Mohon tunggu...
Abdul Munawar
Abdul Munawar Mohon Tunggu... Guru - Teacher, Motivator, Enterpreneur, Konten Kreator, Penulis

email : abdulmunawar950gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Secangkir Kopi, Apakah Rasa Malu & Tawadlu Masih Relevan di Zaman Serba Digital?

25 September 2024   09:45 Diperbarui: 25 September 2024   10:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam salah satu rangkaian Maulid Al-Barzanji, disebutkan tentang sifat Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam yang sangat pemalu dan tawadhu‘ (rendah hati):

وَكَانَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَدِيْدَ الْحَيَاءِ وَالتَّوَاضُعِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ، وَيَرْقَعُ ثَوْبَهُ، وَيَحْلِبُ شَاتَهُ، وَيَسِيْرُ فِيْ خِدْمَةِ أَهْلِهِ بِسِيْرَةٍ سَرِيَّةٍ

“Beliau Sholallahu 'alaihi wasallam adalah seorang yang sangat pemalu dan tawadhu‘, mau memperbaiki terompahnya sendiri, menambal pakaiannya sendiri, memerah kambingnya, dan membantu keperluan dalam rumah tangganya.”

Akhlak yang luar biasa ini menunjukkan betapa tingginya sifat malu dan tawadhu‘nya Rasulullah yang harus menjadi contoh bagi umatnya.

Namun, jika kita melihat fenomena di era digital saat ini, rasa malu seolah-olah telah memudar. Media sosial seperti TikTok dan Instagram sering kali dijadikan tempat pelarian, seolah-olah medsos menjadi solusi tepat untuk menampilkan sosok individu yang secara bebas mempertontonkan tentang dirinya, keluarganya, berpose mengumbar aurat seperti jadi tradisi, tanpa memikirkan norma atau etika. Banyak yang merasa bangga dan percaya diri memperlihatkan diri mereka pamer kepada dunia, tanpa merasa malu sedikit pun. Padahal, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Sholallahu 'alaihi wasallam:

اَلْحَيَاءُ مِنَ الإِيْمَانِ

"Rasa malu adalah bagian dari iman" 

(HR. Bukhari dan Muslim)

Akhlak Rasulullah: Keteladanan dalam Rasa Malu dan Tawadlu

Sejatinya, rasa malu yang benar adalah malu ketika melakukan keburukan, bukan malu untuk berbuat kebaikan. Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam, dengan segala kemuliaan dan kedudukannya, selalu menunjukkan sifat pemalu dan tawadhu‘ yang harus ditiru. Berikut adalah contoh-contoh yang menunjukkan betapa luar biasanya sifat ini dalam kehidupan Rasulullah:

1. Malu Melebihi Gadis Pingitan

   Rasulullah SAW dikenal lebih pemalu dibandingkan seorang gadis yang berada dalam pingitan. Ini adalah bentuk akhlak luhur yang mencerminkan kesempurnaan moral. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, disebutkan: 

   كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا وَإِذَا كَرِهَ شَيْئًا عُرِفَ فِي وَجْهِهِ  

"Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam lebih pemalu daripada gadis dalam pingitan. Jika beliau tidak menyukai sesuatu, kami dapat mengetahuinya dari wajah beliau." (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Tawadhu‘ dalam Urusan Rumah Tangga 

   Meskipun Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam adalah pemimpin umat, beliau tidak pernah merasa tinggi hati. Beliau sering terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dengan penuh keikhlasan. Aisyah Radhiallahu 'anha berkata:  

كَانَ يَخْصِفُ النَّعْلَ، وَيَرْقَعُ الثَّوْبَ، وَيَعْمَلُ فِي بَيْتِهِ كَمَا يَعْمَلُ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ 

"Rasulullah biasa menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya, dan melakukan pekerjaan rumah seperti halnya orang lain di rumahnya." (HR. Ahmad)

3. Menolak Kemewahan dan Hidup Sederhana

   Ketika Rasulullah SAW memilih tidur di atas tikar kasar hingga meninggalkan bekas di tubuhnya, ini mencerminkan kesederhanaan yang luar biasa. Beliau menolak segala kemewahan dunia. Rasulullah berkata:  

   مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَرَاكِبٍ قَالَ فِي ظِلِّ شَجَرَةٍ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا  

   "Aku tidak ingin kemewahan dunia ini, aku hanya seorang hamba. Aku bahagia jika dapat hidup sederhana." (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagaimana Agar Rasa Malu Tetap Dipertahankan?

1. Kembali kepada Nilai-Nilai Agama  

   Solusi utama adalah dengan menanamkan kembali nilai-nilai agama dalam diri kita. Agama mengajarkan bahwa rasa malu adalah kekuatan, bukan kelemahan. Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam bersabda:

   اَلْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ  

 "Malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan." (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Membangun Kesadaran Diri

   Media sosial bisa menjadi sarana untuk berkreativitas, namun harus disadari bahwa tidak semua perhatian itu baik. Jangan sampai rasa malu kita terkikis hanya demi validasi sosial dalam bentuk likes atau followers.

3. Pendidikan Etika Digital

   Era digital memerlukan edukasi tentang bagaimana seharusnya kita bersikap di dunia maya. Konten yang dibagikan harus tetap berlandaskan norma agama dan sosial.

4. Meneladani Akhlak Rasulullah 

   Mengikuti contoh Rasulullah dalam menjaga rasa malu dan tawadhu‘ adalah langkah terbaik. Sebagaimana beliau telah menunjukkan bahwa rasa malu bukanlah sekadar sifat individu, tetapi pilar penting yang menjaga kehormatan dan keimanan seseorang.

Kesimpulan

Di tengah gempuran kebebasan berekspresi di era digital, rasa malu sebagai bagian dari iman tidak boleh diabaikan. Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam telah memberikan teladan bahwa malu dan tawadhu‘ adalah sifat mulia yang menjaga kehormatan dan martabat seorang muslim. Malu bukan berarti lemah, melainkan kekuatan yang mencegah kita dari keburukan. Maka, marilah kita kembali menanamkan rasa malu dalam diri kita, bukan malu untuk berbuat baik, tetapi malu ketika melanggar aturan Allah dan melupakan akhlak yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun