Perbedaan antara akal praktis dan teoretis terletak pada cara mereka menilai tindakan dan suatu konsep
Akal Teoretis itu berkaitan dengan pengetahuan yang seharusnya dimiliki, Pengetahuan ini bersifat abstrak dan tidak langsung memengaruhi tindakan. seperti mengetahui bahwa seluruh bagian lebih besar daripada sebagian. Hal ini sebagai fakta logis yang benar dalam konteks matematika atau logika, dan tidak memerlukan tindakan untuk dibuktikan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Akal Praktis itu berkaitan dengan tindakan yang seharusnya dilakukan, seperti mengetahui bahwa keadilan adalah baik dan harus dipraktikkan.
Dengan demikian, akal teoretis memberikan dasar pengetahuan yang bersifat umum dan tidak memerlukan tindakan langsung, sedangkan akal praktis menerjemahkan pengetahuan ini menjadi panduan untuk tindakan nyata yang seharusnya dilakukan atau dihindari dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Penilaian Akal terhadap Kebaikan dan Keburukan
Akal menilai tindakan berdasarkan beberapa faktor, termasuk kesempurnaan atau kekurangan, di mana akal menghargai tindakan yang menyempurnakan jiwa dan mengutuk tindakan yang merugikan jiwa, serta kesesuaian atau ketidaksesuaian, di mana akal menilai tindakan berdasarkan kemanfaatan atau kerugian yang ditimbulkannya, entah secara pribadi maupun umum. Penilaian ini bisa bersifat spesifik, bergantung pada kejadian atau konteks tertentu yang lebih dipengaruhi oleh emosi dan persepsi individu, atau umum, berdasarkan prinsip umum yang diakui secara rasional oleh banyak orang.
Debat tentang Kesesuaian Penilaian Akal dengan Hukum Agama
Perdebatan ini berkisar pada apakah penilaian akal selalu harus sesuai dengan hukum agama. Al-Adliyah berpendapat akal dapat menentukan sesuatu itu baik atau buruk bahkan jika hukum agama tidak menyatakannya secara eksplisit. Contohnya begini, dalam situasi darurat medis, menyelamatkan nyawa seseorang bisa dianggap baik walaupun mungkin melibatkan pelanggaran kecil terhadap hukum agama, seperti mentransfusi darah yang mungkin dilarang dalam kondisi normal. Sebaliknya, Al-Ash'ariyah menegaskan bahwa penilaian moral tidak dapat dilakukan tanpa panduan dari syari'at. Menurut Ash'ariyah, segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah adalah baik karena Allah memerintahkannya, bukan karena tindakan itu secara intrinsik baik. Menurutnya, hanya Allah yang memiliki pengetahuan sempurna tentang kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, manusia membutuhkan panduan syari'at untuk memahami moralitas. Tanpa syari'at, manusia tidak dapat mencapai kepastian tentang apa yang baik atau buruk.
Apakah Hukum Agama Harus Mempertimbangkan Penilaian Akal?
Salah satu pertanyaan penting lainnya adalah apakah hukum agama harus mempertimbangkan penilaian akal. Jika demikian, maka dapat mengubah interpretasi dan penerapan hukum agama. Dalam konteks keadilan sosial, akal dapat mengenali ketidakadilan dan menuntut perubahan hukum untuk mengatasinya. Misalnya, jika ada undang-undang yang diskriminatif terhadap suatu kelompok, akal dapat mengidentifikasi ketidakadilan tersebut dan mendorong reformasi hukum untuk memastikan kesetaraan. Berbeda dengan Ash'ariyah yang berpendapat bahwa hukum agama sudah mencakupi segala apa yang diperlukan untuk kehidupan moral. Jadi hal ini menekankan bahwa penilaian akal tidak boleh bertentangan dengan hukum agama.
Analisis Filosofis tentang Esensi Kebaikan dan Keburukan
Aliran Mu'tazilah berpendapat bahwa kebaikan dan keburukan adalah kategori rasional yang bisa dipahami tanpa memerlukan hukum agama. Jadi, akal manusia memiliki kemampuan bawaan untuk mengenali apa yang baik dan buruk. Contohnya begini, Membantu orang yang membutuhkan, seperti memberikan makanan kepada yang lapar atau menyumbangkan pakaian kepada yang kurang mampu, dianggap sebagai tindakan baik. Akal manusia dapat memahami bahwa tindakan ini bermanfaat bagi individu yang menerima bantuan dan masyarakat secara keseluruhan, sehingga dianggap baik tanpa perlu merujuk pada wahyu agama.