Mohon tunggu...
mujibmurtadha_
mujibmurtadha_ Mohon Tunggu... Mahasiswa - mujibmurtadha, mahasantri Pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta, sekaligus Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta.

Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, setiap waktu adalah belajar._

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ashalah Al-Wujud dan Tasykik Al-Wujud

17 Mei 2024   17:46 Diperbarui: 17 Mei 2024   19:39 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ashâlah al-wujûd menunjukkan bahwa setiap jenis kontingen (mumkin al-wujud) terdiri dari dua tingkat perwujudan: eksistensi dan esensi (atau kuiditas). Dari perspektif ini, Sadra menegaskan bahwa aspek yang benar-benar nyata hanyalah eksistensi secara fundamental, adapun kuiditas atau esensi hanyalah sebuah "penampakan", sementara modus lain harus benar-benar ada, berfungsi sebagai wadah aktual bagi efek-efek pada realitas.

Premis utama yang disajikan oleh Mulla Sadra adalah keberadaan satu wujud dan tidak ada yang lain. Hal ini tidak mengartikan pengabaian terhadap eksistensi-eksistensi lain, namun hanyalah menggarisbawahi bahwa yang lain bukanlah entitas-entitas yang berbeda, melainkan manifestasi dari Wujud yang Esa. Oleh karena itu, hanya ada satu wujud.

Ashâlah al-wujûd berangkat dari pertanyaan mendasar tentang apakah māhiyah ataukah wujūd sebagai esensi realitas dan berfungsi sebagai sumber efek. Penganut Ashalat al-māhiyah berpendapat bahwa māhiyah  lah yang berlaku sebagai sumber dari semua efek dan esensi sejati dari realitas. Sebaliknya, para penganut Ashalat al-wujūd menyatakan bahwa wujūd adalah sumber dari efek dan mewakili  esensi realitas.

Argumen ini bersandar pada perbedaan antara māhiyah sebagai suatu entitas dan wujūd-nya. Ketika kita merenungkan sebuah entitas, seketika dua konsep langsung muncul: esensinya (māhiyah), yang dilihat melalui pertanyaan "Apakah itu?" dan keberadaannya (wujūd), yang dipahami melalui pertanyaan "Apakah ia ada?" contohnya begini, ketika merenungkan seekor kuda, kita dapat memisahkan gagasan tentang esensi kuda yang terdiri dari bentuk, warna, berat, tinggi, dan kategori-kategori lainnya dari keberadaannya. Akan tetapi, dalam realitas eksternal, esensi dan eksistensi bukanlah komponen-komponen yang terpisah; keduanya menyatu padu. Dan keterpisahan dari keduanya hanya ada di dalam alam mental.

Akibatnya, muncul pertanyaan mendasar mengenai penyebab perbedaan efek ini: manakah di antara esensi atau eksistensi yang memiliki efek sekaligus berfungsi sebagai dasar realitas? Dua tanggapan telah diberikan untuk pertanyaan ini, masing-masing menggambarkan dua perspektif utama tentang perkembangan tradisi filsafat Islam.

Satu perspektif mengatakan bahwa semua makhluk memiliki esensi, dan pertanyaan utamanya adalah apakah eksistensi atau esensi ada dalam dunia luar yang memengaruhi efek. Menurut Syihab al-Din al-Suhrawardi, esensi adalah sumber efek. Dengan menyatakan bahwa aspek dari realitas, atau esensinya, adalah apa yang benar-benar terjadi di dunia luar. Keberadaan esensi adalah syarat eksistensi. Konsep ini berpendapat bahwa esensi harus ada sebelum dianggap ada.

Mulla Sadra menentang gagasan bahwa wujūd dapat diprediksikan pada māhiyah, karena māhiyah memiliki persyaratan yang lebih kompleks daripada wujūd. Urutannya sedemikian rupa sehingga pertimbangan utama sebelum mengidentifikasi sesuatu (māhiyah) adalah apakah ia ada (wujūd-nya). Jadi, wujūd didahulukan daripada māhiyah.

Pemisahan antara wujūd dan māhiyah terbatas pada alam mental. Contohnya begini, api dalam realitas eksternal memiliki efek membakar, sementara dalam mental api tidak tidak memberikan efek membakar. Dari  perbedaan efek inilah muncul fakta bahwa esensi (māhiyah) api tidak dapat memasuki alam mental; hanya keberadaannya (wujūd) yang dapat ditangkap. Akibatnya, sumber  efek pembakaran dikaitkan dengan keberadaan api.

Mulla Sadra juga menjelaskan bahwa māhiyah, sifat esensial sesuatu, tidak bisa dipisahkan dari wujūd (keberadaan) dan ketiadaan. Ketika māhiyah belum memiliki wujūd, alias berada di antara ada dan tiada, ia tidak memiliki identitas dan sifat. Baru ketika wujūd hadir, māhiyah mendapatkan identitas dan menjadi kenyataan. Dalam dunia ide, māhiyah seperti batas antara ada dan tiada. Tapi di dunia nyata, wujūd jauh lebih fundamental. Māhiyah hanyalah ilusi yang tidak terhubung dengan wujūd.

Sehingga  wujūd (keberadaan) adalah satu kesatuan yang memiliki tingkatan berbeda, tergantung pada intensitasnya atau dengan penghubungan dengan berbagai sama halnya cahaya, yang memiliki esensi sama tapi dengan intensitas berbeda. Maka māhiyah sebagai batasan pada wujūd, akal lah yang menciptakan dualitas antara wujūd dan māhiyah. Sehingga, māhiyah hanyalah perspektif itibari dari wujūd. Wujūd adalah esensi dan sumber dari semua efek, dan menjadikannya sebagai ashil.

Singkatnya, meskipun argumen filosofis menunjukkan kemendasaran wujūd, pemahaman dan keyakinan yang benar tentang prinsip ini hanya dapat dicapai melalui pengalaman langsung dengan sifat realitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun