibran, saya ingin Anda belajar dari pemimpin muda di negara lain. Jacinda Ardern di Selandia Baru tidak hanya memberikan bantuan langsung, tetapi membangun sistem yang memastikan kesejahteraan anak-anak dalam jangka panjang. Emmanuel Macron di Prancis fokus pada pelatihan keterampilan digital untuk anak-anak muda, memastikan mereka mampu menghadapi dunia kerja global. Mereka tidak hanya memberi, Mas, tetapi juga menciptakan peluang dan memberdayakan rakyat mereka."

Saya menatap matanya, mencoba menyampaikan rasa cinta yang tulus dalam kritik saya.

"Mas, Anda punya peluang besar untuk menjadi simbol perubahan di Indonesia. Anda muda, Anda punya akses, dan Anda punya panggung. Tapi, semua itu tidak akan berarti jika Anda hanya fokus pada langkah-langkah populis. Rakyat tidak butuh pemimpin yang hanya memberi. Rakyat butuh pemimpin yang menciptakan."

Saya menyelesaikan kalimat saya dengan nada lembut namun tegas.

"Mas Gibran, saya percaya Anda bisa lebih dari ini. Saya percaya Anda mampu melewati badai kritik dan tantangan, dan akhirnya meraih pelangi. Tetapi, untuk itu, Anda harus berani membuat langkah besar. Tinggalkan kebijakan yang dangkal, dan fokuslah pada kebijakan yang berkelanjutan. Jadilah inspirasi, bukan sekadar pemberi."

Dalam imajinasi saya, Gibran mengangguk pelan. Ada sorot mata yang menunjukkan bahwa ia mendengar.

"Terima kasih, Pak," katanya akhirnya. "Saya akan pikirkan itu."

Sebagai orang tua, saya percaya pada potensi Gibran. Kritik ini bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk mendorongnya menjadi lebih baik. Saya ingin melihat dia menjadi pemimpin muda yang bukan hanya memberi, tetapi juga menciptakan perubahan yang berarti.

Melewati badai itu tidak mudah, tetapi meraih pelangi itu jauh lebih sulit. Namun, saya percaya Gibran mampu melakukannya. Ia punya potensi, ia punya keberanian. Yang ia butuhkan sekarang adalah refleksi, keberanian untuk berubah, dan tekad untuk meninggalkan warisan yang tak terlupakan.

Mampukah dia? Saya percaya jawabannya adalah: ya. Tetapi waktu dan langkah berani akan menjadi buktinya.

Narasi ini adalah suara cinta---cinta pada pemimpin muda, pada bangsa, dan pada harapan akan perubahan. Namun, cinta membutuhkan kritik agar tumbuh menjadi lebih baik. Jika Anda tersentuh oleh tulisan ini, sebarkanlah, karena kritik tidak hanya untuk Gibran, tetapi juga untuk saya sebagai penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun