Mohon tunggu...
mujibmurtadha_
mujibmurtadha_ Mohon Tunggu... Mahasiswa - mujibmurtadha, mahasantri Pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta, sekaligus Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta.

Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, setiap waktu adalah belajar._

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ashalah Al-Wujud dan Tasykik Al-Wujud

17 Mei 2024   17:46 Diperbarui: 17 Mei 2024   19:39 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tantangan dalam Menggabungkan Ide

Mengubah ide dan pemikiran yang sudah ada menjadi penggabungan yang baru adalah pekerjaan yang menantang. Proses dialektis melampaui penjajaran tesis dan antitesis untuk menciptakan sintesis dari konstruksi yang sudah ada sebelumnya. Namun, mengandalkan paradigma masa lalu tidak dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah baru dan substansial.

Mulla Sadra, seorang filsuf yang terkenal dengan penekanannya pada "sintesis", berusaha untuk menyelesaikan ketegangan dalam filosofi-filosofi terdahulu ketika berhadapan dengan beragam wacana. Menyadari bahwa tidak semua masalah menuntut solusi yang sama sekali baru yang terpisah dari kerangka kerja yang sudah ada, ia menyelidiki analisis mendalam tentang pemikiran Islam. Mulla Sadra dengan mahir memadukan ilmu Kalam, yang telah memasuki tahap filosofisnya melalui Nars ad-Din ath-Thusi, filsafat paripatetik Ibnu Sina, dan tasawuf Ibnu A'rabi dan Isyraqiyah Suhrawardi.

Tidak hanya menggabungkan aliran-aliran pemikiran ini untuk membangun perspektif intelektual baru yang dikenal sebagai al-hikmah al-muta'aliyah, Mulla Sadra sangat mementingkan konsep wujud, terutama dalam metafisika. Menurutnya, mereka yang tidak menyadari seluk-beluk wujud akan tetap buta terhadap isu-isu metafisika yang mendasar. Namun, ia menggarisbawahi bahwa pemahaman yang benar tentang wujud membutuhkan pengamatan yang tajam, wawasan intuitif, dan kesimpulan dari efek, tanda, dan simbol-simbolnya.

Kehidupan Mulla Sadra

Para pengikut Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, yang dikenal sebagai Sadr al-Din al-Syirazi atau Mulla Sadra, menyebutnya "Akhund." Beliau lahir dalam keluarga terkemuka di Syiraz sekitar tahun 1571-72 M. Ayahnya, Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, adalah seorang tokoh berpengetahuan luas dan saleh yang pernah menjadi gubernur Provinsi Fars. Kehidupan Mulla Sadra terbagi dalam tiga fase: pendidikan di Syiraz dan Isfahan, pengasingan diri dan pemurnian jiwa di Kahak, serta menulis dan mengajar di Syiraz. Sadra mempelajari banyak bidang keilmuan, fikih, hadis, tafsir, dan penafsiran Al-Qur'an dengan Baha'uddin al-'Amali. Dia juga belajar dari filsuf Mir Fenderski, namun mentor utamanya adalah Mir Damad, seorang pemikir terkemuka yang dijuluki Guru Ketiga. Mulla Sadra meninggal di Irak pada tahun 1640 M karena sakit, yang hingga kini, lokasi makamnya tidak diketahui.

Tulisan dan Pengaruh Mulla Sadra

Semua tulisan Mulla Sadra bernilai tinggi baik secara intelektual maupun sastra, karena disusun dalam bahasa Arab yang jelas dan teratur, kecuali hanya satu kitab Resale Se Asl yang berbahasa Persia. Pengaruh Mulla Sadra sangatlah besar dalam perkembangan filsafat Islam, apalagi dalam membedakan antara konsep wujud dan realitas. Wujud yang dianggap sebagai konsep paling umum dan dikenal, sedangkan realitas tetap tersembunyi meskipun bersifat otentik. Istilah "wujud" itu sendiri sulit untuk didefinisikan dengan ketat; masih banyak para filsuf Islam mencoba menjelaskannya dengan mengatakan bahwa "wujud adalah sesuatu yang membuat sesuatu yang lain bisa diketahui" atau "wujud adalah asal dari semua efek" atau "wujud dari sesuatu adalah apa yang memungkinkan pengetahuan tentang hal itu."

Hanya secara etimologis, asal-usul kata ini dapat ditelusuri dari kata "wajd", yang bermakna "menemukan" atau "mendapatkan pengetahuan" terkait dengan konsep "wijdan", yang merujuk kepada "kesadaran" atau "pengetahuan", serta kata "wajd" yang mengandung arti "kegembiraan" atau "kebahagiaan."

Wujud merujuk pada realitas unik yang mencakup segalanya tanpa terikat oleh kategori atau perbedaan. Keberadaan yang bersifat wujud tidak berbeda secara mendasar atau melalui faktor tambahan; faktor-faktor inilah bagian dari hakikatnya. Oleh karena itu, kejadian-kejadian eksistensial yang serupa memiliki perbedaan dalam hal urutan prioritas dan posterioritas. Menurut Mulla Sadra, bentuk sederhana mencakup semua entitas yang dikenal sebagai "benda," baik yang sempurna maupun yang tidak sempurna.

Konsep Ashâlah al-wujûd

Ashâlah al-wujûd menunjukkan bahwa setiap jenis kontingen (mumkin al-wujud) terdiri dari dua tingkat perwujudan: eksistensi dan esensi (atau kuiditas). Dari perspektif ini, Sadra menegaskan bahwa aspek yang benar-benar nyata hanyalah eksistensi secara fundamental, adapun kuiditas atau esensi hanyalah sebuah "penampakan", sementara modus lain harus benar-benar ada, berfungsi sebagai wadah aktual bagi efek-efek pada realitas.

Premis utama yang disajikan oleh Mulla Sadra adalah keberadaan satu wujud dan tidak ada yang lain. Hal ini tidak mengartikan pengabaian terhadap eksistensi-eksistensi lain, namun hanyalah menggarisbawahi bahwa yang lain bukanlah entitas-entitas yang berbeda, melainkan manifestasi dari Wujud yang Esa. Oleh karena itu, hanya ada satu wujud.

Ashâlah al-wujûd berangkat dari pertanyaan mendasar tentang apakah māhiyah ataukah wujūd sebagai esensi realitas dan berfungsi sebagai sumber efek. Penganut Ashalat al-māhiyah berpendapat bahwa māhiyah  lah yang berlaku sebagai sumber dari semua efek dan esensi sejati dari realitas. Sebaliknya, para penganut Ashalat al-wujūd menyatakan bahwa wujūd adalah sumber dari efek dan mewakili  esensi realitas.

Argumen ini bersandar pada perbedaan antara māhiyah sebagai suatu entitas dan wujūd-nya. Ketika kita merenungkan sebuah entitas, seketika dua konsep langsung muncul: esensinya (māhiyah), yang dilihat melalui pertanyaan "Apakah itu?" dan keberadaannya (wujūd), yang dipahami melalui pertanyaan "Apakah ia ada?" contohnya begini, ketika merenungkan seekor kuda, kita dapat memisahkan gagasan tentang esensi kuda yang terdiri dari bentuk, warna, berat, tinggi, dan kategori-kategori lainnya dari keberadaannya. Akan tetapi, dalam realitas eksternal, esensi dan eksistensi bukanlah komponen-komponen yang terpisah; keduanya menyatu padu. Dan keterpisahan dari keduanya hanya ada di dalam alam mental.

Akibatnya, muncul pertanyaan mendasar mengenai penyebab perbedaan efek ini: manakah di antara esensi atau eksistensi yang memiliki efek sekaligus berfungsi sebagai dasar realitas? Dua tanggapan telah diberikan untuk pertanyaan ini, masing-masing menggambarkan dua perspektif utama tentang perkembangan tradisi filsafat Islam.

Satu perspektif mengatakan bahwa semua makhluk memiliki esensi, dan pertanyaan utamanya adalah apakah eksistensi atau esensi ada dalam dunia luar yang memengaruhi efek. Menurut Syihab al-Din al-Suhrawardi, esensi adalah sumber efek. Dengan menyatakan bahwa aspek dari realitas, atau esensinya, adalah apa yang benar-benar terjadi di dunia luar. Keberadaan esensi adalah syarat eksistensi. Konsep ini berpendapat bahwa esensi harus ada sebelum dianggap ada.

Mulla Sadra menentang gagasan bahwa wujūd dapat diprediksikan pada māhiyah, karena māhiyah memiliki persyaratan yang lebih kompleks daripada wujūd. Urutannya sedemikian rupa sehingga pertimbangan utama sebelum mengidentifikasi sesuatu (māhiyah) adalah apakah ia ada (wujūd-nya). Jadi, wujūd didahulukan daripada māhiyah.

Pemisahan antara wujūd dan māhiyah terbatas pada alam mental. Contohnya begini, api dalam realitas eksternal memiliki efek membakar, sementara dalam mental api tidak tidak memberikan efek membakar. Dari  perbedaan efek inilah muncul fakta bahwa esensi (māhiyah) api tidak dapat memasuki alam mental; hanya keberadaannya (wujūd) yang dapat ditangkap. Akibatnya, sumber  efek pembakaran dikaitkan dengan keberadaan api.

Mulla Sadra juga menjelaskan bahwa māhiyah, sifat esensial sesuatu, tidak bisa dipisahkan dari wujūd (keberadaan) dan ketiadaan. Ketika māhiyah belum memiliki wujūd, alias berada di antara ada dan tiada, ia tidak memiliki identitas dan sifat. Baru ketika wujūd hadir, māhiyah mendapatkan identitas dan menjadi kenyataan. Dalam dunia ide, māhiyah seperti batas antara ada dan tiada. Tapi di dunia nyata, wujūd jauh lebih fundamental. Māhiyah hanyalah ilusi yang tidak terhubung dengan wujūd.

Sehingga  wujūd (keberadaan) adalah satu kesatuan yang memiliki tingkatan berbeda, tergantung pada intensitasnya atau dengan penghubungan dengan berbagai sama halnya cahaya, yang memiliki esensi sama tapi dengan intensitas berbeda. Maka māhiyah sebagai batasan pada wujūd, akal lah yang menciptakan dualitas antara wujūd dan māhiyah. Sehingga, māhiyah hanyalah perspektif itibari dari wujūd. Wujūd adalah esensi dan sumber dari semua efek, dan menjadikannya sebagai ashil.

Singkatnya, meskipun argumen filosofis menunjukkan kemendasaran wujūd, pemahaman dan keyakinan yang benar tentang prinsip ini hanya dapat dicapai melalui pengalaman langsung dengan sifat realitas.

Konsep Tasykik Al-Wujūd

Adapun dengan Prinsip tasykik al-wujūd, dikenal sebagai tingkatan wujūd, membahas tentang bagaimana keterkaitan dan variasi wujud saling berinteraksi. Nah, Suhrawardi sebagai pelopor Ashâlah al-māhiyah, hanya membahas prinsip ini dalam konteks cahaya, namun Mulla Sadra mengimplementasikannya pada hakikat wujud. Sebagai hasilnya, Mulla Sadra berusaha untuk menjelaskan dan mengangkat prinsip ini sebagai konsep ontologis yang sangat berarti, dan berhasil menyelesaikan banyak persoalan filosofis yang kompleks.

Beraneka ragam konsep, berasal dari lingkungan luar memunculkan keragaman dalam pikiran. Apakah variasi konsep mental ini juga memiliki relevansi di dunia luar, atau apakah hanya tercipta oleh pikiran? Pertanyaan mendasar lainnya timbul: jika realitas memiliki sifat jamak, mengapa ide-ide yang serupa muncul dalam pikiran kita, atau jika realitas bersifat tunggal, mengapa pikiran kita dipenuhi dengan beragam ide.

Memiliki karakter yang unik, sehingga Mulla Sadra tidak memberlakukan prinsip gradasi untuk māhiyah (sifat esensial) dalam pemikirannya. Sebagai contoh Māhiyah batu dengan sifatnya berbeda dengan māhiyah kayu, bahkan sebelum keduanya memiliki wujūd (keberadaan). Perbedaan intensitas wujūd hanya terletak pada dunia nyata, dalam bentuk manifestasi yang lebih kuat dan lebih lemah. Contoh lainnya adalah perbedaan intensitas cahaya atau prioritas sebab atas akibat dalam kausalitas. Pengalaman kita dalam mengamati berbagai realitas eksternal, termasuk intensitas, prioritas, dan kemungkinan, menjadi dasar argumen gradasi ini. Jadi, māhiyah adalah satu kesatuan yang memiliki tingkatan berbeda, menunjukkan bahwa keragaman bersatu dalam kesatuan dan sebaliknya. Proses ini disebut gradasi (tasykik).

Melihat teks sebelumnya, prinsip gradasi wujūd (Tasykik al-Wujud) memetik beberapa poin penting. diantara lain, Kemajemukan dan kesatuan adalah nyata. Maka mengartikan bahwa segala sesuatu di dunia memiliki tingkatan yang berbeda, namun tetap terhubung satu sama lain. Pada akhirnya, semua tingkatan akan bersatu dalam satu kesatuan. hal Ini menunjukkan bahwa semua ciptaan berasal dari satu sumber yang sama. Tingkatan yang berbeda saling meresap dan mempengaruhi satu sama lain. Ini juga mengartikan bahwa setiap tingkatan memiliki peran penting dalam keseluruhan sistem. Jadi, prinsip Tasykik menunjukkan bahwa wujūd (keberadaan) memiliki tingkatan yang berbeda, namun tetap terhubung dalam satu kesatuan. Prinsip ini hanya berlaku untuk wujūd yang bergantung dan manifestasi.

tasykik al-wujūd, yang berarti "gradasi wujūd", menunjukkan bahwa eksistensi (keberadaan) tak hanyanlah satu, tapi memiliki tingkatan yang berbeda-beda, seperti tingkatan tangga, mulai dari wujud Tuhan sampai pasir di pantai. yang mana setiap tingkatan yang lebih tinggi memiliki semua tingkatan yang lebih rendah di dalamnya. Hal penting untuk diingat bahwa tingkatan wujud ini bukan pada tingkat eksistensi, melainkan pada tingkat esensi (sifat esensial) atau māhiyyah. Semua makhluk bersatu pada tingkat eksistensi mereka, meskipun memiliki tingkatan esensi yang berbeda.

mujibmurtadha, mahasantri Pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta, sekaligus Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun