Pendahuluan
Dalam teologi dan filsafat hukum Islam, terdapat salah satu perdebatan yang cukup mendalam mengenai peran akal dalam menentukan kebaikan dan keburukan suatu tindakan. Pertanyaan utama yang dijawab oleh teolog dan filsuf Muslim tentang bagaimana/apakah manusia dapat menggunakan akal mereka secara independen dari wahyu agama untuk menentukan moralitas suatu tindakan. semuanya akan dibahas dan diulas memerinci pandangan dari dua aliran pemikiran dalam Islam serta argumen yang mendasarinya.
Pandangan Al-Ash'ariyah
Al-Ash'ariyah menyatakan bahwa akal tidak berperan dalam menentukan kebaikan atau keburukan suatu tindakan. Menurut Ash'ariyah, kebaikan dan keburukan ditentukan oleh hukum agama. Jadi, tindakan tidak memiliki nilai intrinsik sebelum dinilai oleh hukum agama. Apa yang dinyatakan baik oleh agama adalah baik, dan apa yang dinyatakan buruk adalah buruk. Seandainya syari'at berubah, misalnya, yang tadinya dianggap buruk menjadi baik, maka itu adalah kebaikan yang harus diterima. Dasarnya adalah kedaulatan Allah yang mutlak.
Pandangan Al-Adliyah
Di sisi lain, Al-Adliyah berpendapat bahwa suatu tindakan memiliki nilai-nilai intrinsik yang dapat dipahami oleh akal, terlepas dari perintah atau larangan agama. Argumen Adliyah, terdapat beberapa tindakan dianggap baik atau buruk dalam dirinya sendiri. Contohnya bgini, kejujuran dianggap baik dan diperintahkan oleh Allah karena sifatnya yang baik, bukan karena suatu tindakan itu smemiliki sifat baik maka diperintahkan. Demikian juga, kebohongan dianggap buruk dan dilarang oleh Allah karena sifatnya yang buruk. Menurut pandangan ini, hukum agama seharusnya memerintahkan yang baik dan melarang yang buruk berdasarkan nilai intrinsik tindakan tersebut.
Makna Kebaikan dan Keburukan dalam Perspektif Akal
Makna kebaikan dan keburukan dalam perspektif akal tidak selalu berarti sama dalam setiap konteks. Setidak - tidaknya Ada tiga makna utama yang digunakan:
- Kesempurnaan dan Kekurangan: Tindakan yang menyempurnakan jiwa manusia, seperti pengetahuan dan keberanian, dianggap baik, sedangkan tindakan yang merugikan jiwa manusia, seperti kebodohan dan pengecut, dianggap buruk.
- Kesesuaian dengan selera: Hal-hal yang cocok dan menyenangkan jiwa, seperti pemandangan indah atau suara merdu, dianggap baik, sedangkan hal-hal yang tidak cocok dan tidak menyenangkan jiwa, dianggap buruk.
- Manfaat dan Kerugian: Tindakan yang mendatangkan manfaat, baik bagi individu maupun masyarakat, dianggap baik, sedangkan tindakan yang mendatangkan kerugian, dianggap buruk.
Nilai Intrinsik dan Relatif dalam Kebaikan dan Keburukan
Kebaikan dan keburukan dapat dipandang dari sudut yang berbeda, tergantung pada apakah nilai tersebut dianggap intrinsik atau relatif terhadap persepsi manusia. Nilai kesempurnaan dan kekurangan dianggap sebagai kenyataan eksternal yang tetap dan tidak berubah dengan perubahan persepsi atau selera manusia. Nilai kesesuaian dengan jiwa tergantung pada persepsi individu; sesuatu yang baik bagi satu orang mungkin tidak dianggap baik oleh orang lain. Nilai manfaat dan kerugian lebih terkait dengan hasil dan konsekuensi dari suatu tindakan. jadi, sesuatu yang dianggap baik karena memberikan manfaat mungkin dianggap buruk jika dilihat dari perspektif yang berbeda.
Perbedaan antara akal praktis dan teoretis terletak pada cara mereka menilai tindakan dan suatu konsep
Akal Teoretis itu berkaitan dengan pengetahuan yang seharusnya dimiliki, Pengetahuan ini bersifat abstrak dan tidak langsung memengaruhi tindakan. seperti mengetahui bahwa seluruh bagian lebih besar daripada sebagian. Hal ini sebagai fakta logis yang benar dalam konteks matematika atau logika, dan tidak memerlukan tindakan untuk dibuktikan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Akal Praktis itu berkaitan dengan tindakan yang seharusnya dilakukan, seperti mengetahui bahwa keadilan adalah baik dan harus dipraktikkan.
Dengan demikian, akal teoretis memberikan dasar pengetahuan yang bersifat umum dan tidak memerlukan tindakan langsung, sedangkan akal praktis menerjemahkan pengetahuan ini menjadi panduan untuk tindakan nyata yang seharusnya dilakukan atau dihindari dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Penilaian Akal terhadap Kebaikan dan Keburukan
Akal menilai tindakan berdasarkan beberapa faktor, termasuk kesempurnaan atau kekurangan, di mana akal menghargai tindakan yang menyempurnakan jiwa dan mengutuk tindakan yang merugikan jiwa, serta kesesuaian atau ketidaksesuaian, di mana akal menilai tindakan berdasarkan kemanfaatan atau kerugian yang ditimbulkannya, entah secara pribadi maupun umum. Penilaian ini bisa bersifat spesifik, bergantung pada kejadian atau konteks tertentu yang lebih dipengaruhi oleh emosi dan persepsi individu, atau umum, berdasarkan prinsip umum yang diakui secara rasional oleh banyak orang.
Debat tentang Kesesuaian Penilaian Akal dengan Hukum Agama
Perdebatan ini berkisar pada apakah penilaian akal selalu harus sesuai dengan hukum agama. Al-Adliyah berpendapat akal dapat menentukan sesuatu itu baik atau buruk bahkan jika hukum agama tidak menyatakannya secara eksplisit. Contohnya begini, dalam situasi darurat medis, menyelamatkan nyawa seseorang bisa dianggap baik walaupun mungkin melibatkan pelanggaran kecil terhadap hukum agama, seperti mentransfusi darah yang mungkin dilarang dalam kondisi normal. Sebaliknya, Al-Ash'ariyah menegaskan bahwa penilaian moral tidak dapat dilakukan tanpa panduan dari syari'at. Menurut Ash'ariyah, segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah adalah baik karena Allah memerintahkannya, bukan karena tindakan itu secara intrinsik baik. Menurutnya, hanya Allah yang memiliki pengetahuan sempurna tentang kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, manusia membutuhkan panduan syari'at untuk memahami moralitas. Tanpa syari'at, manusia tidak dapat mencapai kepastian tentang apa yang baik atau buruk.
Apakah Hukum Agama Harus Mempertimbangkan Penilaian Akal?
Salah satu pertanyaan penting lainnya adalah apakah hukum agama harus mempertimbangkan penilaian akal. Jika demikian, maka dapat mengubah interpretasi dan penerapan hukum agama. Dalam konteks keadilan sosial, akal dapat mengenali ketidakadilan dan menuntut perubahan hukum untuk mengatasinya. Misalnya, jika ada undang-undang yang diskriminatif terhadap suatu kelompok, akal dapat mengidentifikasi ketidakadilan tersebut dan mendorong reformasi hukum untuk memastikan kesetaraan. Berbeda dengan Ash'ariyah yang berpendapat bahwa hukum agama sudah mencakupi segala apa yang diperlukan untuk kehidupan moral. Jadi hal ini menekankan bahwa penilaian akal tidak boleh bertentangan dengan hukum agama.
Analisis Filosofis tentang Esensi Kebaikan dan Keburukan
Aliran Mu'tazilah berpendapat bahwa kebaikan dan keburukan adalah kategori rasional yang bisa dipahami tanpa memerlukan hukum agama. Jadi, akal manusia memiliki kemampuan bawaan untuk mengenali apa yang baik dan buruk. Contohnya begini, Membantu orang yang membutuhkan, seperti memberikan makanan kepada yang lapar atau menyumbangkan pakaian kepada yang kurang mampu, dianggap sebagai tindakan baik. Akal manusia dapat memahami bahwa tindakan ini bermanfaat bagi individu yang menerima bantuan dan masyarakat secara keseluruhan, sehingga dianggap baik tanpa perlu merujuk pada wahyu agama.
Perspektif Teologis                Â
Al-Ash'ariyah menekankan kedaulatan Allah dalam menentukan hukum moral. Disini Ash'ariyah  berpendapat bahwa tanpa hukum agama, manusia tidak dapat secara pasti mengetahui apa yang baik dan buruk. Bagi mereka, hanya hukum Allah yang menjadi sumber utama dan definitif untuk penilaian moral. Seperti contoh dalam hal tertentu, mengonsumsi makanan yang diharamkan. misalnya, daging babi dalam Islam, tindakan ini dianggap buruk karena dilarang oleh Allah. Menurut Al-Ash'ariyah, manusia tidak bisa menentukan sendiri bahwa tindakan tersebut baik atau buruk tanpa petunjuk dari hukum agama. Tanpa hukum Allah, manusia tidak memiliki kepastian tentang moralitas tindakan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H